Find Us On Social Media :

Kisah Kusni Kasdut, Seorang Pejuang yang Jadi Perampok, Akan Difilmkan

By Trisna Wulandari, Senin, 17 Juni 2019 | 12:15 WIB

 

Intisari-Online.com - Setelah sembilan tahun menunggu, Tio Pakusadewo akhirnya akan merealisasikan rencananya menfilmkan kisah Kusni Kasdut

Anak-anak generasi Z mungkin tak familiar dengan nama di atas. 

Namun Kusni Kasdut menjadi pemberitaan besar pada era 50-60an karena menjadi pelaku pembobolan Ruang Pustaka Museum Nasional yang menyimpan berlian.

Terlebih, Kusni dahulu juga berjuang saat Indonesia menuju kemerdekaan. 

Baca Juga: Jessica Iskandar Resmi Bertunangan Dengan Richard Kyle: Ini Lho 5 Kelebihan Menikahi Seorang Janda

Perampokan

Sebuah mobil jip yang usianya sudah cukup tua, memasuki halaman Museum Nasional atau kala itu dikenal sebagai Museum Pusat.

Jip dengan plat nomor kendaraan Surakarta itu kemudian mengambil parkir di sisi selatan museum.

Empat orang berseragam polisi turun dari kendaraan dan langsung menuju ke area loket penjualan karcis.

Pagi itu, Jumat, 30 Mei 1963, cuaca cukup cerah.

Para pengunjung dari museum yang berada di jantung Ibukota itu, tampak mulai berdatangan.

Keempat polisi itu pun ikut bergabung bersama pengunjung untuk mengantre di depan loket karcis.

“Selamat pagi, Pak,” sapa penjaga loket dengan nada hormat kepada para polisi yang menampilkan wajah dingin.

Sebenarnya penjaga loket sedikit heran.

Tumben, polisi-polisi ini pagi-pagi sekali sudah tertarik berkunjung ke museum. Namun ia tidak tertarik untuk menyelidik lebih jauh. Ah, biarlah, batinnya. 

Di dalam museum, keempat polisi itu segera melangkah ke ruangan di sayap utara.

Sempat beberapa saat mereka mengagumi berbagai model rumah rakyat Nusantara yang terpajang di sana.

Tapi itu tak lama.

Ketika dirasa tidak ada lagi penjaga yang memperhatikan, dengan tenang mereka keluar dan naik ke lantai atas.

Di lantai 2, Budi dan Sumali segera menguasai situasi dengan mengajak bicara seorang petugas jaga. Mereka banyak bertanya agar petugas menjadi sibuk.

Sementara dua yang lain, Kusni dan Herman, langsung menyelinap masuk ke ruangan yang jadi sasaran, yakni Ruang Pusaka. 

Betapa kaget dua orang itu karena ternyata ada dua penjaga yang bertugas di dalam Ruang Pusaka.

Merasa kepalang tanggung, beserta sedikit kepanikan, saat berhadap-hadapan Kusni mencabut pistol dan menodongkannya.

“Tutup mulut! Kalau tidak ...”, Kusni mendorong dua orang itu dan menyerahkannya kepada Herman.

Baca Juga: Inggris Kembalikan 8 Barang Antik yang Dicuri dari Museum saat Invasi Irak

 Kini giliran dua petugas museum itu yang terkejut.

Aneh sekali, polisi-polisi ini pakai acara ancam mengancam segala, batin mereka. Tak ada pilihan, mereka akhirnya menurut. 

Tak ingin menyia-nyiakan waktu, Kusni segera mendekati lemari pajangan emas dan berlian.

Dengan obengnya yang paling besar, daun pintu lemari pajangan itu dicongkel. Tak sulit. Cukup ditekan kanan kiri beberapa kali, lemari sudah terbuka.

Saat itulah kedua petugas penjaga baru menyadari, mereka berhadapan dengan perampok.

Keduanya ingin berteriak, tapi Herman segera mengancam. Sebuah situasi di luar dugaan yang membuat Kusni semakin terburu-buru untuk meraup beberapa bongkah berlian.

Tak peduli soal bentuk dan ukurannya. Semua yang ada, dimasukkan ke dalam kantung kaus kaki bekas. Tak sampai dua menit, Kusni bergegas keluar ruangan.

Di pintu, ia sempat memberi kode kepada Budi dan Sumali agar segera mengikutinya.

Tadinya kedua orang ini berpura-pura bersikap seperti penjaga yang  menahan para pengunjung agar tidak masuk.

Baca Juga: Pelaku Perampokan Justru Diundang ke Pemakaman oleh Anak Korban, Apa yang Diinginkan Sang Anak?

Kusni lebih dulu sampai ke mobil dan langsung menghidupkan mesin mobil.

Akan tetapi hampir bersamaan itu pula terdengar seperti jeritan seorang pria dari lantai atas.

Semoga hanya penjaga, pintanya dalam hati. Dia jadi sedikit panik.

Maka begitu Herman, Budi, dan Sumali muncul, mobil langsung tancap gas.

Jip bergerak ke arah utara. Ketika sampai di simpang belakang Istana Merdeka, langsung ambil kanan ke arah Jalan Veteran, terus ke Jalan Perwira, kemudian arah Jalan Siliwangi.

Di sanalah mereka berhenti di pinggir jalan yang cukup sepi.

Kini keempat penjahat itu baru bisa menarik napas. Satu per satu diatur, hingga dirasa semakin tenang.

“Teriakan apa yang tadi?” nada suara Kusni terdengar gusar.

“Kedua penjaga itu.”

“Diapakan?”

“Ini!” sahut Herman. Ditunjukkannya belati yang masih belepotan bekas darah.

“Habis bagaimana lagi?” Herman langsung membela diri. “Mereka mau lari.”

Semua terdiam.

Sesuai rencana yang telah disepakati, empat orang itu segera meninggalkan jip di pinggir jalan.

Selanjutnya pelarian menggunakan dua becak, masing-masing memuat dua orang.

Selama perjalanan Kusni sama sekali tidak berbicara. Di tengah jalan, tangannya terlihat agak bergetar ketika membuka kaus kaki di tangannya.

Sekilas, tampaklah benda-benda berkilauan di dalamnya. Entah, berapa nilainya. Untuk menaksirnya saja, ia tidak berani.

Baca Juga: Pria Cabuli Adik Iparnya yang Masih SMP: Awas, Korban Pencabulan di Bawah Umur Berisiko Tinggi Kena Kanker Serviks

Pasukan dari dunia hitam 

Jati diri Kusni mulai terukir tatkala ia bersama empat temannya sesama pelajar Sekolah Menengah Tehnik Malang, diterima sebagai Heiho.

Pasukan bentukan Tentara Pendudukan Jepang itu sengaja dipersiapkan untuk menghadapi ancaman pasukan Sekutu yang mulai mendekat ke Asia Tenggara.

 Kusni tergabung di Batalyon Matsumura, sebuah nama pemberian Jepang untuk lapangan terbang di Timur Laut Malang.

Menjadi tentara Heiho, membuat Kusni merasa punya arti hidup. Gajinya yang sejumlah Rp35, sudah terasa besar.

Sehari-hari ia bisa leluasa merokok dan jajan sesuka hatinya. Ketika pulang ke rumah ibunya, ia bisa membeli sekadar oleh-oleh.

Sayangnya, kebanggaan Kusni itu tidak lama. Begitu Jepang kalah perang, Agustus 1945, Heiho dibubarkan.

Bagai anak ayam kehilangan induk, Kusni berkali-kali mencoba bergabung dengan pasukan resmi Badan Keamanan Rakyat (cikal bakal TNI) maupun milisi-milisi yang ada kala itu.

Akan tetapi, sekadar untuk mendapat tempat bernaung saja, ternyata tidak mudah.

Jalan hiduplah yang membuat Kusni akhirnya mendapat tempat di Brigade Teratai.

Baca Juga: Tangguh dan Tetap Bungkam Meski Disiksa Lawan, Seperti Ini Latihan Khusus Pasukan Baret Merah

Pasukan laskar rakyat bentukan Jenderal Moestopo ini dikenal juga Pasukan Setan.

Disebut begitu, lantaran pasukan ini merekrut berbagai elemen rakyat kala itu, terutama mereka yang berasal dari dunia hitam.

Jadilah Kusni bergaul dengan copet, bandit, perampok, pelacur, dan lain-lain.

Jenderal Moestopo sengaja mengorganisir para kriminal itu dan menggunakannya sebagai pasukan tempur rahasia yang ternyata sangat efektif.

Tugasnya antara lain menyusup ke wilayah musuh atau  mengumpulkan berbagai barang berharga untuk kepentingan perjuangan.

Salah satu misi yang pernah dijalani Kusni misalnya menyita seluruh perhiasan dari pengusaha keturunan Tionghoa di daerah Gorang Gareng, Madiun.

Dari sana memboyong tiga stoples emas dan berlian. Ketika itu Kusni sama sekali tidak tergiur untuk memiliki barang-barang berharga itu.

Semua diserahkannya penuh untuk perjuangan.

Baca Juga: Kebrutalan Armor Samurai Ini Menjadikan Mereka Pejuang Sengit yang Sopan

Divonis mati  

Salah satu momen bersejarah sesudah adanya Pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda pada 1950, adalah reorganisasi dalam tubuh angkatan bersenjata Republik Indonesia (saat itu bernama Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat - APRIS).

APRIS melakukan demobilisasi atau penyeleksian tentara untuk dapat bergabung di dalam strukturnya.

Sebuah kenyataan pahit, ketika para laskar rakyat yang turut andil dalam perjuangan kemerdekaan, ternyata ditolak dalam seleksi.

Kusni salah satunya.

Di luar ketentaraan pun, nasib Kusni juga setali tiga uang, lantaran tak kunjung mendapat pekerjaan.

Padahal rasa tanggung jawabnya terhadap istrinya, Lilik Sumarahayu, yang telah memberinya dua putra, tak bisa ditepis begitu saja.

Di tengah rasa frustrasinya, di Surabaya Kusni bertemu dengan beberapa teman semasa perjuangan.

Persamaan nasiblah yang kemudian membuat mereka nekat melakukan aksi kejahatan penculikan seorang dokter.

Aksi berlangsung mulus, dengan nilai tebusan Rp600 ribu.  

Sayangnya tidak ada catatan soal aksi kejahatan lain dari kelompok ini.

Baru pada 1954, mereka terdengar beraksi di Ibukota. Sasarannya Ali Badjened, saudagar kaya pemilik usaha Marba.

Tak kurang dari sebulan Kusni bersama Usman, Hasan, dan Subagyo mencari informasi mengenai pengusaha keturunan Timur Tengah itu.

Sampai mereka hapal betul kebiasaan-kebiasaannya.

Penculikan rencananya akan dilakukan saat Ali mengunjungi rumah sahabatnya, Awab, di depan Pasar Boplo.

Namun ternyata, aksi itu tidak berlangsung mulus.

Baca Juga: Perampokan di Daan Mogot: Jangan Melawan, Hal Terpenting untuk Selamatkan Nyawa saat Dirampok

Ali berhasil dicegat.

Tapi saat Kusni menodongkan pistol dari belakang, korban ternyata melawan.

Pistol meletus dan tepat mengenai jantung Ali.

Korban meninggal seketika.

Selama beberapa hari, kelompok ini sempat bersembunyi untuk menunggu perkembangan.

Tapi rupanya kematian Ali dikait-kaitkan dengan iklim politik saat itu, sehingga pemerintah mengerahkan seluruh sumber daya.

Polisi sampai harus mengerahkan Geng Kobra, pimpinan Syafei, geng preman yang paling ditakuti di Jakarta kala itu.

Kusni akhirnya tertangkap di Surabaya dan dijatuhi hukuman mati. 

Kusni tetap tenang mendengar vonis itu, bahkan kemudian mengajukan banding.

Karena hakim memperhitungkan jasa-jasanya selama masa revolusi, hukuman akhirnya dijadikan seumur hidup.

Di penjara Cipinang, Kusni termasuk napi yang disegani.

Ia dianggap memiliki ajian belut yang ahli meloloskan diri. Bisa jadi ajian itu bukan isapan jempol.

Pada tahun kelima di penjara, ia berhasil lolos dengan cara menggergaji teralis penjara.

Dalam pelariannya, Kusni tetap berusaha untuk mencari pekerjaan, terutama terkait dengan keahliannya berperang.

Ia bahkan sempat masuk ke dalam Tenaga Bantuan Operasional (TBO) untuk TNI di bawah pimpinan Letnan Kolonel Maladi yang sedang menumpas berbagai pemberontakan di Sulawesi Utara.

Baca Juga: Kisruh Masjid Al Safar: Faktanya, Tak Semua Teori Konspirasi Gagal Dibuktikan, Kasus Inkubator Pemicu Perang Teluk Ini Buktinya

Di TBO, Kusni berseragam tentara, dipegangi pistol, tapi tidak berpangkat.

Beberapa operasi dilakukannya hingga ke pedalaman seperti Kiawa, Airmadidi, dan Tondano.

 Tapi karena sempat ada persoalan dengan komandan, ia pulang ke Jawa.

Sebenarnya Kusni berminat untuk ikut menjadi sukarelawan dalam pembebasan Irian Barat pada awal 1960-an.

Namun setelah tiba saat pendaftaran, ia baru tahu, sukarelawan dari sipil ternyata harus berangkat dengan biaya sendiri.

Pupus sudah harapannya untuk mengabdi kepada negaranya.

Di antara hari-hari galaunya, Kusni sempat menelusuri jalan-jalan di Ibukota.

Entah apa yang menuntunnya melangkah masuk ke sebuah museum, Museum Nasional.

Awalnya, benda-benda berusia ratusan tahun yang dipajang di tempat itu dilewatkannya begitu saja.

Baru saat masuk ke sebuah ruangan bernama Ruang Pusaka, ada semacam kegairahan tersendiri.

Di sana terdapat pedang, keris, cincin, bros, gelang, kalung yang semuanya mengandung emas, berlian, atau permata.

Sebuah rencana jahat melintas di pikirannya. 

Baca Juga: Beli Rumah Seharga Rp800 Juta dengan Uang Koin, Cara Pria Ini Membawa Uangnya Dijamin Bikin Perampok 'Tertipu'

Difilmkan

Tio Pakusadewo menemukan jejak keluarga Kusnia saat mampir ke Purbalingga.

Saat itu, ia baru saja selesai nyekar ke makam kakeknya.

Ia tengah jajan es dawet di pinggir jalan saat orang-orang di sana ngobrol bahwa di sanalah terletak kuburan Kusni Kasdut.

Dari situlah Tio, yang sudah bertahun-tahun tertahan mengangkat kisah Kusni karena kehilangan jejak keluarganya, mulai melacak kembali keberadaan mereka.

Untuk mewujudkan garapan ini, Tio menggandeng Aria Kusumadewa, sutradara “Identitas”.

Produksi film ini dikabarkan akan dimulai pada September. (T.Tjahjo Widyasmoro)

Artikel ini telah terbit di Majalah Intisari dengan Judul "Jalan Panjang Kusni Menuju Eksekusi"

Baca Juga: Hampir Dihukum Mati dan Dipaksa Buat Cetakan Lilin dari Kepala Manusia yang Dipancung, Ini Masa Lalu Madame Tussaud yang Kelam