Penulis
Intisari-Online.com -Awal tahun ini, kabar kurang gembira terkait keuangan Indonesia datang dari bidang pajak.
Penerimaan pajak meleset dengan sangat besar sampai memecahkan rekor terburuk dalam 5 tahun terakhir.
Pada 2019, penerimaan pajak dilaporkan meleset (shortfall pajak) sebesar mencapai Rp245,5 triliun.
Angka ini lebih tinggi dari proyeksi pemerintah sebesar Rp 140 triliun.
Pencapaian shortfall pajak ini lebih tinggi daripada tahun 2018 sebesar Rp 108,1 triliun dan 2017 yakni Rp 130 triliun.
Bahkan, catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ini merupakan kinerja perpajakan terburuk setidaknya dalam lima tahun terakhir.
Alasan, penerimaan negara tidak bisa banyak berbicara di tahun lalu karena pengaruh perlambatan ekonomi global.
Berdasarkan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sepanjang 2019 realisasi penerimaan pajak tercatat sebesar Rp 1.332,1 triliun atau hanya 84,4% dari target yang ditetapkan yakni Rp 1.577,6 triliun.
Pencapaian sepanjang Januari-Desember 2019 ini pun nyatanya hanya mampu tumbuh 1,4%.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kinerja penerimaan pajak tidak luput dari kondisi perlambatan ekonomi global tahun lalu lantaran terjadi perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China, Brexit, Geopolitik di Timur Tengah hingga Asia.
Kondisi tersebutlah yang menyebabkan tren penerimaan pajak tahun 2019 beda dengan lima tahun lalu.
“Yang menjadi penyebab penerimaan pajak kita tertekan, manufaktur dan pertambangan. Sementara impor, terjadi penurunan sebesar 9,9% pada November 2019, terutama dipengaruhi implementasi kebijakan biodiesel sehingga mengurangi impor Migas,” kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN 2019, di kantornya, Selasa (7/1).
Terjadi koreksi penerimaan pajak di sektor pengolahan atau manufaktur sebesar 1,8% year on year (yoy) dengan realisasi sebesar Rp 365,39 triliun.
Peran serta sektor pengolahan sangat penting, sebab kontribusinya mencapai paling besar atau setara 29,4% dari penerimaan tahun lalu.
Kemudian, kontraksi paling dalam terjadi pada sektor pertambangan yang terjun hingga 19% secara tahunan dengan pencapaian Rp 66,12 triliun.
Selanjutnya, sektor perdagangan hanya tumbuh 2,9% yoy jauh lebih rendah ketimbang tahun sebelumnya di level 20,5%.
Adapun realisasi sektor perdagangan senilai Rp 246,85 triliun dengan kontribusi terbanyak 19,9% dari pencapaian akhir tahun lalu.
Sumbangsih sektor perdagangan merupakan terbesar kedua dari total penerimaan pajak, sehingga pertumbuhannya yang cuma naik tipis ini memengaruhi kinerja pajak secara keseluruhan.
Di sisi lain, seluruh pencapaian jenis pajak berbasis impor lesu.
Pertama PPh 22 Impor yang mencatatkan penerimaan sebesar Rp 53,66 triliun, kontraksi 1,9% secara tahunan.
Kedua, PPN Impor dengan realisasi senilai Rp 171,3%, tumbuh negatif 8,1% dibandingkan tahun 2018.
Negara bangkrut?
Lalu, benarkah Indonesia akan bangkrut denganshortfallpajak sebesar itu?
Untuk mengetahuinya, mari kita lihat ulasan terkait kondisi yang sama pada 2016 berikut ini.
Perlu dipahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan shortfall pajak.
Baca Juga: Sri Mulyani Sindir Artis Pamer Saldo Karena
Shortfall adalah kondisi ketika realisasi lebih rendah dibandingkan dengan target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau APBN Perubahan.
Dalam konteks penerimaan pajak, shortfall sering terjadi ketika realisasi penerimaan pajak dalam satu tahun kurang dari target penerimaan pajak.
“Misalnya saja, pada APBN Perubahan 2015 target penerimaan pajak sebesar Rp 1.294 triliun, sedangkan realisasinya sebesar Rp 1.060 triliun,” ujar Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo kepada Kompas.com, Rabu (22/6/2016).
"Maka shortfall yang terjadi adalah Rp 234 triliun (selisih target dan realisasi)."
Menurut Yustinus, shortfall pajak tidak akan menyebabkan Indonesia bangkrut.
Alasannya, Indonesia mempunyai undang-undang yang mengatur batasan defisit anggaran sebesar tiga persen.
Akan tetapi, jika shortfall pajak terus berlanjut akan menjadi bahaya besar, karena ketahanan fiskal menjadi buruk.
Pertanyaan kemudian, kalaupun tidak membuat negara bangkrut karena ada batasan defisit tiga persen, apakah shortfall pajak mempengaruhi kepercayaan debitur bahwa Indonesia mampu mengembalikan utang?
“Secara umum iya. Bahkan sekarang market pun khawatir karena shortfall akan mengurangi kepercayaan pada kemampuan pemerintah dalam mengelola dan mengembangkan perekonomian,” imbuh Yustinus.
Artikel ini sudah tayang di kontan.co.id dengan judul "Shortfall pajak Rp 245 triliun pada 2019, terburuk dalam lima tahun terakhir".