Intisari-Online.com - Seperti Indonesia, negara tetangganya Timor Leste juga kaya akan beragam budaya dan tradisi.
Timor Leste sendiri pernah menjadi bagian wilayah Indonesia sekitar 24 tahun lamanya.
Indonesia menginvasi Timor Leste setelah penjajah Portugis meninggalkan wilayah ini.
Sejak tahun 1975 hingga 1999, Timor Leste berintegrasi dengan Indonesia sebagai provinsi termuda saat itu.
Namun, kelompok pro kemerdekaan Timor Leste terus bergerilya untuk melepaskan diri dari Republik Indonesia.
Akhirnya pada tahun 1999, ketika Indonesia berada di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie, digelar referendum atau pemungutan suara guna menentukan nasib Timor Leste yang saat itu bernama Timor Timur.
Referendum pun menunjukkan hasil bahwa lebih banyak pemilih yang ingin merdeka dibanding berintegrasi dengan Indonesia.
Wilayah ini pun lepas dari Indonesia dan secara resmi diakui internasional sebagai sebuah negara pada tahun 2002, sementara ada tradisi yang coba terus dilestarikan tetapi ada pula yang terancam punah.
Baca Juga: Mengapa Bangsa Indonesia Perlu Melakukan Proklamasi Kemerdekaannya hingga Disebarkan Lewat Radio?
Sejumlah budaya dan tradisi Timor Leste perlahan luntur di tengah penjajahan yang berlangsung di wilayah ini.
Misalnya tradisi Tara Bandu yang tak pernah dilarang dan tak dilakukan lagi selama masa pendudukan Indonesia dan selama Timor Leste dikuasai Portugis.
Tapi, setelah Timor Leste merdeka, hukum adat yang mengatur bagaimana masyarakat Timor Leste memperlakukan (menghukum) orang-orang yang dianggap merusak alam sekitar ini dihidupkan kembali.
Begitu pula dengan Uma Lulik, rumah adat Timor Leste yang kembali dilestasikan setelah kemerdekaannnya.
Sementara itu, ada sebuah tradisi bernama Vaihoho, sebuah senandung atau nyanyian yang biasanya mengiringi berbagai ritual di Timor Leste, disebut terancam punah.
Vaihoho biasanya disenandungkan untuk mengiringi ritual sakral seperti pernikahan tradisional Timor Leste.
Misalnya, ketika keluarga mempelai wanita mempersiapkan makanan untuk acara pernikahan, yang dikenal sebagai maca-maca (paket kue ketan yang dibungkus dengan daun anyaman berfungsi sebagai undangan), maka diiringi dengan nyanyian vaihoho.
Begitu pula saat pengantaran pengantin wanita ke rumah pengantin pria, Vaihoho mewarnai rangkaian acara pernikahan tardisional Timor Leste ini.
Vaihoho disebut terancam punah, namun sejak 2020 lalu, catatan-catatan Vaihoho berusaha didigitalisasi melalui sebuah proyek yang diselenggarakan University of Melbourne
Mengutip cultureincrisis.org, kisah-kisah yang dinyanyikan Vaihoho dari orang-orang asli Fataluku di Timor-Leste dianggap sebagai repertoar kelompok yang paling berharga.
Sejumlah besar cerita vaihoho didokumentasikan dengan tangan oleh seorang pemimpin budaya senior, Justino Valentim.
Dengan proyek tersebut, tim peneliti di University of Melbourne bertujuan untuk mendigitalkan dan melestarikan catatan-catatan yang dibuat oleh Justino Valentim.
Mendiang pemimpin budaya orang Fataluku, Justino Valentim, mencatat dan melestarikan sejumlah besar tradisi tersebut dalam buku latihan dan hard drive, yang disimpan di rumah keluarganya.
Selain catatan tertulis dari lagu-lagu Vaihoho, tim proyek dari University of Melbourne (Australia) juga akan mendigitalkan kumpulan catatan, puisi, dan foto yang melibatkan Vaihoho, di mana materi berasal dari 1999-2014.
Disebut, praktik Vaihoho terancam punah. Seiring berjalannya waktu, perang dan penjajahan membuat generasi muda enggan belajar dan terlibat dalam praktik Vaihoho.
Sehingga menanggapi keadaan tersebut, Valentim bekerja selama bertahun-tahun mengumpulkan banyak koleksi puisi lagu Vaihoho dan musik pengiring dari seluruh negeri Fataluku. Namun, koleksi tersebut belum disimpan secara memadai untuk menjaga keamanannya atau membuatnya dapat diakses.
(*)