Penulis
Intisari-online.com -Pulau Natuna Besar kini mencuri perhatian dunia meskipun terpencil dan belum maju layaknya Jakarta.
Namun, pulau ini memegang posisi penting bagi kedaulatan bangsa Indonesia.
Bahkan, pulau ini juga merupakan garis terdepan kontes pengaruh dan kontrol strategi penting perairan internasional.
Ya, Pulau Natuna menjadi garis terdepan Indonesia mempertahankan kedaulatan dalam bentrokan Laut China Selatan.
Mengutip The Sydney Morning Herald, Indonesia, Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina semua memiliki hak atas Laut China Selatan berdasarkan konvensi PBB tentang Hukum Laut.
Taiwan juga mengklaim wilayah ini.
Sementara China, berpegang di bawah kebijakan "sembilan garis putus-putus" (nine dash line), menganggap lebih dari 80% perairan ini adalah milik mereka.
Menurut prediksi yang dirilis 2015 lalu, wilayah ini menyumbang 12% dari tangkapan ikan global.
Baca Juga: Manfaat Daun Salam untuk Asam Urat dan Turunkan Kolesterol, Mau Coba?
Akan tetapi, masalahnya bukan hanya ikan saja.
Ini juga menyangkut soal tentang pulau-pulau kecil yang termiliterisasi dan kebebasan navigasi di perairan yang dilalui sepertiga pengiriman global setiap tahun.
Data yang dihimpun The Sydney Morning Herald menunjukkan, Departemen Luar Negeri AS memperkirakan pada 2019 terdapat cadangan minyak dan gas yang belum dimanfaatkan di Laut China Selatan senilai US$ 2,5 triliun.
Perkiraan lain dari Badan Informasi Energi AS, ada kemungkinan 11 miliar barel cadangan minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam.
Klaim Tiongkok atas laut dan programnya membangun terumbu karang menjadi pulau buatan sejak 2014 menjadi perhatian terbesar dunia saat ini.
Tempat-tempat yang dulu hanya ditandai oleh gubuk-gubuk nelayan sekarang dapat menampung pesawat-pesawat militer, rudal, dan stasiun pengisian bahan bakar untuk Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLA-N).
Dapat dikatakan, Beijing menciptakan fakta di atas air dan mengubah medan yang menjadi sengketa.
Bagaimana situasi konflik Indonesia dengan China di wilayah ini?
Melansir Kompas.com, banyak faktor yang melatarbelakangi konflik tersebut.
Pada Maret 2016, konflik antara pemerintah Indonesia dengan China terjadi lantaran ada kapal ikan ilegal asal China yang masuk ke Perairan Natuna.
Pemerintah Indonesia berencana untuk menangkap kapal tersebut.
Tetapi, proses penangkapan tidak berjalan mulus, lantaran ada campur tangan dari kapal Coast Guard China yang sengaja menabrak KM Kway Fey 10078.
Hal itu diduga untuk mempersulit KP HIU 11 menangkap KM Kway Fey 10078.
Pada waktu itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan, dalam pertemuan dengan Sun Weide, Kuasa Usaha Sementara China di Indonesia, pihak Indonesia menyampaikan protes keras terhadap China.
Sebulan setelah konflik tersebut, Pemerintah Indonesia menganggap persoalan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dengan Coast Guard China di Perairan Natuna sudah selesai.
Kemudian, pada Juli 2017, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman meluncurkan peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baru.
Nama Laut China Selatan juga diganti menjadi Laut Natuna Utara.
Langkah tersebut diambil untuk menciptakan kejelasan hukum di laut dan mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia.
Keputusan tersebut memicu kritik dari Beijing.
Lalu, pada 19 Desember 2019, sejumlah kapal asing penangkap ikan milik China diketahui memasuki Perairan Natuna, Kepulauan Riau.
Kapal-kapal China yang masuk dinyatakan telah melanggar exclusive economic zone (ZEE) Indonesia dan melakukan kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUUF).
Selain itu, Coast Guard China juga dinyatakan melanggar kedaulatan di perairan Natuna.
Persaingan di atas ombak
Setelah kapal-kapal China memasuki Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) awal tahun ini, Indonesia mengerahkan angkatan lautnya dan kapal-kapal Bakamla (keamanan maritim), beberapa jet tempur F-16 dan mengirim kapal-kapal nelayan dari pulau utama Jawa untuk mengusir serbuan China.
Akhirnya, kapal-kapal China meninggalkan perairan.
Greg Poling, direktur Pusat Studi Strategis dan Internasional Asia Maritime Transparency Initiative yang bermarkas di Washington, mengatakan, China belum "memenangkan" Laut China Selatan.
"Tetapi saya benar-benar berpikir tentang metrik apa pun yang Anda gunakan yang kalah dari AS dan Selatan.
"Negara-negara Asia Timur kalah.
"Apakah Anda ingin melihatnya sebagai masalah hukum internasional atau akses atau sumber daya, jelas China menang di semua lini," paparnya kepada The Sydney Morning Herald.
Dia menambahkan, "China berniat mendominasi Laut China Selatan tanpa kekuatan, dengan memaksa negara-negara Asia Tenggara menerima bahwa mereka telah kalah, dengan menunjukkan dominasi China dengan pasukan paramiliter dan penjaga pantai sedemikian rupa sehingga (mereka) harus menerima apa pun kesepakatan yang buruk yang ada di atas meja, dengan demikian merusak kredibilitas AS, Australia, Jepang dan siapa pun."
(Barratut Taqiyyah Rafie)
Sebagian artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul "Natuna jadi garis terdepan sengketa wilayah RI vs Tiongkok di Laut China Selatan"
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini