Find Us On Social Media :

Moncong Meriam dan Tank Sudah Diarahkan ke Istana oleh para Perwira, Tanpa Gentar Bung Karno Malah 'Sodorkan' Diri dan Akhiri Ancaman dengan Cara Tak Terduga

By Ade S, Selasa, 16 Februari 2021 | 13:03 WIB

Bung Karno diapit dua jenderal Angkatan Darat, AH Nasution (kiri) dan Soeharto. Ketiganya tertawa lebar saat bertemu di Istana Merdeka, Jakarta, tahun 1966.

Intisari-Online.com - Abdul Haris Nasution dan Presiden Soekarno pernah terlibat perselisihan hebat terkait dengan posisi ABRI dalam perpolitikan Indonesia.

Pada akhirnya, perselisihan tersebut sampai membuat AH Nasution sampai menggiring para perwira militer untuk berdemonstrasi.

Bahkan, AH Nasution juga membawa tank dan meriam yang dia arahkan tepat ke arah istana tempat Bung Karno berada.

Namun, sikap Bung Karno kala menghadapi situasi ini sungguh di luar dugaan, apalagi sampai membuat para demonstran luluh dalam sekejap.

Baca Juga: Lika-liku Kehidupan Bung Karno: Kecemburuan Siti Oetari, Kehadiran Inggit Garnasih, dan Perpisahan karena Perbedaan Garis Politik

Berikut ini kisahnya.

--

Bagi sebuah negara, militer tentu mempunyai fungsi sebagai garda terdepan dalam perlingungan terhadap kedaulatan.

Ketika negara mendapat ancaman dari negara lain, militer bertanggung jawab terhadap kedaulatan.

Baca Juga: Kegagalan Soekarno untuk Kabur Ketika Soeharto Berkuasa, Pengawal Sebut Penyebabnya 1 Hal hingga Pesan Bung Karno untuk Megawati

Saat Indonesia mulai berdaulat pada 17 Agustus 1945, bukan sebuah proses mudah untuk membentuk militernya sendiri.

Prosesi pembentukan Tentara Nasional Indonesia begitu panjang, melalui penggabungan beberapa gerakan, laskar, dan organisasi militer, baik buatan Belanda ataupun Jepang.

Tentunya tiap unsur itu mempunyai latar belakang dan pandangan yang berbeda-beda.

Pada 17 Oktober 1952 terdapat peristiwa di Indonesia yang terjadi akibat perbedaan pandangan di internal militer Indonesia.

Dilansir dari dokumentasi Harian Kompas, campur tangan politik memang menjadikan persepsi militer terpecah menjadi dua.

Ada yang menginginkan rasionalisasi tentara sesuai fungsi. Di sisi lain, ada juga yang menginginkan tentara tetap memainkan fungsi ganda, dalam hal ini berpolitik, karena mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).

Hal ini juga berdampak dengan munculnya tuntutan untuk membubarkan DPRS.

Baca Juga: Ada Ukiran Sirip Ikan Bersusun Tiga di Atap Cungkup Makam Bung Karno, Ternyata Ada Makna yang Mendalam Berikut Ini...

Militer berpolitik

Kondisi politik Indonesia pasca-pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949 memang belum sepenuhnya stabil. Kabinet yang dibentuk silih berganti karena munculnya berbagai konflik politik.

Kondisi ini diperparah adanya sejumlah pejabat yang melakukan korupsi dan tindakan yang merugikan negara.

Keadaan itu membuat rakyat merasa geram dan menginginkan percepatan pemilihan umum untuk mengganti anggota parlemen.

Ketika itu memang banyak dari anggota militer yang menjadi pimpinan politik. Selain dari ranah militer, mereka memainkan peran dalam perpolitikan daerah.

Hal inilah yang membuat petinggi TNI saat itu, Abdul Haris Nasution untuk bisa merasionalisasi tentara dan mengurangi jumlahnya.

Ketika masalah itu sedang terjadi, muncul keinginan dari Kepala Staf Angkatan Perang Mayor Jenderal TB Simatupang dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel AH Nasution untuk mengembalikan tentara sesuai fungsinya.

Kondisi itu mendapat respons tak baik dari pihak Kolonel Bambang Supeno. Dia tak sependapat dengan AH Nasution. Bambang Supeno bahkan menganggap kinerja AH Nasution tak baik.

Baca Juga: Bikin Bung Karno Nekat dan Abaikan Peringatan, Inilah Sosok Naoko Nemoto, Wanita Jepang yang Baru Saja Ditinggalkan Menantu

Akhirnya, Supeno mengirimkan surat ke parlemen karena merasa tak puas dengan kepemimpinan AH Nasution.

Internal militer pun terpecah dan membawa masalah ini ke parlemen. DPRS ikut andil dalam masalah itu. DPRS membuat beberapa mosi menyikapi masalah yang terjadi di internal TNI.

Kemunculan mosi ini yang menjadi sebuah persoalan karena dinilai terlalu intervensi terhadap masalah TNI. AH Nasution meluapkan ketidakpuasannya terhadap apa yang dilakukan parlemen.

Pada 17 Oktober 1952, para perwira militer bersama 30.000 demonstran melakukan unjuk rasa menuju Istana Merdeka.

Baca Juga: Kisah Saat Bung Karno Tertipu oleh Raja Idrus dan Ratu Markonah yang Ternyata Palsu, Padahal Sudah Diliput Media Massa Besar-besaran, Kok Bisa?

Tank, meriam, dan persenjataan artileri bahkan dihadapkan menuju ke Istana Merdeka.

Namun, ini bukan untuk melakukan perlawanan, tetapi mereka hanya meminta parlemen dibubarkan dan konflik dalam tubuh militer segera diakhiri.

Meski begitu, Soekarno menilai tindakan ini merupakan makar karena menggunakan peralatan militer. Akhirnya, Presiden menemui demonstran.

Menurut Soekarno, parlemen tak begitu saja bisa dibubarkan karena dirinya bukanlah diktator yang bebas melakukan apa saja. Presiden membutuhkan pertimbangan dari berbagai pihak menanggapi usulan itu.

Baca Juga: Akhir Pahit Sang Proklamator, Di Akhir Kepemimpinannya Pelayan Tak Sediakan Sarapan Untuknya, Hanya Meminta Nasi Kecap Saja Ditolak

Soekarno menegaskan akan menyelidiki lebih besar keinginan rakyat dan segera mempercepat pemilu. Demonstran sekejap luluh mendengar penyataan dari Soekarno dan segera membubarkan diri.

Setelah peristiwa itu, Soekarno menemui delegasi militer yang datang. Imbasnya, AH Nasution yang ketika itu menjadi KSAD akhirnya diganti.

Namun, setelah dipecat AH Nasution malah aktif menulis. Salah satu karya yang dihasilkan adalah Pokok-pokok Perang Gerilya.

Menurut Harian Kompas, ini merupakan buku teks tentang seluk beluk perang gerilya yang sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Bahkan buku itu menjadi bahan pelajaran di Akademi Militer West Point AS.

Perselisihan di kalangan militer, terutama TNI Angkatan Darat sendiri dianggap selesai setelah disepakatinya Piagam Keutuhan AD, sebagai hasil pertemuan di Yogyakarta pada 25 Februari 1955.

 

(Aswab Nanda Pratama)

Baca Juga: Ahli Waris Meminta Rp 4 Miliar, Setelah 7 Tahun Dibujuk AKhirnya Rumah Kelahiran Bung Karno Dibeli Pemkot Surabaya Senilai Rp 1,2 Miliar