Penulis
Intisari-online.com -Pemerintahan Joe Biden baru memasuki waktu-waktu ketika banyak ujian mulai datang.
Tentu saja, apapun keputusan yang ia buat membuatnya menjadi sorotan.
Salah satu kebijakan yang pasti harus dllakukan pemerintah AS adalah terhadap Moskow.
Mengutip The National Interest, pakar menyebut dua presiden pendahulu Biden memiliki keputusan yang salah terhadap Rusia.
Presiden Barack Obama mengira ia bisa menghapus ancaman keamanan nasional yang berasal dari Moskow dengan menyebut Rusia tidak lebih kekuatan regional dan mengatakan agresi Rusia ke Ukraina hanyalah masalah Eropa.
Presiden Donald Trump sementara itu berpikir mengubur kepalanya di pasir akan melindungi AS dari serangan siber Kremlin.
Kini, ada kesempatan bagi pemerintah AS yang baru untuk mengubah kesalahan persepsi itu.
John E. Herbst, Direktur Pusat Eurasia di Dewan Atlantik dan mantan dubes AS untuk Ukraina, menyebutkan hubungan AS dengan Moskow selalu tegang.
Satu pihak berpendapat jika hubungan sulit karen Rusia yang menjadi satu-satunya rival nuklir AS, memiliki kemampuan unik untuk membinasakan AS.
Itulah sebabnya, mereka berargumen jika AS harus melakukan pendekatan baru berdasarkan dialog dan upaya baru untuk "memahami" Rusia.
Selanjutnya, kebijakan yang tepat atas Rusia dimulai dengan benar-benar memahami kemampuan, niat dan kelemahannya.
Kemampuan Rusia adalah salah satu negara berkekuatan senjata nuklir, serta militer konvensional terkuat di Eropa.
Rusia juga bersaing dengan China untuk menjadi negara berkekuatan militer konvensional terkuat kedua di dunia.
Rusia juga memiliki kapasitas militer siber yang signifikan.
Namun ekonomi Rusia adalah kelemahan utamanya, dengan peringkat 11 untuk Produk Nasional Bruto, telah menurun selama 10 tahun terakhir.
Korupsi besar-besaran dari atas telah membuat ekonomi mereka menurun.
Rusia adalah kekuatan yang menurun dengan kemampuan militer hebat.
Selanjutnya, niat Rusia, dilihat dari pidato Vladimir Putin di Konferensi Keamanan di Munich Februari 2007, Putin tidak menyembunyikan niatnya.
Ia yakin jika Kremlin mendapat perjanjian mentah baru dalam sistem keamanan nasional yang muncul di akhir Perang Dingin, meskipun Moskow menandatangani perjanjian internasional yang menjelaskannya.
Kremlin yakin jika mereka harus menikmati separuh pengaruh itu, dan seperti yang ditunjukkan oleh tanda di salah satu konferensi Valdai, akan ada aturan baru untuk tatanan global atau tidak ada aturan.
Singkatnya, Putin ingin menulis ulang sejarah.
Kampanyenya Putin tidak main-main, ia melaksanakan serangan siber ke Estonia musim panas 2007, perang ke Georgia 2008, lalu ke Ukraina 2014, dimulai dengan penangkapan dan aneksasi Krimea, lalu perang di Donbas yang berlanjut.
Sejak saat itu, aktivitas Kremlin telah meliputi mengganggu berbagai pemilihan umum di AS dan seluruh Eropa, mempromosikan kemerdekaan Catalonia di Spanyol, mencoba memblokir Perjanjian Prespa antara Yunani dan Macedonia, mencoba lancarkan kudeta yang gagal di Montenegro, serangan siber besar seperti SolarWinds di AS, pelanggaran perjanjian senjata besar, upaya pembunuhan dengan senjata kimia terlarang di kota-kota Barat, dan petualangan di Afghanistan, Libya, Suriah, dan Venezuela.
Aktivitas ini tidaklah satu kejadian terpisah-pisah saja, tapi merupakan bagian dari kebijakan keseluruhan didesain untuk menganggu stabilisasi sistem internasional dan merusak kepentingan AS.
Menurut Herbst, langkah Biden sudah cukup bagus, menghubungi sekutu-sekutu akan meningkatkan kerjasama di NATO, kemudian bersama Jepang, Korea Selatan dan sekutu lain akan lebih mudah menanggulangi Kremlin, serta perlu kunjungi Laut Hitam lebih sering lagi, sehingga NATO akan lebih sering berpatroli.
Kerjasama dengan Romania, Ukraina dan Georgia juga diperlukan, serta NATO perlu membujuk Ankara dan Sofia untuk mendukung mereka.
Uni Eropa juga berperan penting, dengan bisa memberikan sanksi, Uni Eropa justru mampu menekan ekonomi Moskow, menyebabkan ekonomi Rusia harus rela turun 1% GNP setahunnya.
Hanya perlu tiga elemen tambahan dalam kebijakan atas Rusia.
Pertama, AS dan Uni Eropa harus meningkatkan harga agresi Kremlin di Ukraina dengan umumkan setiap 12 bulan tambahan sanksi akan dilakukan jika perang di Donbas belum berakhir dan tentara Rusia serta senjata-senjatanya belum kembali ke Rusia.
Kedua, AS dan Uni Eropa harus secara eksplisit menggunakan sanksi sebagai pencegahan dengan umumkan sanksi kondisional yang akan dilakukan jika Rusia menyerang Ukraina kembali dan mengirim pasukan atau personil keamanan untuk mengganggu demonstran di Belarus, atau melanjutkan menduduki Georgia lebih jauh lagi.
Ketiga, AS harus jelas, dan ini memerlukan administrasi Biden untuk bekerja dengan Kongres, jika akhir dari agresi Moskow di Donbas akan mengakhiri sanksi berkaitan Donbas, yang mana akan mengurangi perilaku agresif Rusia pada akhirnya.
Beberapa tambahan lagi adalah bantuan militer untuk Ukraina untuk membantu mereka menahan pasukan Rusia.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini