Intisari-Online.com -Saat gelombang kedua Covid-19 yang menghantam hampir seluruh dunia belum benar-benar mereda, sebuah skenario terburuk kemungkinan besar akan terjadi sebelum tahun 2021 berganti.
Dalam laporanReuters, disebutkan bahwa varian Delta telah memicu lonjakan kasus Covid-19 di berbagai penjuru dunia.
Pada Rabu (4/8/2021), untuk pertama kalinya kasus Covid-19 di seluruh dunia melampaui angka 200 juta.
Varian yang dikenal sangat mudah menular dan menimbulkan gejala lebih parah ini telah membuat sistem kesehatan di berbagai negara luluh lantak.
Fasilitas-fasilitas kesehatan di Indonesia termasuk yang tak luput dari hantaman Covid-19 varian Delta.
Rekor kasus positif tertinggi hingga rekor kematian tertinggi terjadi dalam gelombang kedua yang dipicu oleh varian asal India tersebut.
Khusus untuk rekor kematian, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menilai bahwa rendahnya tingkat vaksinasi sebagai pemicunya.
Sampai-sampai WHO menyerukan untuk dilakukannyamoratorium booster vaksin Covid-19 hingga setidaknya 10% dari populasi di setiap negara divaksinasi.
“Kami membutuhkan pembalikan yang mendesak, dari sebagian besar vaksin masuk ke negara-negara berpenghasilan tinggi, ke sebagian besar ke negara-negara berpenghasilan rendah,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus seperti yang dikutip Reuters.
Menariknya, apa yang dikeluhkan oleh WHO tersebut bisa jadi menjadi bumerang yang memicu skenario terburuk sepanjang pandemi Covid-19 berlangsung.
Hal ini disampaikan olehPemimpin Proyek COVID-19 CSIRO Profesor Seshadri Vasan.
Menurut Vasan, sebelum tahun 2021 berakhir, dunia kemungkinan besar harus menghadapi skenario terburuk yang "bisa muncul di mana saja".
Skenario terburuk yang dimaksud oleh Vasan adalah munculnya sebuah varian yang sama atau bahkan lebih berbahaya dibanding varian Delta.
Varian tersebut, kemungkinan besar akan memiliki resistensi tinggi terhadap vaksin, alias kebal.
"Itu tidak berarti 100 persen resisten terhadap vaksin, tetapi yang mampumenembus perlindungan yang dibuat oleh vaksin," tutur Vasan seperti dilansir dariABC.
Bahkan Vasan menilai kemampuannya untuk menembus sistem imunitas yang dibentuk oleh vaksin lebih kuat dibandingkan varian Delta.
Di sinilah titik masalah terbesar dari program vaksinasi yang digembar-gemborkan WHO.
"Jika itu masalahnya, semua orang yang divaksinasi yang relatif terlindungi dari varian lain, justru akan menjadi inang yang rentan terhadap varian baru," tutur Vasan.
Namun,Dr Peter Drobac, spesialis kesehatan masyarakat global dan Direktur Pusat Skoll untuk Kewirausahaan Sosial di Inggris, sedikit memberikan harapan.
Drobac meyakini bahwa meski kebal terhadap vaksin, varian baru tersebut tidak akan memiliki tingkat penularan yang lebih parah dibanding varian Delta.
"Itu mungkin akan menjadi keuntungan lain," ujar Drobac.
Di sisi lain, Drobac juga menilai vaksinasi tetap menjadi kunci tidak hanya untuk mencegah penyebara tapi juga menurunkan risiko kematian.
Sebab, vaksin yang lebih baru telah bertahan dari keempat varian yang menjadi perhatian dalam tes di Pusat Kesiapsiagaan Penyakit Australia.
"Kami belum memiliki varian SARS-CoV-2 dengan konsekuensi tinggi yang secara signifikan mengurangi efektivitas pencegahan atau penanggulangan medis," katanya.
Hanya saja, Drobac menekankan kembali bahwa virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19 tidak akan hilang.
"Kemungkinan besar akan menjadi endemik, artinya akan beredar ke seluruh dunia sepanjang waktu, seperti halnya influenza yang bersirkulasi sepanjang waktu," kata Drobac.
Untuk itulah, perhatian terhadap Covid-19 harus terus berada dalam level siaga atau setidaknya tidak sampai luput dari pengawasan.
Sebab, dengan status endemik, munculnya varian baru yang bisa jadi lebih berbahaya sangat amat mungkin terjadi di masa mendatang.
“Ini akan terus bermutasi. Dan itu berarti pengawasan terus-menerus serta pembaruan vaksin yang konstan – dan potensi bagi kita untuk memiliki booster berkala yang mungkin mengatasi varian baru – sangat mungkin terjadi,” tutup Drobac.