Penulis
Intisari-Online.com – Lebaran, ketika semua orang menjadikannya sebuah ajang untuk bertamu, bersilaturahmi, bermaaf-maafan.
Setelah sebelumnya mereka yang merayakan Lebaran mempersiapkan perayaannya.
Dari persiapan baju baru, sepatu baru, mengecat rumah atau merenovasi rumah, mendekorasi meja makan, termasuk menyiapkan kue-kue dan hidangan khas Lebaran.
Namun, akhirnya makna keagungan Lebaran itu sendiri sering tenggelam di balik kemeriahan perayaannya.
Andi Hakim Nasoetion, seperti dalam tulisannya Lebaran, Pesta Kecil yang Jadi Besar dan pernah dimuat di MajalahIntisariedisi April 1990 ini mengingatkannya untuk kita semua.
Bagi umat Islam sebenarnya hanya ada dua hari raya. Idul-Adha – yaitu Pesta Haji, atau Idul-Qurban yang secara harfiah berarti Pesta Kurban, atau yang terkenal dengan -nama lam 'Idul-Kabir — yang berarti Perayaan Besar. Hari raya ini jatuh pada setiap tanggal 10 Zulhijjah.
Kemudian 'Idul-Fitri, yaitu Pesta Berakhirnya Kewajiban Berpuasa, dan jatuh pada setiap tanggal 1 Syawal.
Perayaan ini juga disebut 'Idus-Sagir yang berarti Perayaan Kecil, dan dalam bahasa sehari-hari disebut Lebaran.
Namun, masyarakat mempunyai kebiasaan membuat perayaan Lebaran lebih ramai di antara kedua hari raya itu.
Begitu besar dan meluasnya perayaan 'Idul-Fitri itu, sehingga ada kalanya orang tidak menyadari lagi unsur ibadah yang melatarbelakangmya.
Hangat dalam kedinginan
Kesadaran saya akan pentingnya makna Lebaran baru muncul ketika harus mengalaminya jauh dan sanak-saudara.
Tiga kali Lebaran, antara Agustus 1961 hingga Maret 1965, saya lewatkan di Amerika Serikat.
Pada waktu itu kegiatan organisasi mahasiswa muslim belum sebaik sekarang. Bahkan, pada salah satu Lebaran itu, saya justru harus menjalani ujian yang sangat menentukan.
Saya ingat, ketika keluar dari ruang ujian, saya bertemu seorang mahasiswa Mesir. Dengan serta-merta saya mengulurkan tangan untuk bersalaman sambil mengucapkan Minal Aidm wal Fa-izin.
Setengah tercengang ia bertanya, What's wrong? Saya menjawab bahwa tidak ada kesalahan apa-apa, hanya ingin mengucapkan selamat selesai melaksanakan puasa.
Baru ia mengerti, seraya mengatakan bahwa yang harus disebut ialah 'Eidul-Mubarak.
Kemudian ia bertanya lagi mengapa harus repot-repot, karena Idul-Qurban-lah yang lebih penting dirayakan.
Sahur bakso bola tenis
Ketika itu saya tinggal bertiga. Bulan-bulan Ramadan waktu itu jatuh pada musim dingin.
Untuk membuat makanan hangat menjelang sahur rasanya sangat memberatkan.
Maka untuk makan sahur, hanya air minum dan nasi saja yang kami hidangkan panas-panas.
Lauknya kami ikutkan menjadi panas di dalam nasi. Satu kali, salah seorang kawan saya ada yang berbaik hati membuat sop bakso.
Baksonya dibuat dari daging cincang. Betapa gelinya ketika saya bermaksud menyendok bakso itu.
Di dalam panci terdapat tiga bakso.
Rupanya, untuk mudahnya kawan saya itu membagi 1 pon daging cincang menjadi tiga bagian yang sama besar, dan kemudian mengubahnya menjadi tiga butir bakso.
Jadi boleh dikata, bakso bola tenis tidak diciptakan orang Indonesia di Senayan, melainkan di Raleigh, AS, pada awal tahun-tahun enam puluhan.
Keadaan seperti itu masih tertahankan buat kami. Yang merasuk nyeri dalam kalbu ialah rasa kehilangan suasana kehangatan yang biasanya terjalin antara sesama anggota keluarga.
Baru setelah pulang ke Indonesia, dan kemudian memimpin keluarga yang terdiri atas anak- istri, saya dapat menyadari rasa kehilangan yang melanda setiap orang Indonesia yang harus merayakan Lebaran sendirian, jauh dari tanah air.
Di Indonesia, selama sebulan penuh seisi rumah selalu berusaha berbuka puasa dan makan sahur bersama. Salat isya selalu dapat kami lakukan berjamaah, dilanjutkan salat tarawih.
Saat kami anak-beranak serta seluruh penghuni rumah lainnya saling bersalam-salaman sangat tidak ternilai maknanya.
Mengantar zakat fitrah kepada yang berhak pun merupakan suatu peristiwa yang penuh hikmah, karena penyerahannya dapat dilakukan dengan ijab kabul.
Saat-saat setelah selesai menunaikan salat Id pun merupakan peristiwa yang syahdu, karena semua anak-cucu berkumpul di rumah nenek untuk memohonkan maaf dan saling bermaaf-maafan.
Mengeratkan kekeluargaan
Kalau saya mengenang kembali masa-masa merayakan Lebaran sendirian, jauh dari sanak- saudara, barulah saya memahami hikmah yang kita peroleh sebagai bangsa Indonesia dengan merayakan Idul Fitri sebagai Lebaran yang meriah.
Agaknya peristiwa itulah yang membantu kita untuk selalu memelihara tali persaudaraan yang kuat.
Orang Amerika sering bertanya-tanya, mengapa sangat sedikit mahasiswa tugas belajar dari Indonesia yang membelot.
Jarang sekali yang memilih menetap di rantau setelah menyelesaikan pendidikannya, walaupun tergiur oleh penghasilan yang tinggi.
Ada kawan yang mencoba menjawab bahwa Indonesia itu indah tiada tara. Tetapi itu barangkali hanyalah suatu rasa cinta tanah air yang berlebihan.
Soal keindahan pemandangan, setiap negara juga memiliki panorama yang khas.
Menurut perasaan saya, rasa kangen pulang pada orang Indonesia lebih banyak ditentukan oleh suasana hangat kekeluargaan di rumah dan lingkungannya.
Ketika pada tahun 1969 berkesempatan mengunjungi AS lagi, saya menempati sebuah kamar di lantai atas sebuah hotel. Jika keluar ke lobi, tidak ada seorang pun tempat bersapa.
Apalagi di kaki lima. Maka begitu selesai urusan pada hari benkutnya, saya mempercepat keberangkatan ke Raleigh.
Di bekas tempat saya menuntut ilmu ini, saya menginap di rumah kawan, sepasang suami-istri yang sedang tugas belajar.
Mereka juga membawa kedua anak mereka. Suasana kekeluargaan segera terasa, setelah tinggal di hotel selama tiga minggu di Inggris.
Pengalaman ini selalu kembali di pelupuk mata saya ketika selesai melaksanakan salat tarawih bersama keluarga.
Agaknya, salah satu hikmah tarawih itu adalah mempererat hubungan kekeluargaan.
Karena hal itu terjadi dalam bulan puasa yang diakhiri dengan Lebaran, dengan sendirinya Lebaran menjadi peristiwa yang memperkokoh hubungan rumah tangga.
Asal saja, hikmah yang diambil dari Lebaran itu bukan hanya peristiwa mengenakan pakaian baru, dan melakukan wisata ke tempat-tempat hiburan.
Enggan jauh-jauh
Selain membawa keuntungan, tentu saja keeratan hubungan keluarga dapat membawa mudarat.
Salah satunya ialah sifat orang Indonesia yang senang tetap berkumpul dengan keluarganya.
Akibatnya, betapa sulit menyuruh pemuda kita untuk menganggap seluruh wilayah Indonesia sebagai lahan penghidupannya.
Seorang ahli mesin dari Purwokerto misalnya, dengan mudah dapat menemukan pekerjaan di anjungan minyak di lepas pantai.
Namun, keluarganya mengharapkannya untuk tidak pergi jauh-jauh. Pada pekerjaan yang mungkin ditemukannya di kota asalnya itu, mungkin hanya sebagai juru tulis atau penjaga generator cadangan.
Untuk mengafasi kemudaratan itu, sambil memanfaatkan keuntungannya, kiranya kita perlu mengusahakan agar semua tempat di Indonesia ini menjadi "sama dekat ke mana-mana".
Harus dapat diusahakan agar hubungan telepon otomatis dapat menjangkau semua pelosok, dan biaya sambungan langsung jarak jauh tidak mencekik leher.
Harus pula dicari suatu cara, agar perjalanan dalam negeri dapat dilakukan selancar perjalanan ke luar negeri, dengan biaya yang tidak lebih mahal pula.
Mudah-mudahan sarana seperti itu dapat membantu suatu keluarga muda untuk mengunjungi orang tuanya sekali tiga tahun, tanpa harus menghabiskan seluruh simpanannya selama waktu itu, untuk satu kali perjalanan itu saja.
Lebaran, Lebaran. Namamu sederhana, tetapi maknamu agung. Allahu Akbar!
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari