Penulis
Intisari-Online.com -Penggulingan kekuasaan presiden atau pemerintah melalui demokrasi rakyat dikenal sebagai People Power, seperti apa sejarah terjadinya People Power di Filipina?
People Power sendiri pernah terjadi di Filipina, Jerman, Georgia, Cekoslovakia, dan beberapa negara Timur Tengah.
Pada tahun 1986, lebih dari satu juta orang Filipina turun ke jalan untuk menggulingkan rezim korup dan brutal, Presiden Ferdinand Marcos.
Kala itu, Ferdinan Marcos telah memerintah Filipina kurang lebih selama 20 tahun, yaitu sejak 1966.
Selama masa jabatan pertamanya, dia membuat kemajuan di bidang pertanian, industri, dan pendidikan.
Namun, kemudian pemerintahannya bermasalah, dengan Filipina mengalami krisis ekonomi dan politik.
Hal itu memicu gelombangdemonstrasi mahasiswa dangolongan oposisi.
Sementara dalam meghadapi kondisi tersebut Rezim Ferdinand Marcos kerap melakukantindakan represif.
Rakyat semakin marah ketika pada tahun 1983, terjadi pembunuhan terhadap Benigno Aquino Jr yang merupakan pemimpin golongan oposisi Filipina.
Akhirnya kemaran pun memuncak dengan adanya indikasi kecurangan pada Pemilu 1986.
Dalam Pemilu itu, Ferdinan Macros bertarung melawan jandaBenigno Aquino Jr, Corazon C. Aquino.
Ferdinand Marcos dianggap telah melakukan penghianatan terhadap demokrasi dan kemanusiaan di Filipina, hingga terjadilah demonstrasi damai besar-besaran untuk menggulingkan pemerintahannya.
Dalam buku Sejarah Asia Tenggara: Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer (2013) karya M.C Ricklefs dkk, berikut latar belakang gerakan People Power di Filipina:
Ferdinan Marcos Menuju Kursi Presiden
Ferdinan Macros adalah pengacara dan politisi Filipina yang lahir pada 11 September 1917, di Sarrat, Filipina.
Sebelum menjadi pemimpin Filipina, di masa muda, ia pernah diadili atas pembunuhan lawan politik ayah politisinya pada tahun 1933, dan dinyatakan bersalah pada 1939.
Namun, dia maju banding ke Mahkamah Agung Filipina dan memenangkan pembebasan setahun kemudian.
Selama Perang Dunia II, dia adalah seorang perwira angkatan bersenjata Filipina.
Mengutip Britannica, klaim Marcos sebagai pemimpin dalam gerakan perlawanan gerilya Filipina adalah faktor sentral dalam keberhasilan politiknya.
Meski arsip pemerintah AS mengungkapkan bahwa dia sebenarnya memainkan sedikit atau tidak sama sekali dalam kegiatan anti-Jepang selama 1942-1945.
Dari 1946 hingga 1947, Marcos adalah asisten teknis untuk Manuel Roxas, presiden pertama republik Filipina merdeka.
Kemudian dia menjadi anggota Dewan Perwakilan (1949–59) dan Senat (1959–65).
Tahun 1963 sampai 1965, ia menjabat sebagai presiden Senat. Dan pada tahun 1965 Marcos, yang merupakan anggota terkemuka Partai Liberal yang didirikan oleh Roxas.
Ia memutuskan hubungan dengan partai itu setelah gagal mendapatkan pencalonan partainya sebagai presiden.
Kemudian Macros mencalonkan diri sebagai calon presiden Partai Nasionalis melawan presiden Liberal, Diosdado Macapagal.
Marcos menang dan dilantik sebagai presiden pada 30 Desember 1965. Dan terpilih kembali pada 1969 untuk jabatan periode kedua.
Kronologi Penggulingan Rezim Ferdinand Macros
Pada 21 September 1972, Marcos memberlakukan darurat militer di Filipina.
Menganggap bahwa kekuatan komunis dan subversif telah memicu krisis, dia bertindak cepat. Politisi oposisi dipenjara, dan angkatan bersenjata menjadi bagian dari rezim.
Rezim Macros ditentang oleh para pemimpin politik, terutama Benigno Aquino, Jr. , yang dipenjara dan ditahan selama hampir delapan tahun.
Marcos juga dikritik oleh para pemimpin gereja dan lainnya.
Di bawah darurat militer, presiden mengambil alih kekuasaan luar biasa, termasuk kemampuan untuk menangguhkan surat perintah habeas corpus.
Pada Januari 1981, Marcos mengumumkan berakhirnya darurat militer, tetapi dia terus memerintah dengan cara otoriter di bawah berbagai format konstitusional.
Dia memenangkan pemilihan untuk jabatan presiden yang baru, denganmelawan oposisi pada bulan Juni 1981.
Pada tahun 1983 kesehatan Marcos mulai menurun, dan oposisi terhadap pemerintahannya semakin meningkat.
Benigno Aquino, Jr. kembali ke Manila pada 21 Agustus 1983, diharapkan untuk hadir sebagai alternatif Macros. Namun, ia justru hanya sampai di Manila untuk ditembak mati saat ia baru turun dari pesawat.
Pembunuhan itu dipandang sebagai pekerjaan pemerintah dan memicu protes antipemerintah besar-besaran.
Tahun-tahun terakhir Marcos berkuasa pun dirusak oleh korupsi pemerintah yang merajalela, stagnasi ekonomi, semakin melebarnya ketidaksetaraan ekonomi, dan berbagai masalah lain.
Untuk menegaskan kembali mandatnya, Marcos menyerukan pemilihan presiden diadakan pada tahun 1986.
Tetapi lawan politik yang tangguh segera muncul dalam diri janda Aquino, Corazon C. Aquino yang menjadi calon presiden dari pihak oposisi.
Secara luas ditegaskan bahwa Marcos berhasil mengalahkan Aquino dan mempertahankan kursi kepresidenan dalam pemilihan 7 Februari 1986.
Namun, diyakini kemenangannya diperoleh melalui kecurangan suara besar-besaran di pihak para pendukungnya.
Itu mengakibatkan kemarahan golongan oposisi dan rakyat Filipina.
Pada 22-25 Februari 1986, masyarakat Filipina melakukan aksi demonstrasi besar-besaran untuk menolak hasil pemilu.
Demonstran berkumpul di Epifanio de los Santos Avenue (EDSA) yang merupakan pusat politik di Filipina.
Demonstrasi tersebut berlangsung secara damai dan pada akhirnya mampu menggulingkan rezim Ferdinand Marcos.
Pada 25 Februari 1986, Cory Aquino dan para pendukungnya mengumumkan berakhirnya kediktatoran di Filipina dan gerakan People Power tanpa pertumpahan darah telah menang.
(*)