Kelompok yang berjalan di panas matahari tropis yang lembap itu rupanya sedang mencari tulang belulang manusia.
Pria-pria itu berasal dari Jepang dan sebagian besar dari mereka kehilangan ayah, paman, saudara laki-laki, atau teman dalam Perang Dunia II di situ, yakni di Pulau Saipan, salah satu pulau dari gugusan Kepulauan Mariana.
Pengumpulan tulang belulang itu dianggap sebagai semacam kewajiban suci.
Soalnya, orang percaya, begitu mereka memperabukan tulang belulang itu, maka arwah dari mereka-mereka yang meninggal empat puluh tahun yang lalu itu akan memperoleh kedamaian.
Salah satu babak yang mengerikan dalam Perang Pasifik dimulai ketika tentara Amerika pada pagi hari tanggal 15 Juni 1944 mendarat di Pulau Saipan yang diduduki Jepang.
Dua puluh ribu tentara Amerika menyerbu tentara pendudukan Jepang setelah menghujam mereka dengan serangan bom yang tak henti-hentinya.
Namun, Amerika membutuhkan waktu tiga minggu untuk merebut pulau itu.
Soalnya, para prajurit Jepang telah ditempa untuk tidak menyerah dan terus berjuang sampai titik darah penghabisan.
Hanya enam ratus dari tiga puluh ribu orang Jepang yang ada di pulau itu yang menyerahkan diri hidup-hidup ke tangan Amerika.
Orang-orang yang tidak gugur di medan pertempuran hanya melihat satu jalan keluar dari perasaan terhina akibat kekalahan.
Meskipun tentara Amerika berulang-ulang meyakinkan kepada orang-orang Jepang itu lewat pengeras suara bahwa penyerahan mereka tidak berbahaya dan bukan suatu hal yang hina, tetapi beberapa penduduk sipil Jepang malah mengikuti tindakan tentara mereka.
Banyak keluarga berkumpul di pinggir batu karang kematian.