Find Us On Social Media :

Kisah 3 Siswa SMK yang Dikira Magang, Padahal Dijual Calo ke Perusahaan Kapal hingga Hilang Selama 9 Tahun

By Tatik Ariyani, Kamis, 5 September 2019 | 14:30 WIB

Lucia Martini tunjukkan sertifikat anaknya Ignatius Leyola Andinta Denny Murdani yang hilang kontak saat mengikuti PKL di Bali

"Saya berharap Denny mengetuk pintu rumah"

Lucia Martini awalnya kaget saat mengetahui sejumlah jurnalis mendatangi rumahnya di Kedon, RT 04, Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul.

Saat itu ingatannya kembali ke 10 tahun silam saat mengantarkan Ignatius Andrianta Loyola Denny Murdani berangkat PKL ke Bali.

Saat itu, anak ketiganya sempat menolak diantar kakaknya. Ia lebih memilih diantarkan ibunya.

"Saya diantar Mom (ibu) saja. Nanti enam bulan saya tidak melihat Kedon (nama dusunnya)," kata Martini menirukan upacan anaknya, Rabu (4/9/2019).

Lucia tak menyangka akan berpisah dengan anaknya sampai sekarang. Padahal anaknya bercita-cita menjadi prajurit TNI AL.

Lucia mengaku terlambat mendapatkan informasi hilangnya KM Jimmy Wijaya dibanding para orangtua korban lainnya. Ia baru mendapatkan informasi soal hilangnya kontak kapal seminggu kemudian.

Baca Juga: Mengaku Pernah Dirasuki Nyi Roro Kidul, Pedangdut Ini Kini Miliki Kebiasaan Melakukan Ritual Ini Setiap Malam Jumat

"Saya mendapatkan informasi terlambat, kedua orangtua mereka sudah mendapatkan informasi seminggu sebelumnya. Langsung dari Bali. Sementara saya baru tahu 5 Maret (2010) ketika didatangi pihak sekolah. Padahal Pak Joko (ayah Ginanjar) tahu kapal hilang kontak setelah disurati langsung oleh pihak perusahaan," ucapnya.

Dia menduga karena anaknya belum memiliki KTP, maka dibuatkan oleh calo yang bernama Mugiri.

Denny berangkat ke Pulau Dewata dengan KTP sementara, karena usianya waktu itu masih 16 tahun.

Di kemudian hari, dia baru mengetahui ternyata di Bali, anaknya tidak PKL, namun dipekerjakan sebagai anak buah kapal (ABK).

"Saya baru tahu ternyata KTP anak saya dipalsukan supaya bisa bekerja di kapal. Pelakunya Mugiri. Dia sudah divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Bantul," ucapnya.

Sepuluh tahun berlalu tanpa ada kejelasan nasib Denny, Lucia pun pasrah. Namun Lucia punya firasat bahwa Denny masih hidup dan akan pulang.

"Sebagai seorang ibu, saya percaya dia masih hidup tapi entah di mana. Saya berharap Denny mengetuk pintu rumah," katanya.

"Feeling saya belum (meninggal) belum pernah bertemu lewat mimpi. Hatiku juga masih tenang dan tidak deg-degan. Kapan waktu Denny akan pulang. Saya masih mengharapkan pulang, ada mukjizat Tuhan. Setiap sembahyang saya selalu mendoakan," ujarnya.

Ingatan tentang anaknya masih sering muncul dibenaknya ketika melihat gedung sekolah.

"Saya ke sekolah sampai bosen, saya dulu sering ke sekolahan. Saya gak nuntut Denny pulang hidup, seandainya sudah meninggal pun saya terima. Tetapi ada kejelasan bagaimana nasibnya," ucapnya.

Baca Juga: Gara-gara Penemuan Besi Berkarat Ini, 15.000 Orang di Jerman Harus Dievakuasi, Rupanya Sebegini Bahayanya Benda Itu

Hingga kini Lucia tidak mengetahui sampai di mana pencariannya ataupun perkembangan kasusnya. Sebab, ia sudah tidak pernah berkomunikasi dengan kedua orangtua yang lain.

Termasuk dengan Riswanto yang mengaku mewakili Martini dan Joko untuk kembali menuntut keadilan.

Sementara Martini mengatakan bahwa dia terakhir bertemu Riswanto pada 2011 lalu dan setelah itu tidak pernah berkomunikasi lagi.

"Saya ketemunya 2011 habis di pengadilan dengan Pak Riswanto. Nggak pernah kordinasi (Riswanto). Tidak ada komunikasi. Karena HP juga saya rusak, terus hilang kontak. Pak Riswanto juga pergi toh. Kalau sama Pak Joko masih sering mampir. Kalau dengan pak Tiswanto ketemu terakhir di pengadilan," katanya.

Berharap tidak ada kasus serupa

Joko Priyono, orangtua Ginanjar Nugroho Atmaji saat ditemui di rumahnya Daleman, RT 2, Gadingharjo, Sanden, Bantul, mengaku sudah mengikhlaskan anaknya.

Dirinya dan Riswanto pada awal kasus hilangnya sempat ikut mendatangi perusahaan di Bali. Waktu itu diantarkan oleh pihak kepolisian. Kedatangan Joko dan Riswanto diterima oleh Ketut Widarba, bagian personalia.

Saat itu ternyata diketahui anak mereka diterima sebagai pekerja, bukan sebagai PKL yang selama ini dikatakan oleh pihak sekolah.

Dia dan orangtua lainnya juga mengaku sudah menerima santunan dari perusahaan tempat anaknya magang sebesar Rp 25 juta.

Saat bertemu perwakilan perusahaan, pihak perusahaan juga tidak mengetahui bahwa ketiga korban itu merupakan pelajar. Mereka mengetahui ketiganya memang pencari pekerjaan.

"Ternyata anak saya di sana dipekerjakan sebagai ABK. Pelakunya Mugiri, sudah ditangkap dan divonis bersalah," ucapnya.

"Perusahaan sudah mengerahkan kapal untuk mencari KM Jimmy Wijaya. Namun tidak ketemu. Mugiri yang memalsukan dokumen juga sudah divonis bersalah. Kasus ini sudah lama. Saya anggap ini sebagai musibah. Saya sudah menerima," ucapnya.

Joko tidak banyak menuntut karena berbagai pertimbangan, dan pelaku pemalsuan identitas pun sudah dihukum. Hanya saja dia berharap, tidak ada lagi kasus serupa di Indonesia.

"Yang terpenting tidak ada lagi kasus serupa, dan sekolah (SMK N 1 Sanden) sudah berubah," ucapnya.

Sementara itu Samsiah, ibu Ginanjar mengatakan, sebelum hilang, ia sempat berkomunikasi dengan anaknya. Terakhir, anaknya mengabarkan sedang berada di laut sekitaran Merauke. Ginanjar sempat minta dikirim pulsa. Samsiah yakin anaknya masih hidup.

"Saya yakin masih hidup," katanya.

Baca Juga: Sejarah Misterius dan Rahasia Gelap Area 51, Ruang Tersegel yang Penuh Konspirasi Tentang Alien dan UFO

Tanggapan SMK N 1 Sanden

Kepala SMK N 1 Sanden Slamet Raharjo mengatakan bahwa ia menjabat kepala sekolah setelah kasus itu selesai pada tahun 2012 lalu.

Ia mengaku kurang begitu paham mengenai kasus tersebut, tetapi sepengetahuannya kasus tersebut sudah selesai dan sudah ada yang divonis bersalah.

"Itu sudah selesai di tingkat pengadilan. Ya, saat itu perusahaannya ada sanksi hukum, terus keluarga dari anak-anak sudah mendapatkan kompensasi, itu yang saya tahu," katanya.

Menurut Slamet, kepala sekolah sebelumnya yaitu Akhmad Fuadi, sudah pindah ke SMK N 1 Pandak.

Upaya pencarian, sepengetahuan dirinya juga dilakukan mulai dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hingga Bakamla.

Namun memang para siswa SMK itu belum bisa ditemukan. Kasus itu pun menjadi bahan evaluasi dan jangan sampai terulang.

Slamet sendiri mengaku tidak berkomunikasi lagi dengan keluarga korban. Karena setelah menjabat kepala sekolah, urusan tersebut telah terselesaikan.

"Prosesnya sudah selesai, walaupun secara kemanusiaan terus memantau, hilang itu bisa ketemu. Sampai saat ini belum ketemu," ucapnya.

Disinggung apakah masih berkomunikasi dengan perusahaan di Benoa, Bali, Slamet mengaku tidak ada sejak dirinya menjabat.

Saat ini anak-anak SMK N 1 Sanden melakukan PKL di Juwana, Jawa Tengah. Pihaknya bekerja sama dengan salah satu perusahaan kapal ikan.

Sekarang itu, anak didiknya sebelum magang ke kapal ikan sudah dibekali standar keamanan internasional. Setelah lulus baru bisa mengikuti praktik laut.

"Itu saya tidak paham (soal calo). Belajar dari itu saya berhati-hati MoU dengan perusahaan yang kapalnya jelas. Setiap anak mau berangkat, kapalnya apa, perusahaannya apa, jelas tidak boleh pindah-pindah. Perusahaan kapal kita yang utama satu tapi satu itu punya banyak kapal. Dia kebetulan lulusan STP, pelaut juga, ia punya 16 kapal PT Putra Riau (namanya)," ucapnya.

Baca Juga: Pria Ini Dipenjara Karena Anjing Pelacak Mengira Ia Selundupkan Sabu, 82 Hari Kemudian Baru Diketahui Apa yang Sebenarnya Dia Bawa

(Kontributor Yogyakarta, Markus Yuwono)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Dikira Magang, 3 Siswa SMK Dijual Calo ke Perusahaan Kapal hingga Hilang 9 Tahun"