"Orang-orang bersemangat untuk memilih, karena mereka ingin keluar dari tekanan politik," ujar petugas pemilu saat itu.
"Mereka inginkan demokrasi yang nyata."
Namun masalah besar menghadapi negara yang dulunya bernama Burma itu.
Hanya beberapa hari sebelum pemilu, kepala militer Myanmar Min Aung Hlaing telah menyatakan kemungkinan militer tidak akan menerima hasil pemilu.
Ia menuduh pemerintah pemenang Nobel Aung San Suu Kyi sebagai sebuah kesalahan yang "tidak dapat kami terima".
Ia juga mengatakan kepada outlet berita lokal jika "kami berada dalam situasi di mana kami perlu berhati-hati" mengenai hasil pemilu.
Padahal kenyataannya, partai politik Aung San Suu Kyi, National League for Democracy (NLD) telah mengamankan kemenangan mereka, mendapat lebih dari 80% suara dan meningkatkan dukungan dari pemilu 2015 sebelumnya.
Namun hasil itu segera dianggap hasil yang curang dan kemudian menyebabkan militer mengambil alih pemerintahan.