Penulis
Intisari-Online.com - Pada Rabu (21/4/2021) pagi, kapal selam milik Indonesia yaitu KRI Nanggala-402 dikabarkan hilang kontak.
Kepala Dinas Penerangan TNI AL (Kadispenal) Marsekal Pertama Yulius Widjojono mengatakan, kapal selam ini membawa 53 orang yang terdiri dari 49 Anak Buah Kapal (ABK), seorang komandan satuan, dan tiga personel senjata.
Berdasarkan keterangan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, KRI Nanggala-402 diperkirakan hilang di perairan sekitar 60 mil atau sekitar 95 kilometer dari utara Pulau Bali, sekitar pukul 03.00 waktu setempat.
"Baru izin menyelam, setelah diberi clearance, langsung hilang kontak," kata Hadi seperti dikutip Kompas.id, Rabu.
Baca Juga: 'Diborong' Militer-militer Paling Kuat, Inilah 10 Kapal Selam Terbaik di Dunia!
Hingga hari ini, Sabtu (24/4/2021), proses pencarian KRI Nanggala 402 masih terus berlangsung dengan bala bantuan dari luar negeri yang terus berdatangan.
Salah satu yakni AS yang juga ikut serta mencari KRI Nanggala 402 dengan mengirimkan P8 Poseidon.
P8 Poseidon merupakan pesawat pengintai maritim yang paling canggih saat ini.
Kemampuannya mendeteksi kapal selam di atas rata-rata.
Meski begitu, pada Oktober 2020 Indonesia diketahui pernah menolak kedatangan pesawat Poseidon ini untuk mendarat dan mengisi bahan bakar di Indonesia.
Para pejabat AS gencar mendekati menteri pertahanan dan luar negeri Indonesia sebelum presiden Indonesia, Joko Widodo, menolak permintaan tersebut.
Permintaan AS itu datang ketika ketegangan antara AS dan China tengah memanas untuk mendapatkan pengaruh di Asia Tenggara.
Penolakan ini diduga lantaran Indonesia yang memiliki kebijakan luar negeri netral sudah sejak lama, sehingga tak mengizinkan militer asing beroperasi.
Melansir Reuters, P8 Poseidon memainkan peran sentral dalam mengawasi aktivitas militer China di Laut China Selatan, yang sebagian besar diklaim oleh Beijing sebagai wilayah kedaulatan.
Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei memiliki klaim tandingan atas perairan yang kaya sumber daya itu, yang dilalui perdagangan senilai $ 3 triliun setiap tahun.
Indonesia bukan penuntut resmi Laut China Selatan, tetapi menganggap sebagian Laut Cina Selatan sebagai miliknya.
China secara teratur telah mengusir kapal penjaga pantai dan kapal nelayan China dari daerah yang diklaimnya tersebut.
Indonesia tidak ingin memihak dalam konflik ini.
(*)