Penulis
Intisari - Online.com -Meskipun Covid-19 sudah menunjukkan kondisi yang terkendali, tapi ancaman ledakan kasus dan keparahan pandemi masih ada di mana-mana.
Singapura menjadi episentrum Covid-19 penuh anomali.
Hal ini karena selama 2 tahun pandemi Covid-19 berjalan, episentrum Covid-19 biasanya terpusat di negara-negara dengan penduduk terpadat di dunia.
Contohnya adalah Wuhan, China, di akhir tahun 2019, kemudian Amerika Serikat (AS) tahun 2020, selanjutnya India Maret 2021, dan kemudian Indonesia Juli 2021.
Sebagai 4 besar negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, tidak heran jika ketika terjadi sekali kesalahan atau abainya pelaksanaan protokol kesehatan di 4 negara tersebut maka terjadi ledakan kasus Covid-19 dan sistem kesehatan yang kewalahan.
Namun, Singapura tidak memiliki jumlah penduduk sebanyak 4 negara yang sudah menjadi episentrum Covid-19 dan sistem kesehatannya pun memadai.
Sayangnya, kondisi yang terjadi di negara tetangga Indonesia ini adalah sebaliknya.
Sebelumnya sudah diberitakan jika Kementerian Kesehatan Singapura baru saja memprediksi mereka akan mencatat sekitar 2000 kematian akibat Covid-19 per tahun walaupun sudah didukung perawatan medis terbaik.
Korbannya nantinya orang tua dan orang-orang yang tidak sehat.
Melansir The Straits Times, menurut Menteri Senior Negara Kesehatan Janil Puthucheary di Parlemen, Senin (1/11/2021), terkait hal tersebut, Pemerintah berupaya menggunakan strategi kombinasi berupa tingkat vaksinasi yang tinggi, suntikan booster, dan kekebalan alami dari infeksi ringan untuk menghentikan penyebaran penyakit sebagai epidemi di sini.
Tingkat kematian Covid-19 Singapura termasuk yang terendah di dunia yaitu 0.2%, dibandingkan dengan negara lain yang mencapai 3% atau lebih.
Tingkat 0.2% ini sebanding dengan tingkat kematian akibat pneumonia.
Namun presentase ini bukan presentase yang kecil, karena setiap tahunnya sebelum pandemi, sekitar 4000 pasien meninggal akibat influenza, pneumonia, serta penyakit pernapasan lainnya.
Kementerian Kesehatan mengatakan ada 4.153 kematian akibat pneumonia dan influenza pada 2020, dibandingkan 4.442 kematian pada 2019, 4.387 kematian tahun 2018, 4.216 kematian pada 2017 dan 3.856 pada 2016.
Kementerian Kesehatan sudah memprediksi, dengan ketidakmampuan memberikan perawatan medis yang memadai maka jumlah kematian akan bertambah drastis.
"Dengan kata lain, meskipun kita akan memiliki kematian akibat Covid-19, kita tidak akan melihat lebih banyak kematian secara keseluruhan daripada tahun normal non-Covid," katanya.
Kematian akibat Covid-19 tetap mendominasi, hal yang membuat Singapura tidak bisa langsung membuka negaranya, karena semakin banyak kasus akan membuat semakin banyak ranjang ICU yang dipakai, dan memaksa Singapura memberikan standar perawatan yang lebih rendah, sehingga kematian akan semakin banyak dan pencegahan tidak seefektif di waktu awal.
Kondisi ini diperburuk dengan kabar terbaru yang menyebut banyak pekerja medis (nakes) yang menyerah dan mengundurkan diri dari pekerjaan mereka, seperti dikatakan Janil.
Mengutip The Straits Times, sekitar 1500 pekerja medis mengundurkan diri pada paruh pertama tahun 2021, dibandingkan pengunduran diri per tahun sebanyak 2000 sebelum pandemi Covid-19.
"Nakes asing juga mengundurkan diri dalam jumlah lebih besar, terutama ketika mereka tidak bisa pulang ke keluarga mereka," ujar Janil.
Sejauh ini, hampir 500 nakes asing termasuk dokter dan perawat telah mengundurkan diri pada paruh pertama tahun ini, dibandingkan selama 2020 kemarin ada 500 nakes dan sekitar 600 nakes di tahun 2019.
"Pengunduran diri ini kebanyakan karena masalah pribadi, untuk migrasi, atau kembali ke negara mereka," ujarnya dalam pernyataan kementerian kepada DPR Senin lalu.
Janil mencatat bagi para nakes mereka sudah memasuki 20 bulan 'perang' melawan Covid-19 tanpa henti, dengan sebagian besar dari mereka tidak mampu mengambil cuti sejak tahun lalu.
Lebih dari 90% tidak dapat menghapus akumulasi cuti untuk tahun ini.
"Ini perbandingan lebih besar dibandingkan dua tahun yang lalu. Pekerja medis kita telah memilih pergi melebihi panggilan tugas mereka untuk mengobati para pasien," tambahnya.
"Saya menerima pesan WhatsApp dari anggota senior tim klinik: 'Kami semakin kelelahan, kelebihan beban, dan jenuh… kami tidak tahu sampai kapan bisa bertahan dengan ini. Moral mulai turun'," ujar Janil.
Koleganya yang lain juga memberi pesan: 'Rasanya seperti lari 2.4 km tapi berubah menjadi marathon, dan saat kami sudah mencapai garis finish, kami harus memulai marathon kedua. Orang-orang kami kelelahan secara fisik, mental, dan emosional, apakah mereka mengakuinya atau tidak."
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini