Intisari-online.com -Program Belt and Road Initiative atau program 'jalur sutra baru' milik China sudah mulai menarik bagi banyak negara.
Salah satu negara yang sudah terlibat banyak adalah Paksitan.
Kedekatan Islamabad dengan Beijing untuk sektor pembangunan tidak dapat ditampik.
Meski begitu, baru-baru ini kedua negara ternyata nyatakan ketidaksetujuan.
Mengutip Nikkei Asia, China dan Pakistan sedang berada dalam ketidaksepakatan paling serius terkait Belt and Road Initiative.
Hal tersebut sampai buat pertemuan tahunan dua negara, China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) diundur.
Komite Kerjasama Gabungan (JCC) adalah badan pembuat keputusan di CPEC.
Menteri Pakistan mengepalai komite itu bersama dengan wakil kepala Komisi Reformasi dan Pengembangan Nasional China untuk perencanaan, pengembangan dan inisiatif istimewa.
Pertemuan JCC pertama adalah pada Agustus 2013 lalu dan terakhir pada November 2019.
Pertemuan JCC kesepuluh dijadwalkan pada awal 2020, tapi hal itu juga tetap ditunda sampai saat ini.
Awalnya pandemi Covid-19 menjadi alasan ditundanya pertemuan ini.
Namun kemudian ada alasan mengapa Pakistan dan China mulai bersitegang.
Rupanya latar belakangnya adalah proyek jalur kereta api Main Line 1 (ML-1) dan zona ekonomi istimewa.
Asad Umar, menteri Pakistan untuk perencanaan, pengembangan dan inisiatif spesial, mengatakan kepada media lokal November lalu jika JCC kesepuluh akan diadakan bulan ini.
Namun pejabat di Komisi Perencanaan Pakistan yang namanya tidak ingin disebut baru-baru ini mengatakan jika pertemuan itu tidak akan terlaksana dalam 3 bulan ke depan.
Jangka waktu itu merupakan jangka waktu terlama bagi pertemuan JCC.
ML-1 adalah proyek kerjasama dua negara paling besar senilai 6,8 miliar Dolar.
China diharapkan meminjamkan 6 miliar Dolar untuk ini, yang mana Pakistan ingin meminjam dengan bunga kurang dari 3%.
China tawarkan gabungan pinjaman berizin dan komersial untuk proyek ini.
Hal ini secara signifikan meningkatkan bunga pinjaman yang dihadapi Islamabad, menurut komisi perencanaan.
"China ragu meminjamkan uang untuk proyek ML-1 karena Pakistan telah mendapatkan keringanan utang untuk bisa mendapatkan kondisi pinjaman G-20 dan mereka sedang tidak dalam posisi untuk memberikan garansi kedaulatan," ujar Nasir Jamal, jurnalis senior di Lahore yang menulis untuk bisnis dan ekonomi.
Ia mengatakan selera Beijing untuk meminjamkan uang untuk proyek infrastruktur besar sudah hilang sekarang.
Hal ini karena proyek tersebut rentan mengganggu politik lokal sehingga keuntungannya tidak segera kembali ke China.
Hal tersebut tentunya menjadi kesepakatan tersembunyi dalam kerangka keuangan ML-1.
Andrew Small, rekan trans-Atlantik senior dengan program Asia di lembaga penelitian AS, German Marshall Fund, mengatakan China cenderung untuk mendasarkan keputusan-keputusannya mengenai bunga utang untuk Pakistan dari beberapa kriteria.
Pertama, apakah bunga rendah mendorong proyek yang tidak masuk akal secara finansial?
Kedua, apa preseden yang ditetapkan untuk negara lain yang mencari kesepakatan yang sama?
"China lebih nyaman mengalihkan pembayaran atau menyediakan pendanaan baru daripada menawarkan bunga hasil kesepakatan bersama," ujar Small.
Ia mengatakan pendekatan ini memberikan Beijing pengaruh lebih besar meskipun mereka sudah sepakat untuk fleksibel di balik layar.
Dengan negara peminjam mendapat tekanan membayar dengan bunga lebih tinggi, pembayaran perdagangan China mengatur agar China bisa mendapatkan pengaruh lebih besar di negara lain dengan keuntungan finansial juga didapat mereka.
Padahal saat ini, Pakistan sudah kesulitan untuk terus laksanakan pembangunannya.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini