Puisi, Bendera, WC, dan 'Konyolnya' Hukuman di Lingkungan Pendidikan Kita

Ade Sulaeman

Penulis

Mengapa guru-guru masih saja suka menerapkan hukuman fisik yang mengarah pada kekerasan pada muridnya? Apakah budaya pendidikan kita memang sulit diubah?

Intisari-Online.com- ‘Anakmu bukan anakmu, mereka adalah anak-anak kehidupan,’ kutipan puisi Kahlil Gibran tersebut nampaknya selalu berlaku bagi siapapun sampai kapanpun.

Memang puisi itu tercipta khususnya bagi orang tua untuk tidak membelenggu kebebasan jiwa dan berpikir si anak.

Namun ketika orang tua telah mempercayakan pendidikan anak kepada guru (sekolah: sebagai institusi pendidikan), maka puisi itu dapat ditujukan juga kepada para guru.

Sayangnya, pelanggaran demi pelanggaran oleh guru menciderai syair Gibran tersebut.

Baca Juga:Dulu Jadi Rival Susi Susanti, Sekarang Mantan Pebulutangkis Putri Asal China Itu Jadi WNI dan Tinggal di Klaten

Puisi sekalipun pernah didengar, layaknya ayat atau pasal hukum, ia tak serta merta menghentikan dan menghapus permasalahan pada dunia pendidikan di Indonesia.

Pada Kamis (19/4) kemarin, dilansir dari tribunnews.com, seorang oknum guru terpaksa diamankan polisi atas video penganiayaannya yang viral di media sosial.

Dalam video itu, sebelum menampar keras muridnya, guru terlihat mengelus-elus pipi korban terlebih dahulu.

Tamparan itu dilakukan guru berinisial LS sebagai hukuman bagi anak didiknya diSekolah Menengah Kejuruan (SMK) Purwokerto yang ketahuan makan di kantin saat jam pelajaran.

Baca Juga:Videonya saat Tampar Murid Viral, Oknum Guru SMK Ini Ditangkap Polisi Meski Sudah Beri Video Klarifikasi

Meski sudah memberi klarifikasi dan permintaan maaf, dia tetap digelandang ke mobil polisi.

Sebelum kasus ini, dua kasus sejenis yang melibatkan kesewenang- wenangan guru terhadap murid telah lebih dahulu terjadi.

Pada awal tahun misalnya, terdengar kabar tidak mengenakkan dari Sulawesi Selatan, yakni penganiayaan kepala sekolah SD di Kecamatan Sinjai Tengah, Kabupaten Sinjai, terhadap salah seorang murid.

Seperti dilansir pada kompas.com (26/1/2018), penganiayaan itu disebabkan karena ketidak sempurnaan pengibaran bendera merah putih pada upacara hari Senin.

MS (12) yang menjadi pengibar bendera telat menaikkan bendera.

Baca Juga:Jika di Suriah Terjadi Perang Rudal Kisah Duel Rudal Dalam Perang Teluk pun Bisa Terulang

Ketika lagu Indonesia Raya telah usai dinyanyikan, bendera baru sampai di tengah-tengah tiang.

Penganiayaan tidak terjadi pada saat itu juga, namun setelah upacara selesai.

Kepala sekolah memanggil dan memukul MS tepat di kepala sebelah kiri.

Beberapa menit setelahnya, kondisi korban drop dan terpaksa dilarikan ke Puskesmas Sinjai Tengah guna mendapatkan pertolongan tim medis.

Baca Juga:Memiliki 'Tiga Wajah', Pria Ini Bahagia Setelah Operasi Transplantasi Wajah Keduanya

Tidak hanya itu, bulan lalu, aksi kesewenang-wenangan guru terhadap murid juga terjadi di Sumatera Utara.

Kali ini, hukuman diberlakukan sebagai sanksi dan menimpa murid yang ketahuan tidak melakukan tugas.

RM, guru SD Negeri Cempedak Lobang, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, menghukumnya dengan keharusan menjilati WC.

Orang tua murid, SH, berkata bahwa dirinya keberatan atas kejadian yang menimpa anaknya.

Baca Juga:Kisah Pengantin Pria Minta Cerai Usai Menikah Jadi Viral. Ini Alasannya

Saat menjalani hukuman itu pun, anak SH muntah setelah melakukan empat kali jilatan di WC (lihat kompas.com, 15/3/2018).

Meski kejadian pada kasus pertama akhirnya dilaporkan ke Polres Sinjai dan guru pada kasus kedua juga telah diberi sanksi mutasi, bukan berarti kejadian-kejadian serupa tidak akan terulang lagi di kemudian hari pada dunia pendidikan Indonesia.

Dalam kedua kasus tersebut dapat dilihat bahwa sepertinya anak sebagai murid tidak diakui subjektivitasnya, melainkan semata-mata dijadikan objek oleh dan bagi guru.

Hal itu mencerminkan pendekatan proses belajar mengajar yang kurang tepat. Parahnya lagi, kekurang tepatan itu disebabkan oleh kekaburan penghayatan tujuan dari pendidikan itu sendiri.

Baca Juga:Hasil Mengejutkan Otopsi Para Selebritas Dunia, Ungkap Bagaimana Mereka Meregang Nyawa

Bagaimana hendak membangun bangsa yang berkebudayaan, jika gurunya bahakn tidak menjadi teladan yang baik?

Berdasarkan PP No. 19/2005 tentang standar Nasional Pendidikan, disebutkan bahwa tujuan pendidikan dasar ialah “meletakkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.”

Biasanya penilaian dalam praksis pendidikan dilihat dari tiga ranah, yakni kognitif (potensi intelektual: kecerdasan, pengetahuan), afektif (sikap dan nilai: kepribadian, akhlak mulia), dan psikomotorik (keterampilan: untuk hidup mandiri).

Sudah Benar dan Tepatkah Penerapan Tujuan Pendidikan?

Baca Juga:Mengaku Sebagai Anggota TNI AU, Pria Ini Pacari Perawat Selama 3 Tahun

Dalam prasangka baik kasus pertama, jika upacara dimaksudkan untuk menanamkan nasionalisme atau sikap menjadi warga negara yang baik haruslah dapat mengasah segi afektif murid.

Bendera sebagai lambang negara haruslah dipahami sebagai identitas bersama yang tanpanya Indonesia tidak terbentuk seperti sekarang.

Begitu juga, Indonesia Raya yang pertama dilantunkan pada Sumpah Pemuda tahun 1928, ada nilai-nilai persatuan yang lebih layak untuk dipahami.

Penyerapan nilai merah yang berani, putih yang suci, “bangunlah jiwanya bangunlah raganya untuk Indonesia Raya” tidak didapat dari kesesuaian keterampilan menarik tali tiang dan durasi paduan suara.

Baca Juga:(Foto) Sangat Langka! 10 Potret Berikut Hanya Dilihat oleh Satu dari Sejuta Orang

Kepribadian dan akhlak mulia sebagai nilai afektif direduksi sebagai perilaku yang tampak mata saja. Akibatnya pengibaran bendera saat upacara pun direduksi dengan cara yang sama.

Demikian juga pada kasus kedua, menghukum murid yang tidak melakukan tugas (membawa tanah kompos) dengan menjilati WC.

Tugas tidak dapat benar-benar dijadikan capaian untuk kemudian dinilai, sehingga siapapun yang tidak memenuhi capaian tersebut layak dihukum.

Jika hukuman diberlakukan untuk mendisiplinkan dan memberi efek jera, ketika suatu saat ditemukan pelanggaran-pelanggaran lagi, itu berarti si murid telah sadar betul dengan konsekuensi yang akan dihadapinya.

Baca Juga:Saking Brutalnya Kejahatan yang Dilakukan, Anak-anak Ini Dihukum Layaknya Orang Dewasa

Namun mereka lebih memilih untuk membebaskan diri dari konsekuensi-konsekuensi itu.

Konsekuensi atau hukuman pada akhirnya hanya akan menghantui murid-murid yang dianggap ‘patuh’ dan tidak untuk sebaliknya.

Terlebih hukuman untuk menjilati WC sangat tidak manusiawi, namun hal tersebut cukup wajar terjadi mengingat praksis pendidikan dasar tidak sungguh-sungguh diarahkan untuk mencapai tujuan murid yang berkepribadian dan berakhlak mulia.

Melainkan sekedar memenuhi tuntutan kurikulum yang berujung pada nilai secara objektif, di atas kertas dan raport tahunan.

Baca Juga:Pilot yang Mendaratkan Southwest Airlines yang Mesinnya Meledak Adalah Salah Satu Pilot Wanita Pertama di Angkatan Laut AS

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan yang seharusnya mulia dari pendidikan dilakukan dengan pendekatan-pendekatan kurang tepat.

Pendekatan dengan Mengakui Murid sebagai Subjek

Terlalu berfokus pada hasil dan bentuk yang tampak mata sekaligus mengaburkan proses dan makna dari belajar mengajar.

Sedangkan ketika pendidikan dan proses pembelajaran memang ditujukan untuk murid, maka murid-murid itulah yang seharusnya menjadi subjek utama, bukan guru atau pun buku teks.

Baca Juga:Selalu Merasa Tak Aman, Saddam Hussein Tak Pernah Tidur di Istananya

Maka dengan menjadikan murid sebagai subjek utama harus diringi dengan pengakuan dan penghargaan utuh terhadap murid sebagai subjek pendidikan.

Menjadikan murid sebagai acuan utama pendidikan, berarti tidak memaksanya untuk memenuhi cita-cita ideal tertentu.

Baik itu harus lihai mengerek bendera layaknya paskibra profesional atau patuh membawa pupuk kompos untuk memenuhi poin dan nilai.

Hal yang patut dipertimbangkan adalah perpektif si murid terhadap diri dan lingkungannya sendiri.

Baca Juga:Ketika Sekelompok Punk Sengaja Menyuntikkan Virus HIV ke Tubuh Sendiri untuk Mendapatkan Kedamaian dan Kebebasan

Itulah bentuk utama dari wujud mengakui murid sebagai subjek yang harus dihargai agar dapat memajukan kebudayaan bangsa kelak.

Saya sependapat dengan gagasan bahwa pembelajaran yang dapat memupuk fondasi atau dasar nalar kritis, kreatif, dan inovasi murid bukanlah pembelajaran yang terpacu pada target-target superfisial, formal, dan dangkal sebagaimana ditunjukkan dalam standar kompetensi pendidikan dasar. (Edi Subkhan, Pendidikan Kritis, 2016: 162)

Bendera tak harus dipahami sampai pada kibarannya saja dan WC tak patut ditakuti di bawah hukuman konyol.

Bahkan mungkin makna tersirat puisi Kahlil Gibran patut dijadikan hidden kurikulum untuk mengasah kepekaan rasa, estetika, dan budaya di sekolah.

Baca Juga:Nyeri Kaki, Lutut, dan Pinggul? Atasi Lewat 5 Cara Sederhana Berikut

Artikel Terkait