Penulis
Intisari-Online.com - Setelah beratus-ratus tahun dijajah Portugis, di masa lalu Timor Leste hanya memiliki sedikit waktu untuk bernapas lega.
Deklarasi Timor Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste yang dideklarasikan Fretlin hanya bertahan sementara.
Pasalnya, tak lama setelah deklarasi kemerdakaan itu, giliran Indonesia datang menginvansi Bumi Lorosae.
Invansi Indonesia ke Timor Leste itu dikenal sebagai operasi Seroja, dimulai tanggal 7 Desember 1975.
Operasi seroja ini terjadi di era pemerintahan Presiden Soeharto.
Dalam peristiwa itu, sekitar 100.000–180.000 tentara dan warga sipil diperkirakan telah terbunuh atau mati kelaparan.
Berbulan-bulan militer Indonesia menghadapi perlawanan dari Timor Leste yang saat itu dipimpin Fretlin, sebelum akhirnya wilayah ini menjadi bagian dari negara Indonesia sebagai provinsi Timor Timur.
Lalu, apa alasan Presiden Soeharto sehingga mati-matian melancarkan invansi yang memakan ratusan ribu nyawa tersebut?
Melansir BBC (7/12/2001),dijelaskan bahwa hal itu bersumber dari kekhawatiran Soeharto bahwa gerakan komunis akan merembes ke Indonesia melalui Timor.
Dokumen yang mengungkapkan tentang pembicaraan di Jakarta antara Presiden AS Gerald Ford, Menteri Luar Negeri Henry Kissinger, dan mantan Presiden Indonesia Suharto, sehari sebelum invasi ke Timor Timur ini dirilis beberapa jam sebelum peringatan hari invansi Indonesia.
Kissinger telah menegaskan selama bertahun-tahun bahwa masalah Timor tidak pernah muncul selama pembicaraan dengan Suharto.
Tetapi detail baru dari percakapan tersebut, yang disediakan oleh Arsip Keamanan Nasional, mengungkapkan sebaliknya.
Soeharto memberi pengarahan kepada Ford dan Kissinger tentang rencananya untuk bekas jajahan Portugis, dan mereka menyatakan pemahaman atas proposal tersebut.
Sebelumnya, pada tahun 1975, Vietnam, Laos, dan Kamboja telah menjadi komunis.
Bukan hanya menjadi kekhawatiran Presiden Soeharto, AS juga sama- sama khawatir akan hal itu, di mana kekosongan kekuasaan politik telah terjadi di Timor Leste.
Yaitu dengan penarikan Portugal yang tergesa-gesa setelah 400 tahun pemerintahan kolonial.
Partai-partai di Jakarta saat itu sedang membahas kekhawatiran kedua belah pihak tentang pemberontakan komunis di Malaysia dan Thailand, ketika Suharto menyinggung masalah Timor.
Peringatan bahwa kelompok sayap kiri yang kuat di Timor, Fretelin, 'terinfeksi komunisme'.
"Kami ingin Anda mengerti jika kami mengambil tindakan cepat atau drastis," kata Soeharto.
Presiden Ford pun berkata bahwa dia mengerti.
Baca Juga: Permusuhan Makin Meluas, Amerika Serikat Ancam Blokir Pembuat Chipset SMIC Asal China
"Kami tidak akan menekan Anda tentang masalah ini. Kami memahami masalah yang Anda miliki dan niat yang Anda miliki," katanya.
Kissinger juga menyetujui keputusan itu, tetapi dia mengatakan dia lebih suka Soeharto menunda sampai presiden kembali ke Amerika.
"Kami memahami masalah Anda dan kebutuhan untuk bergerak cepat, tetapi saya hanya mengatakan akan lebih baik jika itu dilakukan setelah kami kembali," katanya.
Katanya, dengan begitu mereka dapat mempengaruhi reaksi di Amerika.
Setelah perundingan itulah, bagian Timor Leste diserang oleh tentara Indonesia pada 7 Desember 1975, kemudian dianeksasi pada tahun berikutnya.
Pada 1976, Indonesia menyatakan jika Timor Leste menjadi bagian negara Indonesia sebagai Provinsi Timor Timur.
Selama 24 tahun, pemerintahan Soeharto terus berupaya untuk melakukan pembangunan di Timur Leste.
Namun, tetap ada golongan yang tidak puas dan melakukan tindakan separatis.
Selanjutnya pada tahun 1999, akhirnya terjadi referendum Timor Timur.
Melalui referendum tersebut, Timor Leste memilih untuk merdeka, setelah 24 tahun menjadi bagian Indonesia dengan diwarnai perang gerilya.
Pada saat itu pemilih yang berpartisipasi mencapai 90 persen, sehingga penentuan pendapat tidak perlu diperpanjang.
Mengutip Kompas.com, akhirnya pada Sabtu (4/9/1999), PBB mengumumkan hasil penentuan pendapat (jajak pendapat).
Sekjen PBB Kofi Annan di New York mengumumkannya pada pukul 08.00 WIB.
Hasilnya dari sekitar 450.000 pemilih, 78,5 persen (344.580) warga Timor Timur memilih untuk menolak otonomi, dan sekitar 21 persen (94.388) memilih otonomi, sedangkan 7.985 suara (1,8 persen) dinyatakan tidak sah.
Menurut Kofi Annan, hasil itu menunjukkan bahwa penduduk Timtim menginginkan kemerdekaan.
Pada saat bersamaan, pengumuman itu juga dibacakan Ketua Unamet Ian Martin, di Dili, yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, Portugal, dan Tetum.
Dalam pidatonya Annan meminta semua pihak menghentikan segala tindakan kekerasan yang selama 24 tahun mengakibatkan penderitaan di Timtim.
Baca Juga: Salah Satunya Hanya dengan Campuran Air Hangat, Ini 11 Obat Tradisional untuk Biduran Kronis
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini