Advertorial
Intisari-online.com -Baru-baru ini investigasi mengerikan dari Associated Press (AP) mengenai kehidupan para buruh di perkebunan kelapa sawit milik Indonesia dan Malaysia gegerkan banyak pihak.
Investigasi tersebut temukan jika buruh wanita di perkebunan kelapa sawit mengalami penyiksaan yang mengenaskan.
Banyak yang mengalami pemerkosaan, perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa sejak kecil.
Banyak dari buruh wanita tersebut juga ditugasi pekerjaan sulit dan berbahaya.
Contohnya adalah bertugas menyemprot pestisida di perkebunan sawit yang mengharuskan para wanita menggendong penyemprot pestisida di punggung mereka selama berjam-jam lamanya dan harus menyelesaikan berhektar-hektar lahan dalam satu hari.
Keselamatan mereka dipertaruhkan, banyak para buruh itu tidak mengenakan pakaian yang layak untuk pekerjaan berisiko tinggi seperti itu.
Akibatnya, banyak dari wanita tersebut yang kemudian mengalami keguguran, bahkan banyak yang kemudian mandul karena terpapar bahan kimia dalam kadar yang sangat tinggi.
Jika kondisinya sedemikian mengerikan, mengapa masih ada wanita yang bekerja di perkebunan sawit?
Kelompok LSM Indonesia Sawit Watch mengatakan hampir semua perkebunan memiliki masalah terkait dengan perburuhan.
Namun kondisi yang dihadapi buruh wanita jauh lebih mengerikan dari yang dihadapi buruh pria.
Penyelidikan yang dilakukan AP tersebut hasilkan buruh wanita di perkebunan sering menghadapi pelecehan seksual mulai dari tingkat verbal sampai ancaman rudapaksa.
Banyak korban juga tidak berani membicarakannya.
Saat mereka berani, perusahaan tidak melakukan apapun atau memanggil polisi untuk mengusut kasus tersebut, karena gugur setelah pembelaan dari tertuduh muncul.
Tuduhan-tuduhan sering diselesaikan hanya dengan 'solusi damai' yang berujung dengan keluarga korban dibayar oleh perusahaan.
Bahkan, jika korban kemudian hamil, orang tua memaksa mereka menikah dengan pelaku tindakan asusila tersebut agar tidak memalukan.
Kondisi diperburuk dengan para wanita tidak mendapat akses ke fasilitas kesehatan memadai atau tidak bisa membayarnya, karena bayaran mereka yang diberikan perhari tanpa adanya tambahan bonus.
Lebih parah lagi, banyak yang bekerja tanpa bayaran hanya untuk membantu pekerjaan harian suaminya selesai, dengan target perharinya mustahil untuk diselesaikan.
Temuan investigasi tersebut juga tunjukkan di kedua negara, deretan generasi wanita dari keluarga yang sama telah bekerja di perkebunan kelapa sawit terus-terusan.
Beberapa bekerja sejak kecil membantu orang tua mereka, mengumpulkan buah kelapa sawit yang jatuh atau membersihkan sampah-sampah yang ada di sekitar pohon-pohon perkebunan itu.
Mereka tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali, bahkan sebatas baca, tulis dan hitung.
Ada juga seperti kasus wanita bernama Indra, keluar dari sekolahnya sejak remaja.
Ia kemudian mendapat pekerjaan di Perkebunan Sime Darby, Malaysia.
Perkebunan itu merupakan salah satu perusahaan kelapa sawit terbesar di dunia.
Bertahun-tahun kemudian, ia kemudian mengatakan bosnya mulai melakukan tindakan asusila kepadanya, mengatakan hal-hal seperti "tidur denganku. Aku akan memberikanmu anak."
Indra sekarang berumur 26 tahun, bermimpi untuk keluar dari penjara tersebut tapi kesulitan membangun dunia baru tanpa pendidikan yang memadai maupun tanpa kemampuan lain.
Para wanita di keluarganya telah bekerja di perkebunan yang sama sejak nenek moyangnya meninggalkan India menuju Malaysia saat masih kecil, awal tahun 1900-an.
"Aku merasa ini normal," ujar Indra.
"Sejak lahir sampai sekarang, aku masih berada di perkebunan."
Rupanya sudah turun-temurun para wanita bekerja di perusahaan kelapa sawit.
Wanita mulai bekerja di perusahaan kelapa sawit sejak kolonial Eropa membawa pohon pertama dari Afrika Barat lebih dari seratus tahun yang lalu.
Berpuluh-puluh tahun lewat, minyak kelapa sawit menjadi bahan penting dalam industri pangan, menggantikan lemak jenuh.
Perusahaan kosmetik juga terkesima dengan kehebatan minyak kelapa sawit: menjadi bahan buih di pasta gigi, sabun pelembab dan shampoo.
Itulah sebabnya semakin banyak permintaan minyak kelapa sawit, membuat perkebunan digenjot untuk menghasilkan semakin banyak minyak kelapa sawit bentuk Crude Palm Oil (CPO) maupun Palm Kernell Oil (PKO).
Hasilnya, para buruh dibebani dengan target harian yang mustahil dicapai, dan ancaman dipecat muncul kapan saja pekerjaan gagal dilakukan.
Disebutkan jika permintaan kelapa sawit telah meningkat 4 kali lipat dari jumlah permintaan 20 tahun yang lalu.
Ironisnya, kini tidak ada yang bisa lepas dari kelapa sawit.
Kelapa sawit hampir ditemukan di semua produk-produk yang dipakai manusia sehari-hari mulai dari lipstik, selai kacang dan bahkan hand sanitizer.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini