Find Us On Social Media :

Gerakan Intifada: Perlawanan Rakyat Palestina terhadap Israel yang Renggut Ribuan Nyawa

By Muflika Nur Fuaddah, Senin, 24 Mei 2021 | 07:10 WIB

Gerakan Intifada

Para pekerja Palestina itu terbunuh sehingga memunculkan protes besar-besaran di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Warga Palestina memboikot setiap produk dan usaha Israel, serta mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan usaha rumahan milik Palestina.

Selain itu, di sektor pendidikan dan kesehatan, warga Palestina mengelola universitas, klinik, maupun sekolah secara sembunyi-sembunyi.

Perlawanan tersebut juga terwujud melalui perlawanan fisik.

Sebagian besar perlawanan fisik terjadi selama tahun awal Intifada Pertama.

Mulanya, warga Palestina melawan tentara Israel dengan batu dan bom molotov.

Namun, militer dan polisi Israel membalasnya dengan lebih kejam.

Baca Juga: Dukung Palestina, Iran Ajak Umat Muslim Bersatu Lawan Israel, Sampai Siapkan Senjata-senjata Mematikan Ini

Warga Palestina tidak tahan hingga akhirnya memakai senapan, granat tangan, dan bahan peledak untuk melawan.

Menurut kelompok hak asasi manusia B'Tselem, hampir 2.000 nyawa hilang akibat kekerasan selama Intifada Pertama dengan rasio kematian Palestina dan Israel sekitar 3 banding 1.

Intifada Pertama yang berlangsung pada 1987 hingga 1993 identik dengan mobilisasi massa dan protes besar-besaran.

Pada 1988, PLO menerima persyaratan-persyaratan yang diajukan Amerika Serikat (AS) dalam sebuah dialog antara AS dengan Palestina.

Intifada terbukti merusak perpolitikan dan perekonomian Israel.

Setelah pemilu pada 1992, pemerintah baru Israel membawa mandat untuk merundingkan perdamaian.

Pada awal 1990-an, PLO mengubah taktik perjuangannya.

PLO mulai meninggalkan cara-cara keras menggunakan senjata dan mulai mencoba cara-cara diplomasi.

Pada awal 1993, para perunding Israel dan PLO melakukan serangkaian pembicaraan rahasia di Oslo, Norwegia.

Baca Juga: 243 Warga Palestina Tewas hingga 1.900 Terluka, Joe Biden Malah Setuju Jual Senjata Rp10,5 Triliun ke Israel

Pada 9 September 1993, Pemimpin PLO Yasser Arafat mengirim surat kepada PM Israel Yitzhak Rabin.

Isi surat itu adalah PLO mengakui hak hidup Israel dan secara resmi meninggalkan cara-cara perjuangan bersenjata.

Pada 13 September 1993, Arafat dan Rabin menandatangani perjanjian di Washington DC, AS, yang kemudian menjadi Kesepakatan Oslo.

(*)