Pada saat itu, Henri menjelaskan, pangkalan itu menjadi tempat rotasi tiga jet Hawk selama dua minggu dan pilot diperintahkan untuk menembak jatuh pesawat tidak sah yang memasuki wilayah udara Indonesia.
Empat hari setelah tiba di Kupang, pada 16 September, Henri mengatakan dia ditugaskan dengan misi patroli udara tempur (CAP) rutin.
Pemimpin penerbangan untuk serangan mendadak itu adalah Kapten Azhar "Gundala" Aditama dengan nomor seri TT-1207 Hawk Mk 209 satu kursi.
Henri, yang kode panggilannya “Tucano,” berada di dua kursi Hawk Mk 109 TL-0501 bersama Anton “Tomcat” Mengko.
Kedua jet tersebut dilaporkan lepas landas sekitar pukul 09.00 untuk menerbangkan CAP di tenggara Flight Information Region (FIR), yang berbatasan dengan wilayah udara Australia di lepas pantai Darwin, di Northern Territory negara itu.
Misi Hawk dikoordinasikan menggunakan Ground Control Interception (GCI), melalui unit radar di Kupang yang dikomandoi oleh Mayor Lek Haposan.
Haposan-lah yang memberi tahu Azhar bahwa dua pesawat tak dikenal telah melintasi batas FIR Darwin pada ketinggian 8.000 kaki dan kecepatan 160 knot.
Menurut keterangan itu, operator radar kemudian meminta pemeriksaan penerbangan Hawk yang diduga helikopter, menuju Dili, ibu kota Timor Leste.
Henri meminta Azhar untuk menggunakan radarnya dan memverifikasi kecepatan kontak.
Hal itu karena dan kursi tunggal Hawk Mk 209 yang dibawa Azhar memiliki set pulse-Doppler AN / APG-66H, mirip dengan radar yang ditemukan pada F-16A / B, sedangkan dua kursi yang dinaiki Henri tidak memiliki radar
Azhar sang pemimpin penerbangan pun melaporkan bahwa kontak tersebut bergerak dengan kecepatan 150 knot, kemudian mencatat bahwa angka tersebut terus meningkat… 160, 170, 200 knot.
Pesawat tak dikenal itu selanjutnya berada pada jarak sekitar 80 mil dari Hawks.