Intisari-Online.com - Hubungan Amerika Serikat (AS) dan Rusia tidak pernah selalu sama.
Kadang berbaikan. Kadang saling serang menggunakan militer.
Namun ketika Donald Trump memimpin AS, hubungan dua negara cukup mesra.
Bahkan Vladimir Putin menjadi salah satu pemimpin negara yang memberikan ucapan selamat.
Berbeda dengan Joe Biden.
Putin termasuk pemimpin negara yang cukup lama memberikan selamat atas kemenangan Biden.
Melihat dua pemimpin negara itu yang sepertinya tidak akur, bagaimana hubungan 2 negara ini ke depannya?
Rupanya, Presiden AS Joe Biden sudah punya rencana.
Dilansir dari kompas.com pada Jumat (5/2/2021),Presiden AS Joe Bidenmenyatakan, dia sudah memberi tahu Presiden Rusia VladimirPutinmasa mereka "tunduk" sudah usai.
Pernyataan itu disampaikan di tengah upayanya untuk memutus kebijakan luar negeri yang dilakukan pendahulunya, Donald Trump.
Saat masih menjabat pada 2017 sampai 2021, Trump dianggap terlalu dekat dengan pemerintah "Negeri Beruang Merah".
"Amerika sudah kembali. Diplomasi sudah kembali," tegas Biden dalam pidato yang diutarakan di Kementerian Luar Negeri AS.
Presiden berusia 78 tahun itu mengatakan, dia mengangkat banyak isu saat menelepon Presiden Putin pada Januari lalu.
Di antaranya dugaan intervensi Moskwa di Pilpres AS 2016, kabar Rusia menawarkan uang hadiah ke Taliban untuk membunuh pasukan AS.
Hingga yang terbaru, upaya Kremlin membunuh figur oposisi Alexei Navalny menggunakan racun saraf Novichok.
"Saya menekankan ke Presiden bahwa dibanding pendahulu saya, masa AS tunduk pada agresivitas, serangan siber, dan upaya Rusia membunuh warganya sudah usai."
"Kami tidak segan untuk berhadapan dengan Rusia dan membela kepentingan vital kami," tutur presiden dari Partai Demokrat itu.
DilansirSky NewsKamis (4/2/2021), Biden juga mengutarakan sejumlah isu seperti menaikkan batas pengungsi yang diterima AS.
Dia mengumumkan bakal menaikkan ambang pengungsi yang ditangani ke 125.000 orang, setelah Donald Trump menguranginya hingga 15.000.
TerhadapChina, presiden ke-46 AS itu menyatakan bakal menantang upaya Beijing yang mengancam nilai demokrasi maupun kepentingan mereka.
Dia berujar, pemerintahannya bakal menghadapi "pelecehan ekonomi" yang dilakukan China, maupun tuduhan pelanggaran HAM dan pencurian hak cipta.
Meski begitu, Joe Biden menekankan dia siap bekerja sama dengan "Negeri Panda" jika menyangkut kepentingan mereka juga.
Dia juga tidak berniat mengurangi pasukan AS di Jerman sebanyak 9.500 personel, seperti yang direncanakan Donald Trump.
Pemerintahannya juga berniat memperbaiki hubungan dengan NATO, setelah pendahulunya kerap memanaskan hubungan aliansi tersebut.
(kompas.com)