Itulah sebabnya banyak berkembang pemikiran etnosentris terhadap komunitas yang berisi warga dengan kondisi fisik berbeda dan latar belakang berbeda dengan lainnya.
Sebagian besar kasus rasisme terhadap Komunitas Papua tidak secara sistematis dilaksanakan di bawah kebijakan negara atau undang-undang yang ada.
Namun hal itu menyebar secara sporadis dalam bentuk prasangka dan diskriminasi.
Kondisi sosial ini telah membentuk "atap kaca" yang mencegah warga asli Papua untuk berhasil di luar komunitasnya.
Contohnya adalah kasus di Yogyakarta, saat banyak murid Papua tidak mendapat akses akomodasi karena pemilik kos mendapat informasi berbagai stereotipe negatif mengenai komunitas masyarakat Papua.
Pada beberapa kasus, warga Papua juga menerima hinaan fisik dan verbal dari massa karena menyampaikan keluhan mereka kepada pemerintah Indonesia.
Rasisme juga sering ditemukan di media populer yang menggambarkan warga Papua sebagai primitif atau tidak berpendidikan.
Hal itu mendorong lebih banyak lagi stereotipe negatif yang dipercayai oleh beberapa warga Indonesia.