Penulis
Intisari-online.com -Ketegangan maritim terakhir antara China dan Filipina adalah tanda lain jika perairan Asia-Pasifik menjadi penuh 'badai' dan kemungkinan besar akan tetap seperti itu untuk masa depan nanti.
Perubahan geopolitik dan permusuhan antara AS dan China telah menuntun kepada peningkatan tidak biasa dalam manuver maritim dan penguasaan wilayah.
Kemudian analis mengatakan kehadiran lebih banyak aset militer, baik udara maupun laut, telah memeberatkan risiko kecelakaan dan konfrontasi.
"Tentu saja ada kekhawatiran terkait apakah insiden itu bisa menyebabkan ketegangan lebih besar," ujar Collin Koh, rekan peneliti dari Studi Internasional S. Rajaratnam di Singapura.
Pakar juga mengatakan di This Week in Asia jika kecuali Beijing dan Washington mampu temukan keseimbangan dalam hubungan mereka, bahaya dan ketidakpastian di sekitar perairan Asia kemungkinan tidak akan reda dalam waktu dekat.
Harsh Pant, kepala program studi strategi di lembaga Penelitian New Delhi Observer Research Foundation mengatakan turbulensi di perairan wilayah itu sudah diprediksi karena dua negara terus-terusan meningkatkan kekuatan dan menguji satu sama lain.
"China yakin jika AS menguji keberaniannya, sementara administrasi Biden merasa mereka perlu tunjukkan keberanian dalam melawan China," ujar Pant.
Tambahan juga sementara pihak Barat telah menjadi lebih agresif menangani tantangan oleh Beijing, negara-negara di Asia-Pasifik juga lebih terbakar dalam respon mereka.
"Wilayah itu punya potensi menjadi lebih berbahaya, rentan dan lebih banyak turbulensi daripada sebelumnya," ujarnya.
Berbagai tempat panas
Ada beberapa pernyataan terkait perairan Asia beberapa minggu terakhir.
Salah satunya adalah pernyataan Menlu AS Antony Blinken minggu lalu bahwa Washington akan bersanding dengan sekutunya Filipina setelah lebih dari 200 kapal China mengepung Karang Whitsun, yang berada di dalam zona ekonomi eksklusif Manila di Laut China Selatan tapi juga diklaim oleh Beijing.
Filipina juga menyebut kehadiran kapal-kapal itu sebagai upaya militerisasi, dan menuntut kapal-kapal supaya meninggalkan karang itu.
Meskipun China telah mengklaim kapal itu hanyalah kapal penangkap ikan berlindung dari terpaan cuaca, insiden tersebut telah menimbulkan kekhawatiran jika Beijing meningkatkan upayanya untuk mengontrol perairan sengketa.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bersama Menhan Jepang setuju dengan kuat menolak aksi apapun dari China yang dapat meningkatkan ketegangan di Laut China Selatan.
Menhan Jepang, Nobuo Kishi, mengatakan kerjasama ini termasuk kerjasama pertahanan dua negara dan latihan bersama.
Sementara itu Jepang sudah sepakat dengan AS untuk melaksanakan latihan militer di Laut China Timur pada 24 Maret untuk menahan upaya China mengubah status quo di sekitar Kepulauan Diaoyu.
Sebelumnya pada 22 Maret, Korea Selatan dan Jepang mengatakan mereka akan meluaskan kerjasama keamanan setelah menlu dan menhan AS mengunjungi dua negara sekutu AS itu dan menekankan pentingnya kerjasama tiga negara.
Negara-negara Eropa pun juga terlibat, bulan lalu Perancis dan Jerman mengatakan berencana mengirim kapal melalui Laut Vietnam Timur pertama kalinya dalam 19 tahun untuk menahan China.
Greg Poling, direktur Asia Maritime Transparency Initiative di Pusat Strategi dan Studi Internasional (CSIS) di Washington mengatakan negara Eropa merespon yang mereka anggap ancaman terhadap prinsip dasar dari undang-undang maritim internasional.
"Mereka juga merespon sinyal bantuan dari tetangga China yang secara aktif mencari cara menggaungkan sengketa maritim itu ke ranah internasional sebagai satu-satunya harapan menghadapi tekanan yang meningkat dari maritim China," ujar Poling.
Perkembangan lain temukan jika India bulan ini akan bergabung dengan latihan yang dipimpin angkatan laut Perancis La Perouse pertama kalinya di Teluk Bengal, bersama latihan Malabar oleh Australia, AS dan Jepang.
India, AS, Australia dan Jepang dikenal juga sebagai Quadrilateral Security Dialogue atau Quad yang sering dilihat sebagai koalisi anti-China.
The Australian Strategic Policy Institute juga mengatakan diskusi latihan India-Australia-Perancis dan India-Australia-Indonesia sedang dilakukan.
Ketegangan juga meningkat karena China mengesahkan undang-undang coastguard yang bebaskan mereka tembaki kapal asing masuki wilayah meereka.
Namun Yan Yan, direktur di Pusat Penelitian Undang-undang dan Kebijakan di Institut Nasional China untuk Studi Laut China Selatan, mengatakan dalam webinar minggu lalu jika penggunaan kekuatan hanya berkisar sebagian kecil, dan juga ada pengawasan yang memastikan penggunaannya "proporsional dan diperlukan".
Yan juga mengatakan China belum pernah dalam sejarah menggunakan kekuatan mematikan dalam operasi maritim mereka, tidak seperti negara-negara Asia Tenggara.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini