Find Us On Social Media :

Di Timor Leste Dipuja, di Papua Jadi Anak Angkat, Inilah Anak Imigran Yahudi yang Tak Pernah Bisa Injakan Kakinya di Nusantara Kala Soeharto Berkuasa, Ini 'Dosa' Terbesarnya Menurut Orba

By Khaerunisa, Kamis, 16 September 2021 | 19:10 WIB

Carmel Budiardjo, sosok wanita kelahiran London pejuang hak asasi manusia di Indonesia.

Baca Juga: Ditembak dari Jarak Dekat, Pembunuhan Jurnalis Pengkritik Vladimir Putin Ini Masih Jadi Misteri, Selama Sisa Hidupnya Dipenuhi Ancaman dan Percobaan Pembunuhan

Sosok ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penyebab kebebasan dan penentuan nasib sendiri di wilayah yang dikuasainya – Timor Timur (sekarang Timor-Leste), Aceh dan Papua Barat.

Perjuangannya di Indonesia dimulai pada tahun 1950-an.

Saat itu, Carmel dan suaminya mulai bekerja di Indonesia, membantu membangun sebuah negara baru yang merdeka setelah masa penjajahan Belanda yang lama.

Carmel adalah peneliti ekonomi untuk kementerian luar negeri dan Bud adalah wakil menteri di departemen komunikasi laut.

Baca Juga: Bagaimana Proses Sidang Resmi dan Tidak Resmi yang Dilaksanakan BPUPKI?

Ketika Soekarno, Presiden Pertama Indonesia, digulingkan dalam kudeta pada tahun 1965 dan pada tahun-tahun berikutnya, ribuan orang dijebloskan ke penjara ditahan tanpa pengadilan.

Pada tahun 1969, Carmel dan Bud pun menjadi salah satunya.

Mereka dipenjara, secara terpisah, dituduh sebagai anggota PKI dan terlibat dalam gerakan komunis di Indonesia.

Carmel bebas tiga tahun kemudian, setelah seorang pengacara Inggris, Sarah Leigh, memperjuangkan kasusnya.

Baca Juga: Mengerikan! Biarawan Fanatik Ini Bakar 2.000 Orang Yahudi di Tiang Pancang Sebagai Hukuman Karena Masih Ikuti Agama Mereka Meski Mengaku Sudah Masuk Kristen

Carmel pun diakui sebagai warga negara Inggris. Hal ini menyebabkan pembebasannya, tetapi sekaligus juga pengasingannya dari Indonesia.

Pengasingan itu tak menghentikan perjuangannya. Dihentikan di Nusantara, ia masih terus bergerak dari tanah kelahirannya.

Sekembalinya ke London, ia mulai berkampanye untuk sisa tahanan politik di Indonesia.

Bersama rekan-rekan aktivis, pada tahun 1973 ia mendirikan organisasi Tapol, akronim Indonesia untuk tahanan politik – yang mendedikasikan sisa hidupnya untuk perjuangan kebebasan dan keadilan di sana.