Find Us On Social Media :

Puisi, Bendera, WC, dan 'Konyolnya' Hukuman di Lingkungan Pendidikan Kita

By Muflika Nur Fuaddah, Jumat, 20 April 2018 | 14:00 WIB

Bendera sebagai lambang negara haruslah dipahami sebagai identitas bersama yang tanpanya Indonesia tidak terbentuk seperti sekarang.

Begitu juga, Indonesia Raya yang pertama dilantunkan pada Sumpah Pemuda tahun 1928, ada nilai-nilai persatuan yang lebih layak untuk dipahami.

Penyerapan nilai merah yang berani, putih yang suci, “bangunlah jiwanya bangunlah raganya untuk Indonesia Raya” tidak didapat dari kesesuaian keterampilan menarik tali tiang dan durasi paduan suara.

Baca Juga: (Foto) Sangat Langka! 10 Potret Berikut Hanya Dilihat oleh Satu dari Sejuta Orang

Kepribadian dan akhlak mulia sebagai nilai afektif direduksi sebagai perilaku yang tampak mata saja. Akibatnya pengibaran bendera saat upacara pun direduksi dengan cara yang sama.

Demikian juga pada kasus kedua, menghukum murid yang tidak melakukan tugas (membawa tanah kompos) dengan menjilati WC.

Tugas tidak dapat benar-benar dijadikan capaian untuk kemudian dinilai, sehingga siapapun yang tidak memenuhi capaian tersebut layak dihukum.

Jika hukuman diberlakukan untuk mendisiplinkan dan memberi efek jera, ketika suatu saat ditemukan pelanggaran-pelanggaran lagi, itu berarti si murid telah sadar betul dengan konsekuensi yang akan dihadapinya.

Baca Juga: Saking Brutalnya Kejahatan yang Dilakukan, Anak-anak Ini Dihukum Layaknya Orang Dewasa

Namun mereka lebih memilih untuk membebaskan diri dari konsekuensi-konsekuensi itu.

Konsekuensi atau hukuman pada akhirnya hanya akan menghantui murid-murid yang dianggap ‘patuh’ dan tidak untuk sebaliknya.

Terlebih hukuman untuk menjilati WC sangat tidak manusiawi, namun hal tersebut cukup wajar terjadi mengingat praksis pendidikan dasar tidak sungguh-sungguh diarahkan untuk mencapai tujuan murid yang berkepribadian dan berakhlak mulia.