Penulis
Intisari-Online.com - Presiden Soekarno memang dikenal sebagai sosok yang cerdik dan banyak akal, juga selalu membuat kagum dengan pidatonya.
Ternyata, salah satunya ditunjukkan Sang Proklamator di Hari Raya Idul Fitri tahun 1962 yang jatuh pada 8 Maret.
Saat itu, salat idul fitri berjamaah digelar di lapangan antara Istana Merdeka dan Istana Negara.
Usai melaksanakan salat idul fitri, Presiden Soekarno pun berpidato di hadapan para jemaah.
Selain rakyat Indonesia, hadir pula berbagai duta besar negara asing. Tentu tak ketinggalan juru warta yang bertugas meliput.
Mereka semua mendengarkan amanat Bung Karno.
Awalnya, pidato yang disampaikan Presiden Soekarno seperti amanat hari lebaran pada umumnya. Dia memulai pidatonya dengan permohonan maaf, dikutip Wartakotalive.
“Kepada siapapun saja yang saya kenal dan yang mengenal kepada saya. Minta dimaafi kesalahan-kesalahan saya, yang saya ketahui dan yang saya tidak ketahui," kata Presiden Soekarno.
Kemudian ia membahas tentang dua hari raya dalam agama Islam yang mesti dimuliakan, yaitu Idul Fitri dan Idul Kurban.
Presiden menekankan apa yang semestinya dilakukan pada hari raya tersebut.
“Saudara-saudara, bahwa meskipun Hari Id, baik Idul Fitri maupun Idul Kurban, adalah hari yang dimuliakan, menurut saya tidak ada satu kalimat bahkan tidak ada satu kata di dalam kitab Quran bahwa di kedua hari ini, baik Idul Fitri maupun Idul Kurban, harus nganggur,” kata Soekarno.
Rupanya, itu menjadi pembuka Bung Karno untuk membakar semangat rakyat Indonesia untuk terus berjuang mempertahankan Indonesia dari kekuatan asing.
Saat itu, Indonesia tengah kembali berkonflik dengan Belanda, yaitu terkait status wilayah Irian Barat yang masih menggantung pasca hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) diteken pemerintah Indonesia dan Belanda.
KMB yang dilakukan sebagai upaya menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda (1945-1949), menyisakan pembahasan Irian Barat yang menurut hasil konferensi tersebut akan dilakukan satu satuh setelah KMB ditandatangani.
Namun, Belanda tak kunjung menepatinya, bahkan menolak menyerahkan Irian Barat ke Indonesia.
Upaya diplomasi bilateral dan multilateral yang dilakukan pemerintah Indonesia juga tak menunjukkan hasil.
Hingga pada Pada 1961, Presiden Soekarno mengeluarkan Tiga Komando Rakyat atau dikenal sebagai Trikora.
Isinnya yaitu: 1) Gagalkan pembentukan negara Papua, 2) Kibarkan bendera Merah Putih di Irian Barat, dan 3) Bersiap untuk mobilisasi umum untuk mempertahankan kemerdekaan dam kesatuan tanah air dan bangsa.
Persiapan untuk merebut Irian Barat, Presiden Soekarno pada 2 Januari 1962 mengeluarkan keputusan Nomor 1 Tahun 1962 untuk membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat.
Masalah Irian Barat bukan sekedar wilayah yang masih berada di tangan kolonialis, tapi juga menyangkut harga diri sebuah negara berdaulat.
Isu utama yang tengah dihadapi Indonesia itulah yang disisipkan Presiden Soekarno dalam pidatonya di hari lebaran pada 8 Maret 1962.
Presiden Soekarno menyerukan, dengan segala jalan yang halal, rakyat Indonesia harus membebaskan Irian Barat.
Soekarno menyebutkan berbagai opsi jalan pembebasan.
Bisa dengan jalan infiltrasi memasuki wilayah Irian Barat. Bisa dengan jalan pertempuran-pertempuran kecil. Maupun dengan jalan pertempuran-pertempuran besar, hingga dengan jalan pertempuran total.
Hal yang terpenting yaitu Irian Barat masuk ke dalam wilayah Indonesia tahun itu juga.
“Saya menghendaki kepada rakyat Indonesia, pergiat, pergiat, pergiatlah menjalankan apa yang dituliskan, diperintahkan dalam Trikomando Rakyat itu,” seru Soekarno dalam pidatonya berjudul “Pergiatlah Trikomando Rakyat” yang terhimpun pada kumpulan pidato Pembebasan Irian Barat terbitan Departemen Penerangan.
Kemudian untuk memantik emosi para penyimak pidatonya, Soekarno mengatakan bahwa banyak saudara sebangsa yang mendekam di penjara Irian Barat. Mereka adalah rakyat Papua yang pro-Indonesia dan anti-Belanda.
Menurut Soekarno, mereka menantikan untuk dibebaskan oleh Republik Indonesia.
Meski demikian, dalam pidato yang juga didengarkan para duta besar negara asing itu, Soekarno mengatakan tetap membuka diri untuk berunding dengan Belanda mengenai penyerahan kekuasaan atas Irian Barat.
Dalam bahasa Inggris, Soekarno meminta para duta besar maupun wartawan mencatat pernyataannya, “Pintu masih terbuka untuk penyelesaian secara damai, pintu masih terbuka untuk negosiasi secara damai.”
"Tetapi, saya juga dengan tegas mengatakan," teriak Soekarno, "bahwa saya memerintahkan kepada segenap Rakyat Indonesia, untuk mempergiat, melaksanakan, Trikomando Rakyat itu, sebab sejarah berjalan terus, sejarah tidak menunggu lagi."
Pada saat bersamaan, mengutip berita Reuters, Rosihan Anwar mencatat bahwa Pemerintah Amerika Serikat (AS) mulai memainkan peran membawa Indonesia dan Belanda ke meja perundingan.
Baca Juga: Warna Pakaian yang Sering Anda Pilih Beberkan Rahasia Terdalam Anda
Kementerian Luar Negeri AS mengirimkan laporan mengenai pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Luns dan Menteri Luar Negeri AS Dean Rusk kepada Duta Besar AS di Jakarta, Howard Jones.
Laporan tersebut akan dijadikan landasan bagi diplomat-diplomat AS di Jakarta dalam usaha mereka menghubungi pejabat-pejabat Indonesia.
“Bukan mustahil dalam waktu dua minggu lagi akan dimulai secret talks atau perundingan tidak format antara Indonesia-Belanda untuk menyelesaikan soal Irian Barat,” tulis Rosihan dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik, 1961—1965.
Menurut sejarawan Belanda, Pieter Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, percakapan-percakapan rahasia akhirnya dapat dimulai pada 20 Maret 1962. Sekira 10 hari setelah seruan Soekarno di hari Lebaran.
Perundingan rahasia digelar di kota Middleburg, Virginia, AS.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Adam Malik, yang saat itu menjadi duta besar Indonesia untuk Uni Soviet.
Sementara delegasi Belanda dipimpin oleh Herman van Rooijen, duta besar Belanda di PBB.
Perundingan yang dimediasi oleh diplomat AS, Ellsworth Bunker itu kelak mengasilkan “Rencana Bunker” (Bunker Plan).
Penyelesaian Masalah Irian Barat
Rencana Bunker itu yang kemudian menjadi formula penyelesaian sengketa Irian Barat.
Garis besar rencana Bunker itu mengusulkan agar Belanda mengalihkan kendali atas Irian Barat ke administrator Perserikatan Bangsa-Bangsa yang netral.
Kemudian secara bertahap akan digantikan oleh administrator Indonesia, dan kemudian seluruhnya ke Indonesia.
Selain itu, diperlukan untuk menyelenggarakan referendum "untuk memberikan kebebasan kepada orang Papua" dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa dan personel Perserikatan Bangsa-Bangsa lainnya.
Akhirnya pada 15 Agustus 1962, ditandatangani Persetujuan New York antara Indonesia dan Belandadi Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Kemudian secara resmi Irian Barat berada dibawah pengawasan Indonesia pada 1963, sebagai salah satu hasil Persetujuan New York tersebut.
Selanjutnya pada 19 Desember 1969, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) membuktikan bawah Irian Barat adalah bagian dari Indoenesia.
Irian Barat pun kembali ke pangkuan Republik Indonesia.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari