Penulis
Intisari-online.com -Filipina mencatat tingkat inflasi tertinggi pada Januari 2021 lalu, tertinggi sejak Februari 2019.
Mengutip media Filipina Sun Star, tingkat inflasi Filipina saat ini adalah 4.2%, yang lebih tinggi daripada pada Desember 2020 sebesar 3.55 dan 2.9% pada Januari 2020.
Inflasi inti, yang tidak melibatkan harga pangan dan energi, bernilai 3.4%, lebih tinggi daripada Desember 2020 sebesar 3.3% dan Januari 2020.
Otoritas Statistik Filipina mengatakan harga yang lebih tinggi untuk pangan dan minuman non-alkohol mendorong keseluruhan inflasi pada Januari.
Inflasi untuk komoditas ini meningkat sampai 6.2% pada Januari, dari sebelumnya 4.8% di Desember 2020.
Sementara itu dicatat juga pertumbuhan ekonomi turun ke level terendah sejak Perang Dunia II.
Ini artinya pendapatan lebih rendah untuk mayoritas masyarakat, jutaan warga Filipina terpaksa lakukan kerja paksa dan memasuki kemiskinan, kemudian bisnisnya banyak yang tutup.
Artinya saat inflasi meningkat, masyarakat sama sekali tidak memiliki daya beli.
Tercatat sekilo daging ayam bernilai P170 (170 Peso) atau sekitar Rp 50 Ribu.
Stagnasi dan inflasi yang bersamaan
Kondisi di Filipina terjadi ketika terjadi stagnasi ekonomi dan peningkatan inflasi.
Apa yang menyebabkan hal ini terjadi bersamaan, dan bagaimana langkah pemerintah membereskannya?
Inflasi yang tinggi rupanya sudah pernah terjadi di pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte, yaitu ketika di tahun 2018 memuncak mencapai 6.7%, Filipina menjadi negara dengan tingkat inflasi terburuk di ASEAN.
Banyak penyebab hal itu, utamanya adalah undang-undang Kereta tahun 2017 yang meningkatkan pajak produk minyak, ditambah dengan harga minyak dunia, mata uang yang melemah, dan harapan masyarakat mengenai inflasi.
Semua faktor ini berujung pada harga tinggi untuk produk pangan terutama beras, sayur dan daging.
Selanjutnya sejarah ini mengulang dirinya pada Januari 2021.
Sejarah mencatat inflasi terus-terusan disebabkan oleh harga pangan terutama daging dan sayuran.
Harga sayuran yang meroket disebabkan karena suplai yang rendah.
Tercatat suplai sayuran di Filipina tahun ini sebanyak 434.840 metrik ton atau akan ada 79 hari kekurangan sayuran.
Dari sini banyak penyebabnya seperti fasilitas pasca-panen yang buruk seperti penyimpanan yang kurang baik serta koordinasi buruk antara penanaman tanaman dan pemanenan.
Masalah ini pun bukan hal baru dalam pertanian Filipina.
Selanjutnya adalah perihal harga daging babi.
Perihal daging babi, masalah ini mengakar pada kegagalan pemerintah menahan pandemi lain: flu babi afrika (ASF) yang sampai ke Filipina pada akhir tahun 2019, kemungkinan berasal dari daging babi yang diselundupkan dari China.
ASF telah menyebar sejak itu di peternakan babi di seluruh Filipina, dan menyebabkan jumlah stok daging babi Filipina menurun 36%.
Baca Juga: 1.500 Ekor Babi Dimusnahkan di Korea Selatan, Demam Babi Afrika Bangkit Kembali?
Karena stok daging babi tidak tersedia, maka harganya meningkat dan menyebabkan harga daging lain yang digunakan untuk menggantikannya seperti daging ayam juga ikut meningkat.
Duterte lalu turun tangan dan memberlakukan batas atas 60 hari untuk harga daging babi dan ayam.
Namun para ekonom memperingatkan jika tidak adanya langkah yang efektif menahan flu babi maka batas atas harga tidak akan banyak membantu mengatasi kekurangan stok di pasar.
Bahkan kondisi bisa memburuk jika harga murah dibuat-buat menghalangi produsen untuk menjual daging.
Kini yang terjadi di Filipina adalah dampak ASF bertemu dengan dampak Covid-19, yang justru menyebabkan persediaan pangan menipis dan lonjakan harga akan selalu meroket.
Ditambah pula dengan pendapatan masyarakat yang menyusut terus menerus.
Harga komoditas utama yang meroket tidak bisa datang pada waktu lebih buruk lagi.
Ketika Anda kehilangan pekerjaan dan menderita kehilangan pendapatan, hal terakhir yang Anda inginkan adalah harga pangan yang meroket dan meruntuhkan daya beli Anda.
Dalam resesi pada umumnya, harga biasanya tidak naik terlalu tinggi.
Goncangan harga biasanya disebabkan permintaan rendah untuk barang dan jasa, tapi ketika harga meningkat karena suplai yang terbatas, yang terjadi justru jauh lebih buruk lagi.
Hal ini disebut stagflasi, yaitu stagnasi dan inflasi terjadi di saat yang sama.
Stagflasi Filipina terakhir terjadi pada resesi di tahun 1991, sebelumnya terjadi jauh lebih buruk dengan inflasi mencapai 50%.
Kondisi seperti ini hanya bisa dibenahi dengan memberikan subsidi uang langsung ke masyarakat.
Namun Filipina rupanya berpikiran lain, bahwa pemerintah Duterte sudah meninggalkan masa depan dari transfer tuna semacam itu dengan alasan perlunya kehati-hatian fiskal.
Duterte banyak dikritik atas penanganannya yang tidak memberikan bantuan sama sekali bagi rakyatnya.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini