Kisah Mayor Digby Tatham-Warter Pahlawan Perang Dunia II, Komandan Pasukan Eksentrik yang Selalu Bawa Payung Saat Perang

K. Tatik Wardayati

Penulis

Mayor Digby Tatham-Warter , selalu bawa payung saat perang.

Intisari-Online.com – Luar biasa, sepanjang sejarah, Inggris banyak menghasilkan karakter eksentrik.

Seperti, memilih untuk menyerang melawan divisi Panzer Jerman sambil memegangi payung dan mengenakan topi bowler.

Nah, itu yang dimaksud adalah Mayor Digby Tatham-Warter!

Jika sebuah biografi akan ditulis tentang Major Digby, itu pasti akan diberi judul, 'You Can't Make This Stuff Up,' karena hidupnya penuh dengan momen absurditas dan kepahlawanan yang mencengangkan, seringkali dalam kapasitas yang sama.

Baca Juga: ‘Tontonan Mengerikan, Namun Lebih Megah’, Ketika Pasukan Inggris Menginvasi Washington, Dua Gedung Penting di Amerika Ini Jadi Sasarannya

Digby lahir pada tahun 1917 selama Perang Besar.

Ayahnya bertempur di parit dan selamat dari konflik, meskipun dia terkena gas parah saat bertugas dengan Artists Rifles.

Pembunuhan dengan gas akan menyebabkan kematian dini, saat itu Digby baru berusia 11 tahun.

Mengikuti jejak militer ayahnya, Digby lulus dari Royal Military College di Sandhurst sebagai perwira pada tahun 1937.

Baca Juga: Terkena Tembakan hingga Salah Satu Kakinya Diamputasi, Anjing Militer yang Selamatkan Pasukan Inggris dari Al Qaeda Terima Penghargaan Tertinggi

Dia dikirim ke Indina, sebuah pos yang cocok karena hubungan keluarganya dan kecintaannya pada berburu harimau dan memelihara babi.

Tidak lama kemudian Digby melihat beberapa aksi nyata dan dia meminta dipindahkan ke angkatan udara yang bertempur di Eropa selama Perang Dunia II.

Dia lalu memimpin Kompi dari Batalyon ke-2 Resimen Parasut yang baru dibentuk.

Kompi ini terlibat dalam Operasi Market Garden yang naas, operasi udara terbesar dalam sejarah.

Tujuan misi adalah merebut banyak jembatan yang secara strategis penting di Belanda, yang memungkinkan Sekutu berpijak di atas Sungai Rhine dan melewati garis pertahanan Jerman yang dikenal sebagai Garis Siegfried.

Jika berhasil, harapannya adalah operasi tersebut dapat mengakhiri perang pada Natal 1944.

Selama pelatihan untuk operasi tersebut, Digby yang berusia 27 tahun mendapatkan reputasi sebagai komandan yang inovatif dan agresif, dengan kepala yang dingin dan selera humor yang masam.

Reputasinya semakin meningkat setelah dia berhasil mendapatkan pesawat Dakota Amerika dan menerbangkan semua pasukannya dari pangkalan mereka di Lincolnshire ke Ritz di London.

Tidak takut dengan hal yang tidak lazim, Digby melatih anak buahnya menggunakan terompet, instrumen yang biasa digunakan Inggris selama Perang Napoleon di abad sebelumnya.

Baca Juga: Operasi Bertram: ketika Pasukan Inggris Melakukan Tipuan Perang untuk Mengecoh Nazi Jerman di Front Afrika

Dia percaya bahwa terompet bisa menjadi metode komunitasi utama pasukan dibandingkan dengan perangkat radio.

Dia juga memilih untuk pergi perang dengan membawa payung, alat identifikasi yang berguna, karena dia sering lupa kata sandi militer.

Dia kemudian mengakui ketika orang lain menyebut ‘bahwa orang bodoh yang membawa payung itu hanya orang Inggris’.

Karena kemampuan memimpinnya, pasukan Digby pun diberi peran penting selama operasi, terjun payung, dengan memimpin Batalyon ke-2 menuju jembatan Arnhem (jembatan terjauh di Belanda), menangkapnya dan menahannya sampai bantuan tiba, di suatu tempat hingga 48 jam kemudian.

Pada tanggal 17 September 1944, sebelum jam 3 sore, Digby dan anak buahnya terjun payung ke Belanda, mendarat di zona yang telah ditentukan, sekitar 7 mil sebelah barat Arnhem.

Bagian pertama dari misi mereka berjalan sesuai rencana. Menempel ke taman perumahan dan bukan di jalan utama, Kompi A menyelinap melewati sebagian besar oposisi tanpa cedera.

Pada saat mereka berhasil merebut ujung utara jembatan Arnhem pada pukul 8 malam, hanya sedikit korban jiwa dari pihaknya, tetapi berhasil menangkap atau membunuh lusinan tentara Jerman, termasuk anggota SS.

Tembakan mortir berbarengan dengan truk yang terbakar membuat jembatan itu tidak dapat dilewati, maka Batalyon ke-2 berjongkok dan menunggu cadangan sebelum mencoba menangkap semuanya.

Seperti yang diprediksi Digby, perangkat radio melakukan kesalahan dalam menyampaikan pesan, sehingga terompet yang dibunyikan sukses menginformasikan posisi masing-masing peleton.

Baca Juga: Battle of Somme, Perang Mengerikan Bagi Inggris, Hanya Dalam Satu Hari 30.000 Tentara Tewas Sia-sia

Padahal hilangnya komunikasi radio membuat bantuan tidak akan datang dalam waktu dekat, Batalyon ke-2 tidak menyadari ini.

Meskipun Jerman pada awalnya terkejut, tidak butuh waktu lama untuk melawannya.

Segera divisi Panzer datang menuruni jembatan menuju Digby dan anak buahnya.

Tidak terpengaruh, Digby menginspirasi orang-orang di sekitarnya dengan memimpin serangan bayonet ke infanteri musuh yang mendekat, pistol di satu tangan dan payung di tangan lainnya dengan topi bowler untuk melengkapi tampilan. Inggris berhasil menghalau serangan Jerman.

Legenda juga menyebutkan bahwa Digby memegang payungnya dengan kekuatan yang menghancurkan.

Pada suatu kesempatan menusukkan payung melalui celah dari sebuah mobil lapis baja Jerman dan melumpuhkan pengemudinya.

Tidak banyak orang dalam sejarah militer yang melakukan seperti Digby.

Masih dengan payungnya, ketika melihat Pastor Egan dari batalion tertembak oleh musuh, Digby berlari untuk membantunya dan melindunginya di bawah payung.

Sambil membimbing Pastor itu ke tempat aman, dia mengatakan, “Jangan khawatir, saya punya payung.”

Baca Juga: Bernard Law Montgomery, Penyelamat Pasukan Inggris di Dunkrik Sekaligus Mesin Penggulung Pasukan Nazi

Letnan Pat Barnett pernah mempertanyakan kegunaan payung dalam situasi tertentu, yang dijawab Digby, 'Ya ampun Pat, bagaimana jika hujan?'

Sikap dingin Digby yang tak tergoyahkan dikombinasikan dengan selera humornya menyemangati orang-orang di sekitarnya selama beberapa hari ke depan.

Dia dengan tenang berjalan-jalan, dengan acuh tak acuh mengarahkan orang ke kiri dan ke kanan saat tembakan sniper melewati telinganya.

“Setiap batalion membutuhkan Digby,” Gerald Lathbury, komandan brigade Digby pernah mengatakan demikian.

Digby membantu menjaga semangat pasukannya cukup tinggi sehingga pagar betis orang Inggris dapat gigih bertahan pada posisi mereka selama empat hari sampai akhirnya kehabisan peluru.

Ketika perangkat radio mulai berfungsi, orang-orang itu baru mengetahui bahwa rupanya mereka benar-benar berperang sendiri, tanpa ada bantuan dari luar.

Entah itu payung, suara terompet, atau kemampuannya mengendarai sepeda melewati pasukan Jerman, rasanya tak perlu dijelaskan.

Coba saja tanyakan pada awak tank Jerman yang ditusuk kepalanya oleh orang ‘gila’ Inggris yang memegang payung ini.

Baca Juga: Operasi Jubille: Arena Banjir Darah Pasukan Inggris saat Ingin Balaskan Dendam Kekalahan di Dunkirk

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait