Meski demikian sejumlah pihak yang ditemui Komnas HAM, seperti PT. Freeport Indonesia, Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, serta Badan Pertanahan Nasional tidak bisa menunjukkan dokumen tersebut.
"Kami ajukan pertanyaan kepada Freeport dan pemerintah atas hak ulayat karena seharusnya pengelolaan usaha melalui proses transaksi jual beli dengan masyarakat sebagai pemilik tanah," kata Pigai.
"Kalau pernah dilakukan transaksi, di mana dan berapa nilainya."
"Antara siapa dengan siapa dan mana akta notarisnya. Sebab wilayah Amungsa (tanah milik suka Amungme) itu bukan tanah tak bertuan tapi tanah hunian," ucapnya.
Pigai menjelaskan, tindakan perampasan sumber daya milik masyarakat adat bertentangan dengan ketentuan Pasal 18B ayat (1), pasal 28I ayat (3) UUD 1945 jo. Pasal 6 ayat (2) UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM dan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.
Selain itu perampasan tanah juga dinilai melanggar pasal 1 dan pasal 5 Deklarasi HAM PBB tentang Hak Penduduk Asli (Indigenous People).
Dari hasil penyelidikan, lanjut Pigai, Komnas HAM merekomendasikan PT Freeport Indonesia untuk menyelesaikan tuntutan ganti rugi tanah kepada suku Amungme sebagai bagian penghormatan hak ulayat masyarakat adat.