“Barwick tahu potensi Laut Timor. Prospek Australia menyelesaikan ketergantungannya pada impor minyak bumi adalah masalah yang jauh lebih penting secara strategis daripada penentuan nasib sendiri bagi rakyat Timor Portugis."
Barwick menolak tawaran Amerika untuk mendukung program pengembangan penentuan nasib sendiri selama 10 tahun untuk Timor Leste.
Baik pemerintah Koalisi maupun Partai Buruh mengabaikan keinginan rakyat Timor untuk menentukan nasib sendiri.
Mereka berargumen bahwa Timor Leste harus dimasukkan ke dalam Indonesia.
Pada tahun 1972, Australia merundingkan garis batas dengan Indonesia yang berada jauh di utara garis tengah.
Indonesia tidak menyadari potensi minyak bumi.
Mungkin alasan utama keinginan Indonesia untuk mengambil alih Timor adalah untuk merundingkan kesepakatan lain yang menguntungkan untuk Celah Timor, laut di selatan pantai Timor Leste.
Pada tahun 1974, Gough Whitlam bertemu dengan Presiden Soeharto dan mengungkapkan “pandangan yang secara sengaja ambigu” yang memungkinkan Suharto untuk percaya bahwa dia mendapat persetujuan Australia untuk pengambilalihan Timor.