Penulis
Intisari-Online.com - Hubungan AS-China berada pada kondisi terburuk dalam beberapa dekade terakhir.
Pemerintahan Presiden Donald Trump terus-menerus menerapkan gerakan baru dan kuat yang ditujukan ke Beijing.
Diantaranya, pengamat dan media internasional memberikan perhatian khusus pada tiga perang besar yang sedang berada dalam periode menegangkan.
1. Perang teknologi
Pada 21 September (waktu AS), Presiden Donald Trump mengumumkan dia tidak akan menerima konglomerat teknologi China ByteDance untuk terus memiliki dan mengoperasikan TikTok di AS.
Pernyataan tersebut dibuat dalam konteks ByteDance dan bisnis AS, termasuk perusahaan teknologi Oracle dan rantai supermarket ritel Walmart, belum mencapai kesepakatan tentang pembagian saham, kontrol data, dan algoritme jaringan sosial.
Dua raksasa teknologi AS Apple dan Google untuk sementara waktu menghapus TikTok dari App Store dan Play Store versi AS sementara kesepakatan diselesaikan.
Tidak hanya TikTok, China juga mengalami kesulitan di hadapan AS ketika jejaring sosial WeChat-nya juga berisiko diblokir oleh administrasi Trump karena alasan keamanan nasional.
Pemerintahan Trump telah mengeluarkan larangan WeChat sejak 20 September, tetapi hakim Laurel Beeler di San Francisco menghentikannya hanya beberapa jam sebelum diberlakukan.
Perusahaan teknologi Huawei China juga menghadapi banyak kesulitan karena AS mengambil banyak tindakan untuk merusak raksasa itu, meskipun Washington sendiri yang terluka.
Meski para pengamat yakin bahwa dalam jangka panjang, AS tidak akan mampu mempertahankan kampanye untuk menyerang Huawei dengan gaya "kedua belah pihak rusak", namun hingga saat ini, pemerintahan Trump belum menunjukkan tanda-tanda mereda.
2. Perang diplomatik
Dalam diplomasi, Washington mengobarkan perang besar melawan Beijing.
Awal bulan lalu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengumumkan bahwa diplomat senior China perlu mendapatkan izin sebelumnya jika mereka ingin mengunjungi universitas, bertemu dengan pejabat lokal, atau mengadakan acara dengan 50 orang berada di luar kedutaan besar China di AS.
Ini dianggap sebagai peristiwa terbaru dalam perang diplomatik yang tetap membosankan selama berbulan-bulan antara dua kekuatan terkemuka di dunia.
Menurut pengamat, langkah AS yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa Washington telah kehilangan banyak kepercayaan pada organisasi China untuk mempromosikan kekuatan lunak Beijing, termasuk institusi Konfusius yang disponsori China di Universitas.
Panah AS yang ditujukan ke China ini telah memperburuk hubungan sejak Amerika Serikat secara tak terduga menutup konsulat China di Houston pada Juli 2020 atas tuduhan spionase.
Menteri Luar Negeri AS menegaskan bahwa perintah pembatasan visa bagi diplomat China "adil", karena sebelumnya para diplomat AS di China juga menemui banyak kendala dari Beijing saat menjalankan tugas normal mereka.
Juga pada bulan September, AS mencabut visa sekitar 1.000 pelajar internasional China di AS, yang disebut Washington sebagai "subjek dibatasi oleh arahan presiden", menurut kantor berita Reuters.
3. Perang Laut Cina Selatan
Laut China Selatan adalah hot spot ketiga dalam beberapa hari terakhir dalam hubungan AS-China.
Juli lalu menyaksikan peristiwa penting:
Pertama, AS mengirimkan surat kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyangkal klaim China, dan pada saat yang sama meminta Beijing untuk meninggalkan kebijakan intimidasi tetangga dan harus mematuhi keputusan Pengadilan Arbitrase 2016 di Den Haag (Belanda).
Kedua, AS mengeluarkan pernyataan yang secara resmi menolak klaim ilegal China di Laut China Selatan, menuntut Beijing untuk mematuhi ketentuan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982.
Di lapangan, AS juga melakukan latihan dan patroli kebebasan navigasi yang menantang klaim ilegal China.
Dapat dikatakan bahwa tidak pernah dalam beberapa dekade terakhir, AS memiliki sikap yang begitu keras dan teguh terhadap China tentang Laut China Selatan saat ini.
Faktanya, pernyataan AS baru-baru ini tidak mengubah kenetralan Washington di Laut Cina Selatan.
AS tetap keluar dari pertanyaan: Siapa yang memiliki kedaulatan atas pulau Spratly dan Paracel atau perairan yang disengketakan China dengan negara lain.
Namun, perlu ditekankan bahwa sikap AS saat ini menjadi sangat jelas dalam hal interpretasi hukum internasional dan mekanisme penyelesaian sengketa.
Landasan yang telah disepakati Amerika Serikat adalah UNCLOS dan keputusan Arbitral Tribunal pada tahun 2016.
Dengan demikian, melalui deklarasi tersebut, AS telah mengakui bahwa sebagian besar Laut China Selatan tidak berada dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen dari Cina.
Sementara itu, sumber daya di sini terutama berada di ZEE dan landas kontinen negara pantai lainnya seperti Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam.
Selain itu, Amerika Serikat menganggap pangkalan militer China, misalnya di Vanh Vai dan aktivitas penangkapan ikannya di ZEE negara lain, adalah ilegal.
Lebih penting lagi, langkah Beijing untuk mengintimidasi dan mengganggu eksploitasi sumber daya alam yang sah di negara lain juga telah dikecam oleh AS.
Dibandingkan dengan para pendahulunya, pemerintahan Trump telah lebih jelas membentuk sikap AS di Laut China Selatan dan terus terang menyebut klaim China ilegal, tidak dapat dihindari.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari