Dari Perang Enam Hari Tahun 1967 Hingga Hari Ini, Perdamaian Sulit Ditemukan di Timur Tengah, Mungkinkah Damai Terjadi Antara Israel dan Palestina?

K. Tatik Wardayati

Penulis

Perang Enam Hari, Perang Arab-Israel

Intisari-Online.com – Dari Perang Enam Hari yang terjadi pada tahun 1967 hingga hari ini, rasanya perdamaian sulit ditemukan di Timur Tengah.

Perang Enam Hari, berlangsung dari tanggal 5 hingga 10 Juni tahun 1967.

Perang Enam Hari, merupakan perang terpendek yang pernah terjadi.

Perang ini melibatkan negara-negara Mesir, Israel, Yordania, dan Suriah.

Baca Juga: Dihapus, Rilis Militer Perebutan Israel atas Kota Tua Yerusalem dalam Perang Enam Hari

Perang Enam Hari berakhir dengan kemenangan bagi Pasukan Pertahanan Israel, yang kemudian menambahkan Dataran Tinggi Golan Suriah, Semenanjung Sinai Mesir, dan Yerusalem Timur Yordania, ke dalam kendali mereka.

Tanah Suci, termasuk Yerusalem, Israel, Palestina, Yordania Barat, Semenanjung Sinai di Mesir dan Suriah di Selatan, dinamai demikian karena hubungannya dengan Nabi Ibrahim, Musa, Yesus, dan Muhammad.

Orang-orang Yahudi dan Kristen percaya bahwa setelah eksodus dari Mesir, pengikut Musa (keturunan Abraham) mengembara di Semenanjung Sinai sampai Tanah Perjanjian ditemukan di tempat yang sekarang menjadi Wilayah Palestina, Israel, Lebanon, sebagian Mesir, Yordania, dan Suriah.

Orang-orang Kristen percaya bahwa situs Tanah Suci mencakup peristiwa-peristiwa besar dalam kehidupan Yesus, termasuk kelahiran, pembaptisan, kematian, dan kebangkitan-Nya.

Baca Juga: 6 Perang Ini Buktikan Kekuatan Menghancurkan Dari Pesawat Serang Darat

Sementara umat Muslim pun mengatakan bahwa Muhammad menerima tulisan-tulisan Al-Qur’.an dari malaikat Jibril dan diilhami untuk menghadap Mekah selama salatnya di Yerusalem.

Masalah di wilayah tersebut dimulai sektiar tahun 1900 ketika wilayah itu menjadi milik Kesultanan Utsmaniyah.

Pada tahun 1917, Kerajaan Inggris mengambil alih setelah jatuhnya Ottoman.

Orang-orang Yahudi kemudian pindah ke tempat yang dikenal sebagai Palestina Inggris oleh ribuan orang dengan harapan dapat mendirikan negara Yahudi.

Ketegangan antara orang-orang Arab yang mapan dan populasi Yahudi baru semakin tinggi.

Selama Perang Dunia I, Kekaisaran Ottoman memihak Jerman melawan Amerika Serikat, Inggris Raya, Prancis, dan Rusia.

Ini menyebabkan Sharif Hussein bin Ali, Raja Arab, memulai Pemberontakan Arab Besar melawan Ottoman, yang berpuncak pada pembebasan Damaskus dan kepemilikan Suriah selatan, Yordania, dan sebagian besar Semenanjung Arab pada tahun 1917.

Pada tahun 1920, Liga Bangsa-Bangsa, yang dibentuk dari Konferensi Perdamaian Paris setelah Perang Dunia 1 untuk menyelesaikan perselisihan internasional, membagi wilayah Utsmaniyah yang ditaklukkan.

Prancis menerima negara bagian Suriah dan Lebanon, Inggris Raya menerima Irak dan Palestina.

Baca Juga: Cukup Tiga Menit Bagi Israel Ledakkan 5 Pesawat Tempur Soviet Ini, Sampai Muncul Larangan Tertawa

Akhirnya keduanya menimbulkan masalah antara Yahudi Zionis dan Arab Palestina.

Lalu ketika Nazi memulai pencarian mereka untuk menaklukkan dunia, ribuan orang Yahudi dari Jerman dan daerah pendudukan melarikan diri ke Palestina, sehingga meningkatkan persentase orang Yahudi di Palestina sebesar tiga belas persen.

Pada tahun 1936, orang-orang Palestina mulai bosan dengan kontrol Inggris.

Mereka pun membentuk partai politik yang menyerukan pemerintahan sendiri dan memberontak melawan pemerintah Inggris, yang mengizinkan semakin banyak orang Yahudi bermigrasi ke Palestina.

Maka pemberontakan pun dimulai, dimulai dari pemogokan, hingga dengan cepat berkembang menjadi oposisi yang kejam.

Pejabat Palestina tidak melakukan apa pun untuk menenangkan publik, dan Inggris Raya memperkenalkan Komisi Kerajaan.

Ini malahan membuat warga Palestina semakin marah, yang mengarah pada pembunuhan Komisaris Distrik Inggris, Lewis Yelland Andrews.

Pada tahun 1947, masalah Palestina akhirnya diserahkan kepada PBB, yang kemudian membagi Palestina menjadi dua negara, satu untuk Yahudi dan satu untuk Arab.

Namun, orang-orang Arab menolak usulan itu dan berusaha mengusir orang-orang Yahudi.

Baca Juga: Serangan Israel pada sekutunya, Kapal USS Liberty dalam Perang 'Enam Hari' Arab-Israel

Pada Mei 1948, Israel mendeklarasikan kemerdekaan tetapi menjanjikan persamaan hak kepada rakyat Palestina.

Namun orang-orang Arab menyerang negara baru Israel malam itu juga, sehingga memicu Perang Arab-Israel Pertama.

Pada akhir konflik, orang-orang Yahudi telah menguasai tanah mereka dan merebut tanah baru yang dikhususkan untuk Palestina di Yordania dan Mesir.

Ini membuat tujuh ratus ribu orang Arab melarikan diri ke Jalur Gaza, Yordania, Suriah, dan Lebanon. Gencatan senjata ditandatangani pada Juli 1949.

Tetapi, ketegangan berlanjut, dan pada tahun 1956 Mesir memutuskan gencatan senjata dengan blokade Terusan Suez, sehingga mengancam pergerakan perdagangan internasional, khususnya Eropa.

Pada tahun 1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) didirikan untuk memperjuangkan kemerdekaan politik dari orang Arab.

Tahun 1967, Gamel Abdul Nasser, Presiden Mesir, menutup selat Aqaba untuk pengiriman Israel dan berjanji untuk menghancurkan negara Yahudi.

Baca Juga: Dilakukan pada Bulan Puasa, Serbuan Militer Mesir Operation Badr Sempat Bikin Israel Kocar-kacir

Dia bersekutu dengan Yordania dan Suriah serta memblokade pelabuhan Israel di Eilat.

Dan dimulailah Perang Enam Hari.

Perang 1967 itu mendefinisikan perbatasan Timur Tengah saat ini.

Namun, perdamaian di Timur Tengah selalu dipertanyakan karena hubungan permusuhan antara Israel dan Palestina yang berlanjut hingga hari ini.

Baca Juga: Perang Enam Hari Jilid II di Depan Mata, Israel Bersiap Hadapi Serangan Habis-habisan 4 Negara Arab Ini, Akankah 'Sejarah' Kembali Memihak Negara Zionis Tersebut?

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait