Penulis
Intisari-online.com -Lebih dari 232 ribu orang mungkin telah terinfeksi di gelombang pertama Covid-19 di China daratan.
Angka tersebut adalah empat kali angka yang dilaporkan oleh China, dan didapatkan dari penelitian oleh ilmuwan Hong Kong.
China telah laporkan lebih dari 55 ribu kasus pada 20 Februari, tetapi menurut ilmuwan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Hong Kong University, jumlah pasien Covid-19 jauh lebih besar.
Hal ini karena ada pergeseran definisi pasien Covid-19 yang kemudian digunakan saat ini.
Hasil penelitian mereka dituang dalam jurnal the Lancet.
"Gelombang pertama epidemi Covid-19 di pulau China atau China daratan pada 20 Februari silam mungkin mencapai 232 ribu kasus infeksi.
"Jumlah sebenarnya dari total infeksi masih bisa lebih tinggi daripada estimasi yang sekarang dipakai.
"Pasalnya, ada kemungkinan pasien tidak terdeteksi dari beberapa kasus infeksi, biasanya dari infeksi ringan dan tanpa gejala."
Ilmuwan yang dipimpin oleh Peng Wu dari Kesehatan Masyarakat Universitas Hong Kong melihat berbagai sistem klasifikasi yang digunakan oleh pemerintah setelah epidemi merebak di Wuhan akhir Desember silam.
China telah mengeluarkan tujuh edisi diagnosa dan panduan perawatan, mengubah sistem klasifikasi sejalan dengan memahami perkembangan penyakit tersebut.
Kemudian, tim Hong Kong temukan perbedaan pengertian mengenai Covid-19 membuat perbedaan besar pada jumlah kasus.
China telah laporkan lebih dari 83 ribu kasus.
Baca Juga: Tak Cukup Bikin Dunia Kelabakan, Virus Corona Juga Picu Konflik Baru antara China dan Negara Barat
Jumlah kematian Covid-19 di seluruh dunia telah melebihi angka 184 ribu dengan jumlah kasus seluruh dunia lebih dari 2.6 juta pasien.
Estimasi baru datang setelah ada desakan internasional mengenai wabah virus Corona berasal.
Pertanyaan tersebut dipimpin oleh Amerika Serikat dan Australia.
Meskipun perkiraan tersebut tampaknya jauh dari bukti pembuktian yang dicari oleh beberapa orng mengenai hak politik.
Amerika Serikat dan Australia telah menyerukan penyelidikan internasional dalam penanganan wabah ini.
Kriteria diagnosa untuk identifikasi penyakit ini sangatlah sempit seperti yang disebutkan oleh penulis jurnal tersebut.
Kriteria tersebut direvisi tujuh kali antara 15 Januari sampai 3 Maret oleh Komisi Nasional Kesehatan China.
Revisi dilakukan bersamaan dengan informasi baru mengenai penyakit Covid-19 menjadi tersedia dan kapasitas uji laboratorium telah bertambah.
Studi tim Hong Kong menganalisis data sampai 20 Februari diambil dari misi WHO ke Wuhan.
Mereka mengestimasi jika masing-masing perubahan meningkatkan proporsi kasus yang dideteksi dan dihitung, antara 2.8 sampai 7.1 kali lebih besar.
"Jika versi kelima dari definisi kasus telah diaplikasikan pada keseluruhan wabah dengan kapasitas uji yang berkecukupan, kami estimasikan jika pada 20 Februari 2020 terdapat 232 ribu lebih kasus terkonfirmasi di China.
Berlawanan dengan jumlah yang mereka laporkan yaitu 55.508 kasus.
Jika benar demikian, maka jumlah total kasus di China jauh mengungguli kasus di Italia dan Spanyol.
Berdasarkan dua faktor penulis menguji kembali berapa kasus yang telah dilewatkan jika kriteria terakhir telah digunakan pada awal wabah merebak.
Peneliti tunjukkan cakupan sangat sempit dari panduan diagnosa pertama, yang memerlukan enam kriteria spesifik sebagai pasien Covid-19 yang terkonfirmasi.
Kriteria tersebut termasuk kaitan epidemiologi pasien ke Wuhan atau pasar basah Wuhan, dan tes urutan genom lengkap dari spesimen pernapasan pasien yang tunjukkan kesamaan dengan Covid-19.
"Di China, memperluas definisi kasus seiring waktu membuat proporsi infeksi yang dideteksi sebagai kasus menjadi lebih besar," tulis peneliti tersebut.
"Jumlah sebenarnya dari infeksi dapat lebih tinggi daripada yang diestimasi sekarang, dengan mempertimbangkan kemungkinan luputnya deteksi dari beberapa infeksi, terutama untuk gejala yang ringan bahkan tanpa gejala, bahkan dengan definisi kasus yang paling luas sekalipun."
Terdapat kontroversi di banyak negara mengenai perhitungan kematian dan infeksi, tetapi China khususnya telah dituduh kurang transparan mengenai laporkan angka kematian dan kasus infeksi mereka.
Minggu lalu dikatakan jika jumlah kematian di Wuhan ternyata 50 persen lebih banyak daripada laporan awal.
Melansir Guardian, di Amerika terdapat perbedaan mengenai angka harian dari pemerintah yang hanya menghitung kematian di rumah sakit, dan angka yang dipublikasikan per minggu oleh Kantor Statistik Nasional, yang memasukkan kematian dalam komunitas.
Analisis oleh Financial Times minggu ini menyebutkan jika angka kematian di Amerika bisa jadi 41 ribu, dua kali dari angka yang telah tercatat.
Dengan hal yang sama, diasumsikan jika gambaran resmi infeksi di Inggris lebih rendah dari gambaran yang sebenarnya, yang tunjukkan kurangnya pengujian.
Isu yang sama tersorot juga di Spanyol pada Kamis, ketika pemerintah federal dan pemerintah Madrid laporkan angka kematian yang berbeda.
Sementara itu, tuduhan administrasi Trump kepada China yang menyebut China tidak transparan mengenai dari mana datangnya virus dan laporan mereka telah membuat pihak Beijing marah.
Rabu, duta besar China untuk Amerika Cui Tiankai mengatakan diperlukan pondasi berpikir ulang yang serius di dalam hubungan China dan Amerika.
Ia juga mengkritik politikus di Amerika yang mengabaikan ilmuwan dan membuat tuduhan tanpa dasar.
Di hari yang sama, Sekretaris Negara Amerika Mike Pompeo mengatakan Amerika yakin jika China gagal laporkan wabah ini tepat waktu.
Amerika juga telah membesarkan teori jika virus Corona 'melarikan diri' dari laboratorium China, tanpa bukti.
Pada Rabu sore, Trump ditegur oleh gubernur dan rekan partai Republiknya mengenai keputusan untuk membuka kembali wahana bowling, salon dan bisnis lain pada Jumat.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini