Misteri Pandemi 1916, Penyakit Tidur yang Bikin Banyak Orang Mati dalam Lelap, Telah Berlangsung Hingga 100 Tahun Lebih Namun Belum Diketahui Penyebab Pastinya

K. Tatik Wardayati

Penulis

Pandemi penyakit tidur yang terjadi pada 1916.

Intisari-Online.com – Perang Dunia I berakhir, bukan berarti dunia pun aman, nyatanya dilanda pandemi penyakit aneh.

Penyakit aneh yang terjadi ketika itu adalah ‘Penyakit tidur’, alias Enceplahilits Lethargica.

Pandemi ini mempengaruhi lebih dari setengah juta penduduk di Eropa, yang kemudian menyebar ke seluruh dunia hingga menjangkiti banyak orang.

Namun, hingga 100 tahun lebih setelah penyakit itu mewabah, penyebab penyakit tidur tersebut masih belum diketahui dengan pasti.

Baca Juga: Warga Satu Indonesia Boleh Bernapas Lega, SempatPecahkan Rekor Kasus Harian Covid-19 Tertinggi di Dunia, Kini Hanya Tersisa 5 Zona Merah di Indonesia, di Mana Saja?

Para peneliti hingga kini masih berupaya mengumpulkan lebih banyak informasi yang relevan tentang pandemi penyakit tidur ini.

Gejala aneh penyakit tidur

Pandemi penyakit tidur yang terjadi pada tahun 1916 ini ditandai dengan gejala yang tidak memungkinkan tenaga medis segera memberikan diagnosis.

Dimulai dengan penderita yang mengalami kelelahan, demam dan sakit kepala hebat, lalu nyeri sendi, dan berbagai gejala lain.

Baca Juga: Belum Usai Pandemi Covid-19, Wabah Ebola Mengintai, Begini Saran Epidemiolog Cegah Potensi Munculnya Wabah Baru

Lalu, ketika sistem saraf pusat mulai terserang, penderita mengalami kelesuan mental dan fisik yang ekstrem, maka dinamakan ‘penyakit tidur’, yang diikuti oleh kejang, koma, dan kematian.

Perilaku aneh neuropsikiatri (sistem saraf) yang diperlihatkan menyebabkan orang mengantuk lesu, padahal perubahan dalam tubuh cukup lambat.

Dalam keadaan seperti ini, pasien yang tidur seperti sudah memasuki keadaan koma.

Pasien secara umum menunjukkan berbagai macam gejala pasca ensefalitis (koma), mulai dari kelumpuhan hingga membeku dengan otot-otot kaku seperti patung dalam tidur.

Perubahan ini dianggap sebagai gejala lanjutan dari penyakit tidur yang memburuk.

Tetapi anehnya, tidak semua pasien penyakit tidur mengalami gejala-gejala tersebut.

Tidak hanya itu, tingkat keparahan tiap pasien pun berbeda satu sama lain.

Literatur medis ketika itu melaporkan sepertiga dari pasien meninggal karena gagal napas akibat disfungsi neurologis, maka penyakit tidur dianggap sangat mematikan bahkan meresahkan.

Baca Juga: Lagi Booming di Masa Pandemi, Ini 10 Manfaat Bersepeda untuk Keshatan Mental, Salah Satunya Bikin Tidur Nyenyak

Efek samping penyakit tidur

Korban penyakit tidur ini hingga ratusan ribu orang, walaupun sebagian besar masih bisa sembuh.

Dari hasil survei yang dilakukan terhadap pasien yang sembuh, mereka mengatakan bahwa mengalami kekakuan otot bahkan ketika sedang istirahat.

Berdasarkan kesaksian pasien dan penelitian, dokter p un mencoba obat baru bernama L-dopa yang dikembangkan untuk penyakit Parkinson.

Baiknya, pasien dilaporkan memberikan respon positif terhadap obat tersebut.

Pada waktu yang sama, ketika pandemi penyakit tidur tersebut merebak, wabah influenza (Flu Spanyol 1918) yang terkenal lebih mematikan, juga dimulai.

Namun, beberapa peneliti menyimpulkan penyakit tidur ini mungkin ada hubungannya dengan penyebab infeksi influenza.

Beberapa peneliti meyakini, bahwa kedua wabah itu hanya kebetulan belaka.

Penelitian lebih lanjut mengatakan kemungkinan ada pemicu lain yang memperburuk dampak penyakit tidur, yang sebenarnya mungkin bisa dengan mudah disembuhkan sebelumnya.

Baca Juga: Hingga Tahun 2022, Ilmuwan WHO Prediksi Berlangsungnya Pemakaian Masker dan Menjaga Jarak, Sudah Selesaikan Wabah Pandemi Virus Corona?

Ancaman penyakit tidur

Pada 17 April 1917, Dr Constantin von Economo membagikan ilmunya tentang penyakit baru yang dinamakan Encephalitis Lethargica.

Informasi tersebut dia bagikan pada pertemuan Society for Psychiatry and Neurology.

Setelah mendiskusikan penyakit tersebut dengan orang lain, maka terbitlah artikel pertama tentang penyakit tidur, Encephalitis Lethargica.

Dalam artikelnya, ilmuwan tersebut menjabarkan serangkaian peristiwa yang dialami penderita penyakit tidur.

Dilaporkan, pasien mengalami waktu tidur yang sangat lama, seolah masuk dalam keadaan koma karena penyakit ini.

Gejala pertama yang dinyatakan oleh dokter pada saat itu adalah sakit kepala dan tidak enak badan.

Ketika kondisi meningkat semakin parah, pasien mulai mengalami gejala mengantuk atau lesu.

Tidur dalam keadaan itulah dapat mengakibatkan kematian bagi banyak pasien.

Baca Juga: Peta Corona Dunia: Melacak Wabah Pandemi dan yang Perlu Perawatan

Jika bukan kematian yang terjadi, maka pasien akan tidur dalam waktu panjang sehingga bisa lama pulih atau mungkin mengalami koma.

Gejala lain yang paling menonjol termasuk kelumpuhan pada saraf kranial (saraf tengkorak), terutama mata.

Dr Constantin von Economo juga menyimpulkan bahwa penyakit tidur merupakan ancaman tingkat tinggi bagi umat manusia.

Dua dekade penyakit tidur di dunia

Namun, setelah temuan tersebut, nyatanya penyakit tidur justru semakin meningkat.

Kasusnya mencapai puncak antara tahun 1920 dan 1924, dengan angka resmi saat itu tercatat 10.000 kasus.

Setidaknya mencapai 500.000 kasus total kematian akibat penyakit tidur selama periode lengkap pandemi.

Setelah 1924 pun menurun, tetapi penyakit ini disebut berlangsung di seluruh dunia hingga 1940.

Laporan Matheson pada 1929, mencantumkan sekitar 80 kemungkinan pengobatan untuk penyakit tidur atau Encephalitis Lethargica.

Baca Juga: Padahal Negaranya Sudah Sampai Mundur 3 Dekade karena Pandemi, Korea Utara Malah Keukeuh Tolak Vaksin Covid-19 dengan Dalih 'Mulia', Nyatanya Kebobrokan Inilah Pemicu Sebenarnya

Meski beberapa perawatan digunakan pada pasien selama periode pandemi, namun kasus akut Encephalitis Lethargica tidak merespons secara positif terhadap perawatan tersebut.

Saat penyakit ini memasuki fase akut, sepertiga pasien meninggal.

Sepertiga dari pasien selamat tanpa gejala persisten, dan sepertiga dari pasien yang tersisa mengalami efek samping neurologik setelahnya.

Kemudian sejak 1940, laporan sporadis terkait dengan Encephalitis Lethargica didiagnosis di antara pasien di berbagai tempat.

Selama masa pandemi penyakit tidur tersebut, gejala dan tanda penyakit ini meningkat dari waktu ke waktu, bahkan para dokter menjelaskan sekitar 28 jenisnya bermunculan.

Tanda dan gejala yang terjadi tersebut seluruhnya mempengaruhi sistem urat sarat.

Encephalitis Lethargica hari ini

Kini, setelah lebih dari 100 tahun sejak kasus pertama penyakit tidur tercatat, masalah yang berkaitan dengan penyakit ini masih sulit dipahami.

Para peneliti masih mencari beberapa jawaban pasti dan jelas untuk pertanyaan penuh misteri, terkait dengan pandemi penyakit tidur.

Baca Juga: Hari Ini 167 Tahun yang Lalu, Kisah John Snow, Pendiri Epidemiologi Modern yang Digunakan Hingga Kini, Ungkap Misteri Wabah Kolera di London, Apa yang Jadi Penyebabnya?

Ini terutama untuk mengetahui penyebab, media penularan, dan kemungkinan pandemi berusia 100 tahun ini terjadi lagi.

Tahun 2018, menandai 100 tahun sejak ensephalitis lethargica dideskripsi oleh Dr von Economo.

Para ahli menggambarkan dampak mendalam dari penyakit tidur tersebut, tidak hanya pada obat-obatan, tetapi juga pada ilmu saraf.

Yang pasti menurut ahli saat ini adalah bahwa pandemi tidak bisa dihindari dan akan muncul dari waktu ke waktu.

Tetapi yang terpenting adalah bagaimana dunia siap menghadapi pandemi ke depannya. (Bernadette Aderi Puspaningrum)

Baca Juga: Bak Nyaris Dibiarkan Sekarat Sendiri, Timor Leste Ternyata Baru Saja Melalui Fase Terburuk dari Pandemi Covid-19, Negara yang Diharapkan Menolong Malah Saling Sikut

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait