Penulis
Intisari-Online.com - Seperti berbagai konflik di dunia lainnya, kekacauan di Afghanistan juga memberikan penderitaan terhadap warga sipil yang tak bersalah.
Peristiwa memilukan terjadi di Afghanistan ketika orang-orang berusaha menyelamatkan diri.
Warga dibuat gempar dengan sebuah video viral yang menunjukkan bayi Afghanistan 'ditenteng' tentara AS.
Dalam sebuah video yang menggegerkan media sosial tersebut, terjadi aksi penyerahan bayi oleh seorang ibu di Afghanistan.
Tampak seorang Marinir Amerika Serikat (AS) menangkap bayi di sekitar dinding dengan pagar berduri.
Sementara popok pada bayi tampak hampir lepas dan ditarik oleh Marinir AS dari kerumunan orang Afghanistan yang hendak melarikan diri ke bandara.
Para ibu yang putus asa berusaha menyelamatkan bayi mereka dengan menyerahkannya ke tentara AS agar dibawa oleh mereka.
Membuat pilu siapa saja yang melihatnya, ternyata peristiwa serupa diklaim pernah terjadi di Timor Leste ketika Indonesia menginvasi wilayah tersebut.
Bahkan lebih parah, ketika terjadi invasi oleh Indonesia, diklaim anak-anak Timor Leste dibawa begitu saja oleh tentara Indonesia tanpa sepengetahuan orangtua mereka.
Membuat mereka terampas dari tanah kelahiran mereka, terpisah dari orangtua dan sanak saudara.
Anak-anak yang tak berdaya selalu menjadi korban di tengah konflik dan peperangan.
Kisah anak-anak yang dirampas dari tanah kelahiran mereka, Timor Leste, salah satunya datang dari seorang pria bernama Alberto Muhammad.
Ia merupakan satu dari ribuan anak yang diambil oleh tentara Indonesia saat Timor Leste berintegrasi dengan Indonesia.
Peristiwa itu membuat Alberto dipaksa terpisah dari keluarganya selama berpuluh-puluh tahun, sebelum akhirnya hari yang tak terduga datang.
Pada akhirnya, ia berhasil kembali ke Timor Leste, meski keluarganya menganggap ia telah tiada.
Melansir Kompas.com (26/3/2017), setelah lebih dari 30 tahun dipisah secara paksa, Alberto kembali ke Timor Leste. Wartawan BBC, Rebecca Henschke, mengikutinya dalam perjalanan tersebut.
Alberto meninggalkan Timor Leste saat ia berusia 14 tahun, kemudian hidup di Indonesia, tepatnya Jawa Barat.
Bahkan, meski sebenarnya masih hidup, makam Alberto Muhammad justru ada di Timor Leste.
Kisah kepulangannya ke Timor Leste diwarnai suasana haru, kedatangannya disambut kerumunan keluarga besarnya di Dili.
Dalam momen tersebut, Alberto berulang kali mengucapkan, "Saya tidak percaya berada di sini."
Kembalinya anak-anak Timor Leste ke tanah kelahirannya dimungkinkan berkat upaya kelompok HAM Indonesia, AJAR, dengan dukungan Komnas HAM, Kementerian Luar Negeri RI, serta pemerintah Timor Leste.
Komisi pencari kebenaran Timor Leste, CAVR, memperkirakan ada sekitar 4.000 anak Timor Leste yang dipisahkan secara paksa dari keluarga mereka antara 1975 sampai 1999 akibat militer Indonesia, pemerintah Indonesia, atau organisasi keagamaan. Mereka disebut anak yang dicuri.
Seperti Alberto yang kala itu berusia 14 tahun, maka anak-anak lainnya diperkirakan kini berusia antara 30-an hingga 40-an.
Pemerintah Indonesia menolak jika dikatakan bahwa anak-anak itu diambil secara paksa, tapi menyebut mereka sebagai anak-anak yang "terpisah".
Sementara hal berbeda disampaikankoordinator program pemulangan 'anak-anak' Timor Leste ke tanah kelahirannya tersebut,Galuh Wandita.
"Mereka dibawa tanpa persetujuan tulus orang tua.
"Beberapa di antara mereka diurus dengan baik, dididik, dan dicintai. Namun, banyak juga yang disiksa dan ditelantarkan," katanya.
Menurutnya, militer Indonesia ingin "mengadopsi" anak-anak dari keluarga penentang pemerintah Indonesia sebagai cara untuk menghukum, melemahkan, dan mempermalukan musuh.
"Bagi militer, anak-anak ini dibawa seperti jarahan perang. Pulang kembali dari Timor Leste dengan membawa anak menjadi seperti bukti kesuksesan mendominasi Timor Leste," katanya.
Baca Juga: Vaihoho, Nyanyian Sakral Timor Leste Pengiring Berbagai Ritual yang Terancam Punah
Berpuluh-puluh tahun meninggalkan tanah kelahirannya Alberto menjalani kehidupannya di Indonesia.
Ia menikah dan telah menjadi seorang kakek. Tetapi, ia mengaku tidak pernah merasa betul-betul kerasan di Indonesia dan selalu ingat keluarganya di Timor Leste.
Seperti kebanyakan anak hilang lainnya, Alberto tak lagi bisa berbicara bahasa nasional Timor Leste, yaitu bahasa Tetun.
Hal yang juga memilukan, ternyata meski tanpa jasad keluarga Alberto di Timor Leste membuat makam untuknya sebagai cara agar bisa berdamai dengan masa lalu.
(*)