Sementara hal berbeda disampaikan koordinator program pemulangan 'anak-anak' Timor Leste ke tanah kelahirannya tersebut, Galuh Wandita.
"Mereka dibawa tanpa persetujuan tulus orang tua.
"Beberapa di antara mereka diurus dengan baik, dididik, dan dicintai. Namun, banyak juga yang disiksa dan ditelantarkan," katanya.
Menurutnya, militer Indonesia ingin "mengadopsi" anak-anak dari keluarga penentang pemerintah Indonesia sebagai cara untuk menghukum, melemahkan, dan mempermalukan musuh.
"Bagi militer, anak-anak ini dibawa seperti jarahan perang. Pulang kembali dari Timor Leste dengan membawa anak menjadi seperti bukti kesuksesan mendominasi Timor Leste," katanya.
Baca Juga: Vaihoho, Nyanyian Sakral Timor Leste Pengiring Berbagai Ritual yang Terancam Punah
Berpuluh-puluh tahun meninggalkan tanah kelahirannya Alberto menjalani kehidupannya di Indonesia.
Ia menikah dan telah menjadi seorang kakek. Tetapi, ia mengaku tidak pernah merasa betul-betul kerasan di Indonesia dan selalu ingat keluarganya di Timor Leste.
Seperti kebanyakan anak hilang lainnya, Alberto tak lagi bisa berbicara bahasa nasional Timor Leste, yaitu bahasa Tetun.
Hal yang juga memilukan, ternyata meski tanpa jasad keluarga Alberto di Timor Leste membuat makam untuknya sebagai cara agar bisa berdamai dengan masa lalu.
(*)