Penulis
Intisari-online.com -Berbulan-bulan lamanya administrasi Trump telah peringatkan bahayanya politik AS yang terganggu oleh China dalam pemilu AS mendatang.
April lalu Trump mengatakan Beijing ingin ia pergi dari Gedung Putih.
Pengacara Umum William Barr dan Direktur Intelijen Nasional John Ratcliffe mengatakan Beijing merupakan ancaman lebih besar daripada Moskow.
Hal yang sama disuarakan oleh Direktur United States National Counterintelligence and Security Center, yang mengatakan China telah "memperluas upaya pengaruhnya."
Namun minggu ini, China bahkan tidak peduli dalam peringatan terkait campur tangan di pemilu AS.
Sedangkan Kamis lalu, pejabat keamanan nasional AS menuduh pembajak disponsori negara dari Rusia menarget pemerintah pusat dan lokal dan secara sukses mencuri data di dua instansi.
Tuduhan datang segera setelah pejabat tinggi AS menuduh Rusia dan Iran menggunakan informasi pemilih AS untuk gulingkan kampanye Trump.
Secara kontras, bukti bahwa China terlibat dalam mengganggu pemilu AS hanya ada sangat sedikit, berminggu-minggu jauhnya sebelum voting dilaksanakan.
Upaya misinformasi asing yang didukung China yang telah dipublikasikan memiliki jangkauan yang sangat kecil dibandingkan upaya Rusia sebelum pemilihan presiden AS 2016 lalu.
"China mempelajari apa yang Rusia lakukan di tahun 2016 dengan sangat cermat," ujar ahli keamanan siber James Lewsi mantan pejabat luar negeri di Departemen Keuangan dan Ekonomi.
"Mereka ingin bisa lakukan yang dilakukan Rusia, tapi mereka tidak bagus dalam melakukannya."
Meski begitu, pakar memprediksi operasi yang dipengaruhi China akan lebih kuat dalam dekade mendatang.
Mereka peringatkan China akan memiliki lebih banyak jaringan telekomunikasi global dan mengekspor sistem sensor dan propaganda mereka ke pemerintah lain.
Menurut Clint Watts, mantan agen khusus FBI dan ahli informasi perang yang bersaksi di hadapan Kongres mengenai campur tangan Rusia di pemilu AS 2016, operasi pengaruh China "akan lebih mulus dan lebih sukses seiring berjalannya waktu karena mereka bisa mengontrol seluruh lingkungan informasi, berbeda dengan Rusia."
Sementara itu China menampik tuduhan tersebut.
Juru bicara kementerian luar negeri China Agustus lalu mengatakan China tidak pernah mencampuri pemilu AS dan "tidak berniat melakukannya di masa depan."
Aturan main Rusia
Sedangkan untuk Rusia, Rusia telah mahir menggunakan informasi palsu jauh sebelum pemilihan presiden AS terakhir kali.
Uni Soviet menggunakan kemampuan khusus bernama 'dezinformatsiya' untuk memalsukan dokumen, membuat cerita palsu di media yang menguntungkan Rusia, dan mencampuri kelompok aktivis saat Perang Dingin.
Strategi-strategi ini datang dari era Tsar, yaitu ketika ada polisi rahasia yang memalsukan bahan-bahan yang merugikan musuh mereka.
Perbedaannya sekarang hanyalah taktik ini berpindah menjadi online.
2014, Agensi Riset Internet (IRA) yang punya ikatan erat dengan Kremlin mulai gunakan akun media sosial palsu dan laman grup untuk menarget pengguna dari AS mengenai isu yang memuncak di pemilu AS 2016.
IRA membawa iklan di Facebook dan banjiri Twitter dengan unggahan yang membuat Trump unggul dan menurunkan reputasi kandidat Demokrat, Hillary Clinton.
Bahkan di pertengahan 2014, pegawai IRA pergi ke AS untuk mendapatkan informasi dan sejumlah foto yang diperlukan untuk digunakan dalam unggahan media sosial mereka.
Beberapa pegawai IRA berpura-pura sebagai warga AS dan berkomunikasi dengan tim kampanye Trump untuk mencoba mengkoordinasi aktivitas politik, termasuk kampanye politik mereka.
Lebih dari 1000 pegawai dilaporkan bekerja dari St. Petersburg untuk jalankan pengaruh mereka di kampanye Trump, tujuannya agar Trump terpilih dan memberikan keuntungan bagi Rusia.
Taktik tersebut digunakan, tapi dengan cara yang lebih tersamarkan karena sekarang buku panduan Rusia telah bocor ke negara lain.
Mengutip dari CNN, investigasi awal tahun ini menemukan jaringan akun media sosial yang menarget AS dari warga di Ghana dan Nigeria, bekerja membantu Ruisa.
Sedangkan September kemarin, Facebook dan Twitter umumkan IRA menciptakan situs progresif palsu bernama Peace Data yang berhubungan dengan warga AS asli dan mempekerjakan warga AS untuk menulis artikel, kemudian dibagikan di berbagai platform media sosial.
Taktik domestik digunakan di luar negeri
Dalam waktu yang lama, operasi pengaruh China dilakukan secara online, menggunakan sensor dan propaganda untuk mengatur apa informasi yang bisa dilihat warga mereka.
Studi Harvard tahun 2017 mengestimasi bahwa pemerintah China memproduksi 488 juta unggahan media sosial palsu per tahun untuk menjadi buzzer dan pengalihan isu.
Studi tersebut menyimpulkan bahwa pemerintah China menggunakan buruh yang banyak, sebagian besar pegawai pemerintah bekerja secara paruh waktu.
Namun karena ambisi politik dan ekonomi China telah tumbuh, negara itu telah tingkatkan taktik propaganda domestik untuk menarget sasaran yang lebih global, secara ironis menggunakan platform yang diblok di negara mereka seperti Facebook, Google, YouTube dan Twitter.
Sejauh ini, kesuksesan China terbilang terbatas. Upaya disinformasi China terbilang berantakan dan dapat ditangkap dengan mudah.
Namun China dengan cepat belajar, dengan salah satunya mengatur propaganda dalam protestan Hong Kong, berlanjut dengan berita-berita palsu mengenai Laut China Selatan dan sekarang pemilu AS 2020.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini