Penulis
Intisari-Online.com - Kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang berlaku sejak januari 2020 lalu mendapat penolakan dari DPR RI.
DPR RI pun mendesak pemerintah untuk membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut.
Seperti diketahui iuran Penerima bantuan Iuran (PBI) naik dari Rp 23.000 menjadi Rp 42.000 per jiwa per bulan.
Besaran iuran ini juga berlaku bagi peserta yang didaftarkan oleh Pemda (PBI APBD).
Baca Juga: Dilema Pasien, Pakai BPJS Tebus Obat Masih Bayar dan Terkadang Hanya Diberi Separuh Jatah
Iuran PBI sendiri dibayar penuh oleh APBN, sedangkan peserta yang didaftarkan oleh Pemda (PBI APBD) dibayar penuh oleh APBD.
Sementara, Peserta Bukan Penerima Upah PBPU atau Peserta Mandiri untuk kelas 3 naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per jiwa per bulan.
Kemudian Kelas 2 naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 per jiwa per bulan dan Kelas 1 naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000 per jiwa per bulan.
Melansir Kompas.com, penolakan oleh DPR RI tersebut pertama kali disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi IX, Nihyatul Wafiroh, di depan Menko PMK, Muhadjir Effendy, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Sosial Juliari Batubara dan Menteri Kesehatan Agus Putranto saat rapat gabungan, Selasa (18/2/2020).
Baca Juga: Peringati Hari Peduli Sampah Nasional, Bank Sampah Kampung Koran Reduksi 35 Ton Sampah di Jakarta
"Kami dari Komisi IX melalui rapat intern sudah sepakat untuk meminta menunda atau mambatalkan kenaikan BPJS untuk PBPU dan PBI," ujar Nihayatul.
Menanggapi penolakan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan bahwa keputusan untuk membatalkan kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan tersebut juga memiliki resiko lain.
Selain dinilai tak menyelesaikan masalah secara struktural, pembatalan kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan juga berkonsekuensi membatalkan penambahan bantuan PBI yang telah disalurkan pemerintah untuk semester II-2019 lalu.
Pasalnya, pemerintah telah membayarkan tambahan PBI sebagai konsekuensi kenaikan tarif iuran sesuai Perpres 75/2019 pada tahun lalu sebesar Rp 13,5 triliun.
"Jika meminta Perpres dibatalkan maka kami Kemenkeu yang sudah transfer Rp 13,5 triliun untuk tahun 2019, ini ditarik kembali,” tutur Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Gabungan Komisi II, Komisi VIII, Komisi IX, dan Komisi XI bersama pemerintah, Selasa (18/2).
Perlunya Kemenkeu menarik kembali tambahan talangan PBI tersebut menurut Sri Mulyani agar tak menjadi catatan saat audit laporan keuangan pemerintah oleh BPK nantinya.
Maka, jika situasi tersebut terjadi, justru BPJS Kesehatan yang akan dibuat ketar-ketir.
Skenario tersebut yang coba disampaikan menkeu, Sri Mulyani, di hadapan anggota dewan yang mendesaknya menyetujui pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Selain itu, menurut Sri Mulyani, pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi masalah defisit BPJS Kesehatan yang dinilainya sudah kronis saat ini.
Ia mengatakan bahwa pembatalan tersebut juga akan berbahaya bagi APBN dan keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ke depan meningat terbatasnya ruang fiskal pemerintah.
“Ini saja dengan seluruh PBI 2020 dimintakan dibayar di depan, defisit BPJS Kesehatan masih Rp 15,5 triliun. Jadi kalau tadi mau bicara keputusan (membatalkan kenaikan tarif iuran), ya kita lihat saja keuangan BPJS secara keseluruhan bagaimana,” kata Sri Mulyani.
Sebagai catatan, kenaikan iuran merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan yang berisiko mencapai Rp 32 triliun tahun 2019 lalu.
Defisit BPJS sudah Terjadi Sejak 2014
Defisit BPJS Kesehatan sendiri tercatat sudah terjadi sejak 2014. Bahkan meningkat setiap tahunnya.
"Sejak program jaminan sosial dilaksanakan 2014 BPJS terus mengalami defisit dengan tren semakin besar tiap tahun.
"Itu semua harus diakui karena fakta. Tahun 2014 defisit Rp 9 triliun, kemudian disuntik Rp 5 triliun. Tahun 2016 turun Rp 6 triliun dan disuntik Rp 6 triliun," ujar Sri Mulyani.
Jumlah defisit tersebut kembali meningkat di 2017 yang sebesar Rp 13 triliun dan tahun 2018 sebesar Rp 19 triliun.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut mengatakan, dengan kondisi saat ini BPJS Kesehatan belum mampu memenuhi kewajibannya untuk melakukan pembayaran kepada mitra kerjanya yaitu rumah sakit.
Padahal banyak pula rumah sakit yang sedang dalam kondisi sulit.
"Sistem BPJS kita tidak mampu memenuhi kewajibannya dari sisi kewajiban pembayaran. Padahal disebutkan BPJS maksimal 15 hari membayar. Namun banyak kewajiban BPJS Kesehatan yang bahkan sampai lebih dari 1 tahun tidak dibayarkan," ujar Sri Mulyani.
"Banyak rumah sakit mengalami situasi sangat sulit," jelas dia.
Baca Juga: Gusi Anda Berdarah? Jangan Dianggap Sepele, Bisa Jadi Itu Tanda Penyakit Mematikan Ini