Penulis
Intisari-online.com -Garuda Indonesia Tbk (GIAA) tengah didera masalah gawat yaitu kasus penyelundupan Harley Davidson dan sepeda Brompton yang kemudian membawa ke pemecatan Direktur Utama (Dirut) Ari Askhara 5/12/2019.
Ternyata, sebelum kasus ini, banyak kasus Garuda yang hampir membawah perusahaan tersebut ke ambang kehancuran.
Dilansir dari nasional.kontan.co.id, ini dia kasus yang pernah ditanggung oleh Garuda Indonesia.
KPK kini telah menyelesaikan penyidikan kasus suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS dan Rolls-Royce PLC oleh Garuda Indonesia (Persero).
Kasus yang membebani Garuda ini akan masuk masa persidangan. Dua tersangka pengadaaan 50 mesin Garuda ini adalah mantan direktur utama Garuda Emirsyah Satar dan Soetikno Soedargo pengusaha yang juga pemilik perusahaan Mugi Rekso Abadi.
Dalam kasus pembelian mesin Garuda ini, mantan direktur utama Garuda Indonesia, Emirsyah diduga menerima suap sebesar €1,2 juta dan US$180.000 atau senilai total Rp 20 miliar serta dalam bentuk barang senilai US$ 2 juta yang tersebar di Singapura dan Indonesia.
Perusahaan manufaktur terkemuka asal Inggris, Rolls Royce diduga memberikan suap atas pembelian 50 mesin pesawat Airbus SAS pada periode 2005-2014 untuk Garuda Indonesia.
Pemberian suap atas pembelian pesawat Garuda itu itu dilakukan melalui Soetikno Soedarjo, beneficial owner Connaught International Pte. Ltd yang berlokasi di Singapura. Ini adalah perusahaan perantara atas pembelian 50 mesin pesawat Airbus SAS untuk Garuda.
Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Garuda yang digelar 24 April 2019, dua komisaris Garuda yakni, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria tidak setuju atas laporan keuangan Garuda Indonesia tersebut. Mereka keberatan dengan pengakuan pendapatan Garuda Indonesia atas transaksi Perjanjian Kerja Sama Penyediaan Layanan Konektivitas Dalam Penerbangan antara PT Mahata Aero Teknologi dengan PT Citilink Indonesia, anak usaha Garuda.
Hanya manajemen Garuda Indonesia saat itu sudah mengakui pendapatan dari Mahata sebesar US$239,94 juta. Perincian pendapatan Garuda Indonesia itu, antara lain sebesar US$28 juta merupakan bagian dari bagi hasil yang didapat dari Sriwijaya Air. Padahal, pendapatan Garuda itu masih dalam bentuk piutang atau tagihan bagi Garuda Indonesia.
Atas laporan keuangan Garuda ini, Bursa Efek Indonesia (BEI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hingga Kementerian Keuangan (Kemenkeu) turun tangan. Kemenkeu bahkan sudah menjatuhkan sanksi kepada Akuntan Publik (AP) Kasner Sirumapea dan Kantor Akuntan Publik (KAP) Tanubrata, Sutanto, Fahmi, Bambang & Rekan, sebagai auditor laporan keuangan Garuda Indonesia tahun 2018.
Ada dua sanksi Kemenkeu atas kantor akuntan publik yang mengaudit keuangan Garuda Indonesia yakni pembekuan Izin selama 12 bulan melalui Keputusan Menteri Keuangan No.312/KM.1/2019 tanggal 27 Juni 2019 terhadap AP Kasner Sirumapea.
Sanksi lainnya atas laporan keuangan Garuda itu adalah peringatan tertulis dengan disertai kewajiban untuk melakukan perbaikan terhadap Sistem Pengendalian Mutu KAP dan dilakukan review oleh BDO International Limited.
OJK juga menjatuhkan sanksi ke Garuda Indonesia sebagai emiten, direksi, dan komisaris secara kolektif. Sebagai emiten, Garuda dikenakan denda Rp 100 juta.
Direksi yang tanda tangan laporan keuangan Garuda Indonesia dikenakan masing-masing Rp 100 juta. Secara kolektif direksi dan Komisaris Garuda Indonesia minus yang tidak tanda tangan, dikenakan kolektif Rp 100 juta.
Garuda Indonesia juga diminta untuk menyajikan lagi (restatement) laporan keuangan tahun buku 2018.
BEI juga memberikan sanksi ke Garuda Indonesia berupa Peringatan Tertulis III dan denda sebesar Rp 250 juta. Garuda dianggap menyalahi Peraturan BEI Nomor I-H tentang Sanksi. BEI juga meminta Garuda Indonesia untuk memperbaiki dan menyajikan kembali Laporan Keuangan Interim PT Garuda Indonesia Tbk per 31 Maret 2019.
Pengadilan menemukan, antara tahun 2003 dan 2006, Garuda Indonesia setuju untuk melakukan kesepakatan yang menetapkan harga keamanan dan biaya tambahan bahan bakar.
Selain itu, Garuda Indonesia disebut setuju dan melakukan kesepakatan terhadap biaya bea cukai dari Indonesia. Selain Garuda,m 14 maskapai lain yang juga didenda pengadilan Australia, seperti Air New Zealand, Qantas, Singapore Airlines, dan Cathay Pacific. Totalnya mencapai A$130 juta.
Hasilnya, nama Direktur Utama Garuda Indonesi Ari Askhara, Direktur Niaga Garuda Indonesia Pikri Ilham Kurniansyah, dan Direktur Utama Citilink Indonesia Juliandra Nurtjahjo ternyata juga menjabat sebagai Dewan Komisaris dan Dewan Direksi Sriwijaya Air, pasca Sriwijaya Air yang memutuskan bergabung menjadi bagian dari Garuda Indonesia Group.
Ketiga direksi Garuda Indonesia dan Citilink sudah diperiksa KPPU, termasuk Menteri BUMN Rini Soemarno yang akan diperiksa karena disebut-sebut sebagai pihakyang memerintahkan rangkap jabatan bagi dirreksi Garuda Indonesia Grup itu.
Ketiga direksi Garuda Indonesia ini diduga telah berdasarkan pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris apabila berada dalam pasar yang sama, keterkaitan erat di bidang yang sama, dan menguasai pangsa pasar yang menyebabkan terjadinya monopoli. (Barley Haliem, Titis Nurdiana)
Artikel ini telah tayang di nasional.kontan.co.id dengan judul Garuda Geger, Ini 5 Kasus Mencengangkan di Maskapai Ini