Find Us On Social Media :

Diibaratkan 'Genset' saat Pandemi, Inilah Terapi Plasma Darah 'Pemangkas' Setengah Korban Flu Spanyol yang akan Mulai Diuji Coba dalam Skala Besar di Indonesia

By Ade S, Rabu, 13 Mei 2020 | 15:25 WIB

'Genset' Bagi Penyakit-penyakit Tanpa Vaksi, Inilah Terapi Plasma Darah Penyelamat Setengah Korban Flu Spanyol yang akan Mulai Diuji Coba dalam Skala Besar di Indonesia

Intisari-Online.com - Presiden Joko Widodo akhirnya menyatakan bahwa terapi plasma darah dari pasien sembuh Covid-19 akan mulai diuji coba dalam skala besar kepada pasien Covid-19 yang masih menjalani perawatan.

Keputuasan tersebut, menurut Jokowi, diambil seiring dengan hasil positif penerapan terapi plasma darah pada pasien-pasien Covid-19, yaitu berupa mempercepat kesembuhan.

"Saya melihat sudah kemajuan yang signifikan dalam pengujian plasma. Yang rencananya ini akan dilakukan uji klinis berskala besar di beberapa rumah sakit dan juga stem sel untuk menggantikan jaringan paru yang rusak," tutur Jokowi, Senin (11/5/2020).

Keberhasilan terapi plasma darah terhadap pasien Covid-19 ini mengingatkan tentang keberhasilannya saat menangani berbagai penyakit mematikan yang pernah terjadi di dunia.

Baca Juga: Terapi Plasma Darah, Solusi Pengobatan Covid-19

Dalam 119 tahun sejarahnya di dunia, terapi plasma darah telah menyelamatkan banyak nyawa manusia saat sebuah penyakit mematikan melanda sementara obat yang diperlukan belum tersedia.

Namun, keberadaan terapi plasma darah sendiri cenderung timbul-tenggelam sejak pertama kali ditemukan pada 1901.

Hal ini dikarenakan sifatnya yang diibaratkan sebagai sebuah 'genset' listrik.

Apa itu? Simak uraiannya berikut ini.

Baca Juga: Sudah Tewaskan 1.666 Orang, Ahli Sebut Plasma Darah Milik Pasien yang Sembuh Mampu Lawan Virus Corona

Pada 1934, seorang dokter di sebuah sekolah di Pennsylvania mencoba sebuah metode unik untuk menangkal wabah campak yang berpotensi mematikan.

Dokter bernama J. Roswell Gallagher tersebut memilih untuk mengekstraksi darah dari seorang siswa yang berhasil sembuh dari infeksi campak tersebut.

Plasma, hasil ekstaksi darah tersebut, lalu disuntikkan kepada 62 siswa lain yang dianggap berisiko terserang campak.

Hasilnya sungguh luar biasa, hanya tiga orang siswa yang terjangkit campak, itu pun hanya berupa gejala-gejala yang ringan.

Nama terapi plasma darah semakin mendapatkan tempat dalam sejarah pengobatan di dunia seiring munculnya Flu Spanyol pada 1918.

Saat itu, sepertiga penduduk Bumi, yaitu 500 juta orang, terinfeksi penyakit ini.

Jumlah korban jiwa tak kalah banyak, bahkan disebut lebih banyak dibanding korban Perang Dunia, yaitu 50 juta jiwa.

Jumlah tersebut dipastikan bisa dua kali lipat lebih banyak jika para pasien flu spanyol tidak mendapat terapi plasma darah.

Baca Juga: Benarkah Meminum Darah Manusia Dapat Membuat Anda Awet Muda?

Namun, meski keberhasilan-keberhasilan di atas, terutama saat Flu Spanyol, telah membuat nama terapi plasma mencuat, sebenarnya keberaannya sudah muncul sejak peradaban memasuki awal abad-20.

Pada 1901, Emil von Behring berhasil mengembangkan sebuah terapi untuk mengatasi difteri, sebuah infeksi bakteri mematikan yang biasanya menyerang anak-anak.

Tetapi, tidak seperti terapi plasma pada wabah campak di AS dan flu Spanyol, Behring mengambil plasma darah diambil dari hewan.

Plasma-plasma darah dari hewan yang telah pulih dari difteri itulah yang kemudian disuntikan kepada manusia.

Hasilnya? Tentu saja keberhasilan yang membawa sebuah Hadiah Nobel pertama dalam bidang Fisiologi Kedokteran.

Namanya saat itu adalah antitoksi difteri, bukan terapi plasma darah.

Setelah itu, termasuk dalam pandemi flu spanyol, terapi plasma darah terus menerus menjadi penyelamat nyawa manusia ketika sebuah penyakit belum memiliki vaksin untuk mencegahnya.

Mulai dari virus Ebola, SARS, MERS-CoV hingga H1N1 silih berganti harus berhadapan dengan terapi plasma darah saat penyakit-penyakit tersebut menyerang manusia.

Baca Juga: Konsumsi Air Kelapa 14 Hari Berturut-turut! Rasakan 5 Manfaat Ini

Ya, selama dunia farmasi belum berhasil menemukan cara untuk mencegah suatu penyakit mematikan menyerang manusia, maka terapi plasma darahlah yang kerap menjadi andalan.

Seperti saat ini, saat wabah Covid-19 menginfeksi 4.354.559 jiwa manusia dengan 293.037 di antaranya harus meninggal dunia.

Sampai kelak vaksin Covid-19 ditemukan, maka terapi plasma darah menajdi salah satu garda terdepan untuk menangani wabah virus corona.

Terapi plasma darah kini tengah "timbul" kembali setelah sekian lama "tenggelam".

Ibarat sebuah genset, menurut dr Theresia Monica R., Sp.AN., KIC., MSi, yang akan diingat dan digunakan ketika listrik padam namun kemudian 'dilupakan' saat aliras listrik kembali mengalir.

"Terapi plasma darah kini sedang mendapat perhatian karena ketiadaan vaksin aktif untuk Covid-19," Zoominar GridHealth x Intisari Talk yang mengangkat tema Terapi Plasma Darah untuk Solusi Pengobatan Covid-19 Kamis (7/5/20) sore.

Baca Juga: Peringatan Buat Mereka yang Banyak Makan Daging: Awas, Plasma Darah Bisa Jadi Seperti Susu