Find Us On Social Media :

Sejarah Timor Leste Pernah Dijajah Portugis Ratusan Tahun, saat Ada Kesempatan Merdeka Justru Rakyatnya Terpecah Belah, Termasuk Ingin Bergabung dengan Indonesia

By Khaerunisa, Senin, 12 April 2021 | 13:30 WIB

Referendum Timor Leste 1999. (Ilustrasi) Sejarah Timor Leste Pernah Dijajah Portugal Ratusan Tahun, saat Ada Kesempatan Merdeka Justru Rakyatnya Terpecah Belah, Termasuk Ingin Bergabung dengan Indonesia

Intisari-Online.com - Sejarah Timor Leste pernah dijajah Portugis selama ratusan tahun, kemudian diduduki Indonesia selama 24 tahun.

Setelah Portugis meniggalkan Timor Leste dan sebelum kedatangan pasukan Indonesia, sebenarnya Timor Leste pernah mendeklarasikan kemerdekaannya.

Namun, saat itu rakyat Timor Leste pun masih terpecah belah.

Fretilin adalah kelompok yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste, sementara kelompok lainnya punya keinginan berbeda.

 

Baca Juga: Sejarah Timor Leste Dijajah Portugis, Berbagi Nasib yang Sama Ternyata Negara Afrika Ini Punya Peran Penting dalam Perjuangan Kemerdekaan Bumi Lorosae

Deklarasi kemerdekaan Timor Leste oleh Fretilin terjadi pada 28 November 1975, hanya beberapa hari sebelum Timor Leste diinvasi oleh Indonesia.

Keberhasilan pasukan Indonesia dalam operasi militer ke Timor Leste menjadikan Bumi Lorosae masuk sebagai wilayahnya.

Kemerdekaan yang dideklarasikan Fretilin pun hanya bertahan 'seumur jagung'.

Tapi, bagaimana sejarah terjadinya deklarasi kemerdekaan Timor Leste itu?

Baca Juga: Rebut Paksa Jika Perlu, China Makin 'Nakal' Pancing Kemarahan Taiwan, AS Maju Beri Peringatan Ini

Ternyata, proses deklarasi kemerdekaan itu juga diwarnai perebutan kekuasaan antar partai di Timor Leste.

Mengutip Kompas.com, melansir dari laman The Center for Justice and Accountability, saat itu terjadi kekosongan kekuasaan setelah penarikan pasukan Portugal.

Kemudian kekosongan kekuasaan banyak diisi oleh partai pro kemerdekaan dari akar rumput, yaitu Fretilin (Front Revolusioner untuk Timor Leste Merdeka).

Mereka mengambil peran semi-pemerintah dalam waktu-waktu ini.

Baca Juga: Bukan Kecelakaan tapi Tindakan Teroris, Mossad Dilaporkan Berada di Balik Serangan Situs Nuklir Utama Iran

Namun, tindakan ini pun mendapat reaksi keras dari partai-partai lainnya. Sebab, setiap partai memiliki misinya masing-masing.

Pada mulanya terbentuk tiga partai utama di Timor Timur yaitu, Partai Fretilin, Uni Demokrat Timur (UDT) dan Associacao Popular Democratica Timorense (APODETI).

Fretilin menginginkan Timor Timur untuk merdeka dan berdaulat sepenuhnya. Sedangkan UDT menginginkan kemerdekaan secara bertahap.

Baca Juga: Sok-sokan Jadi Negara Militer Terkuat di Dunia, Tak Disangka Jutaan Rakyat Korea Utara Terpaksa Mengemis demi Sesuap Nasi, Kim Jong-Un Sendiri yang Bongkar Kebobrokan Negaranya

Di sisi lain, APODETI justru ingin agar Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia.

Fretelin pun akhirnya melawan UDT. Perlawanan ini banyak menimbulkan korban, termasuk yang berasal dari rakyat sipil.

Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil.

Korban-korban itu sebagian besarnya adalah pendukung faksi integrasi dengan Indonesia.

Baca Juga: Dikabarkan Meninggal Dunia, Inilah Sosok Lia Eden, Pernah Hebohkan Indonesia 15 Tahun Lalu Ngaku Mendapat Wahyu Malaikat Jibril hingga Deklarasikan Agama Baru

Dalam perkembangannya, UDT dan APODETI kemudian meminta bantuan Indonesia untuk meredam situasi yang terjadi.

Setelah deklarasi kemerdekaan oleh Fretilin, kelompok pro-integrasi pun mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975

Akhirnya, pada 7 Desember 1975, Indonesia mengirimkan pasukan militernya ke Timor Timur.

Namun, bukannya meredakan ketegangan yang ada, masuknya militer tersebut justru semakin memperkeruh konflik yang tengah terjadi. Korban-korban dari kedua belah pihak pun terus berjatuhan.

Baca Juga: Baru Sehari Iran Umumkan Pengayaan Uranium Canggih, Fasilitas Nuklirnya Sudah Terjadi Kecelakaan, Sudah Dua Kali Sejak 2020

New York Agreement dan Referendum Timor Leste

Setelah upaya-upaya yang dilakukan untuk meredakan konflik tidak kunjung berhasil, Indonesia kemudian membawa masalah konflik Timor Timur ke PBB setelah melakukan perundingan dengan Portugal.

Melansir dari buku Midwifing a New State: The United Nations in East Timor karya Markus Benzing, pada 5 Mei 1999, dicapai kesepakatan antara Indonesia dan Portugal untuk membuat perjanjian referendum di Timtim.

Perjanjian tersebut dikenal sebagai New York Agreement.

PBB juga membentuk United Nations Mission in East Timor (UNAMET) untuk mengawal kesepakatan Indonesia dan Portugal dalam prosesnya menuju referendum Timtim.

Baca Juga: Inilah Pedang Paling Mematikan dalam Sejarah, dari Pedang Bermata Dua yang Dipegang dengan Dua Tangan Hingga Samurai Bermata Satu

Setelah membentuk UNAMET pada 11 Juni Juni 1999, Dewan Keamanan PBB juga menetapkan resolusi 1246, yaitu kesepakatan antara Indonesia, Portugal, dan PBB untuk menggelar referendum.

Dengan resolusi tersebut, PBB pun membentuk misi UNAMET untuk mengawal referendum yang akan segera digelar.

Referendum kemudian dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 dan dilaksanakan dengan dua pilihan, yaitu menerima otonomi khusus untuk Timtim dalam NKRI atau menolak otonomi khusus.

Hasil referensum menunjukkan sebanyak 94.388 penduduk atau sebesar 21,5 persen memilih tawaran otonomi khusus, sementara 344.580 penduduk atau 78,5 persen memilih untuk menolaknya.

Baca Juga: Dulunya Hendak Digarap Bareng Indonesia Sebelum Indonesia Menunggak Pembayarannya, Prototipe Jet Tempur Besutan Korea Selatan Diluncurkan, Beginilah Tanggapan Jokowi

(*)

 

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja Majalah Intisari.Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari