Hal ini terlihat dari kejadian kudeta militer Senin lalu, menyebabkan militer kembali lagi menguasai Myanmar setelah sebelumnya sudah menguasai negara itu selama hampir 50 tahun.
Militer menghentikan berkuasanya partai Suu Kyi, National League for Democracy atau Liga Demokrasi Nasional, yang hanya memegang kekuasaan selama 5 tahun.
Suu Kyi ditahan bersama para jajaran menteri dan sosok pro-demokrasi lainnya.
Di seluruh negara, papan iklan pemerintah masih menunjukkan foto-foto dan logo partainya, burung merak.
Namun faktanya kekuasaan sudah dipegang oleh Jenderal Min Aung Hlaing.
Hilangnya Suu Kyi, yang mewakili dua arketipe untuk dua publik yang berbeda; lokal dan mancanegara, membuktikan ketidakmampuannya untuk laksanakan apa yang sudah diharapkan banyak orang: membentuk kesetaraan politik dengan militer yang akan berbagi kekuasaan dengannya.
Dengan membiarkan negosiasi dengan Min Aung Hlaing melemah, Suu Kyi telah kehilangan telinga militer, dan dengan membela para jenderal yang membunuh para Muslim Rohingya, ia telah kehilangan kepercayaan komunitas internasional yang sebelumnya mendukungnya untuk menang selama berpuluh-puluh tahun lamanya.
"Aung San Suu Kyi mendapat kritik internasional dengan mengklaim dia bukan aktivis HAM tapi politisi. Namun bagian menyedihkannya adalah ia juga tidak bagus-bagus amat menjadi politisi," ujar Phil Robertson, deputi direktur Asia untuk Human Rights Watch.