Penulis
Intisari-online.com -Myanmar sedang menghadapi krisis dalam negeri dengan terjadi kudeta militer untuk kesekian kalinya.
Namun krisis ini juga menjadi krisis besar bagi pemerintahan AS Joe Biden.
Dikutip dari Foreign Policy, banyak pengamat internasional terkejut saat militer Myanmar, Tatmadaw, mulai berikan sinyal kudeta minggu lalu.
Masih belum jelas apakah ada ketakutan jika pemilihan terakhir Myanmar telah memberikan kekuatan pro-demokrasi di negara itu sebuah pengaruh untuk mencoba melucuti beberapa penguasa, dari pembentukan militer yang masih mengakar.
Ada juga kemungkinan peristiwa baru-baru ini yang mendorong Jenderal Min Aung Hlaing untuk bertindak.
Dalih kudeta adalah dugaan kecurangan dalam pemilu November 2020 lalu, mirip dengan yang terjadi di AS yang sampai terjadi serangan ke Gedung Capitol.
Namun siapa sangka, pemain dan otak paling signifikan dalam kudeta militer ini adalah China sendiri.
Pertemuan bulan lalu antara Menteri Luar Negeri China Wang Yi, dengan Min Aung Hlaing mungkin menjadi titik penting dalam lahirnya kudeta militer ini.
Selanjutnya, bagaimana China dan AS menangani krisis ini akan menjadi titik penting dalam hubungan bilateral mereka.
Tatmadaw, militer Myanmar, telah menggugat kecurangan pemilu sejak November lalu, tapi para pemimpin ragu untuk laksanakan tindakan kecuali mereka memiliki kepercayaan bisa percaya pada Beijing untuk melindungi mereka.
Beijing diperlukan Myanmar untuk melindungi Myanmar dari konsekuensi tidak terhindarkan yang muncul dari PBB dan negara Barat.
Beijing juga diperlukan untuk mengimbangi sanksi masuk dengan kemudian memperluas hubungan ekonomi antara kedua negara bertetangga tersebut.
Kemudian, pada pertemuan Wang Yi dengan Min Aung Hlaing tampaknya pemimpin militer Myanmar itu yakin jika China memang akan membantu mereka.
Menariknya adalah Beijing sendiri telah tunjukkan ketertarikan kepada pemerintah sipil Aung San Suu Kyi daripada rezim militer Myanmar di masa lalu.
Hal itu mungkin disebabkan karena Tatmadaw itu sendiri.
Tatmadaw sudah sering memilih isolasi internasional daripada ketergantungan negara lain, bahkan kepad China yang seharusnya bisa diterima Tatmadaw sebagai dua pihak yang sama-sama berpandangan sosialis.
Tatmadaw takut bergantung pada China akan menyebabkan sebagian akomodasi demokrasi militer Myanmar ditangguhkan.
Dan juga, mereka takut jika ada proyek lain yang ditangguhkan China.
Rupanya, kebijakan pinjaman utang China juga melebar ke Myanmar, dan saat ini ada proyek pembangunan proyek besar China seperti Dam Myitsone senilai 3,6 miliar Dolar AS yang tidak ingin dilewatkan Myanmar.
Sejak kedua negara sepakat atas pinjaman itu, hubungan China dan Myanmar terus tumbuh.
Min Aung Hlaing telah berjanji melanjutkan dan memperdalam ikatan ekonomi antara dua negara, membuat China ragu untuk mempertegas dukungan untuk Aung San Suu Kyi.
Jika proyek dam dimulai kembali, entah apa cara yang dipakai untuk memindahkan para warga lokal, hal itu menjadi tanda jika Myanmar memang memilih China daripada AS.
Meski begitu, mungkin saja China tidak berikan persetujuan untuk jenderal agar bisa bertingkah sebagaimana yang ia mau, tapi pemimpin militer beranggapan mereka tetap bisa dibela China bagaimanapun keadaannya nanti.
Logikanya, China tidak akan melewatkan kesempatan membela Myanmar agar melebarkan pengaruhnya di Asia untuk mengalahkan AS, sehingga ketika Washington dan sekutunya menghukum Myanmar atas kudeta ini, pejabat China akan tetap bekerjasama dengan Myanmar dan para pejabatnya.
Hal ini menjadi ujian besar pertama untuk Presiden AS Joe Biden, dan harus dihadapi dengan memandang kedua belah pihak, baik Myanmar dan juga ambisi Beijing.
Beijing sendiri belum tunjukkan dukungan total untuk kudeta, dan memang tampaknya di publik Beijing lebih mendukung persatuan militer dengan Aung San Suu Kyi.
Jika benar demikian, maka Hlaing memang laksanakan kudeta atas inisiatifnya sendiri dan Beijing akan membantu Washington untuk mengatasi hal ini.
Namun jika kedua negara adidaya itu bersatu menyelesaikan kudeta, maka akan terjadi tawar menawar antara China dan AS.
AS akan akhirnya mengakui proyek Belt and Road Initiative China di Myanmar, sebagai biaya membayar dukungan China memaksa Myanmar menyelesaikan masalah Rohingya di perbatasan dan agar pelaksanaan demokrasi di Rohingya terlaksana.
Hal ini menjadi skenario paling optimistik, tapi AS juga harus tahu bagaimana posisi China dalam kudeta militer ini.
Pasalnya jika China malah sebenarnya mendukung kudeta tapi berpura-pura tidak mendukung kemudian bisa bekerjasama dengan AS, China unggul dengan mendapat pengakuan atas proyek Belt and Road Initiative mereka di Asia Tenggara terutama Myanmar.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini