Find Us On Social Media :

Kerusuhan 22 Mei: Mengapa Seseorang Mudah Terprovokasi saat Berada dalam Kerumunan?

By Tatik Ariyani, Kamis, 23 Mei 2019 | 14:00 WIB

Massa terlibat bentrok dengan petugas kepolisian di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (22/5/2019). Bentrokan antara polisi dan massa terjadi dari dini hari hingga pagi hari.

Intisari-Online.com - Kerusuhan yang terjadi 22 Mei 2019 seusai pengumuman akhir rekapitulasi penghitungan suara Pemilihan Presiden 2019 menyisakan banyak kerusakan dan sejumlah jalan di Jakarta tak bisa diakses.

Aksi demo 22 Mei lalu tersebut berakhir dengan kericuhan setelah beberapa orang diduga menjadi provokasi dalam aksi tersebut.

Kerusuhan yang melibatkan massa dengan polisi, akhirnya berhasil dihentikan setelah polisi setelah mendapatkan bantuan.

Salah satu kerusuhan terjadi di flyover Slipi Jakarta Barat Rabu (22/5).

Baca Juga: Temui Firaun Nitokris: Selubung Misteri Firaun Terakhir Dinasti Keenam Mesir

Dikutip dari Tribunnews, Polisi menyebut bahwa massa tersebut berasal dari luar daerah.

"Massa tersebut berasal dari luar daerah, Kami tegaskan bukan FPI, justry kami dibantu ulama FPI," Jelas Kombes Pol Hengki Riyadi.

Menurut keterangan, aksi kerusuhan dipicu dari aksi lempar batu di kawasan tersebut, terhadap aparat kepolisian yang sedang melakukan patroli.

"Jadi awalnya ada sekelompok massa melempari kendaraan patroli polisi, (ini) perta," kata Hengki didampingi panglima FPI, Jakarta Habib Muchsin.

Baca Juga: Karena Terlalu Cantik, Wanita Ini Sulit Mendapatkan Pekerjaan Meskipun Pintar, Kok Bisa?

Kemudian, aksi tersebut membuat polisi mendatangkan personil untuk mengamankan wilayah tersebut.

Namun, justru berakhir dengan bentrokan dan massa semakin menjadi-jadi bertindak anarkis.

Berkaca dari peristiwa tersebut, suatu peristiwa yang melibatkan orang banyak tidak selalu terjamin ketertibannya.

Contohnya, saat pelaku pencurian/kriminal diamuk massa ketika ketangkap basah menjalankan aksinya.

Baca Juga: Kisah Seorang Penjahat Perang Somalia yang Jadi Sopir Taksi Online Tanpa Ketahuan Selama 18 Bulan

Atau aksi demonstrasi yang menimbulkan kerusuhan besar sehingga kerumunan itu sibuk main hakim sendiri.

Pertanyaannya, apa yang memicu tindakan tersebut? Adakah penjelasan rasionalnya?

Saat peristiwa kerusuhan dan penjarahan terjadi di London tahun 2011, David Cameron menyebut menggambarkan tindakan massa itu sebagai keegoisan dan kecerobohan yang sebenarnya tidak ada artinya.

Sebab akhirnya orang-orang berpikir dan bertindak tanpa akal. Kerusuhan adalah kejadian yang paling tidak diinginkan dari kerumunan massa.

Baca Juga: Tak Ingin Rumahnya Jatuh ke Tangan Mantan Istri, Pria Ini Nekat Ledakkan Rumahnya Sendiri dengan Gas

Tindakan irasional dalam kerumunan massa sering disebut dengan “mob” dan “copycat riots”.

Mob dan copycat riots merupakan kasus di mana orang hanya meniru apa yang mereka lihat tanpa berpikir.

Teori psikologi yang mendukung adalah pada kerumunan orang tidak bertindak rasional berdasar pikirannya sendiri.

Sehingga tindakan mereka dipengaruhi oleh identitas sosial, pemahaman kolektif, norma, dan nilai kerumunan itu. Kericuhan/kerusuhan dalam kerumunan umumnya terjadi ketika kelompok merasa bahwa konfrontasi merupakan satu-satunya cara untuk mengubah situasi.

Baca Juga: Di Tengah Kerusuhan 22 Mei, Polisi Ini Video Call dengan Istri untuk Melepas Rindu

Dalam psikologi massa (kerumunan) tindakan irasional dapat dijelaskan. Inilah jawaban mengapa orang mudah terprovokasi dan ricuh dalam kerumunan:

1. Anggota kerumunan cenderung tidak jadi diri sendiri

Perilaku massa dalam kerumuhan (khususnya aksi kerusuhan) biasanya tidak terduga dan terjadi spontan.

Teori ini menyatakan bahwa dalam satu kelompok orang terpengaruh dan tanpa sadar melakukan hal yang berlawanan dengan norma pribadi. Di sini, emosi pemimpin kelompok yang menguasai. Orang banyak meniru tanpa berpikir.

Baca Juga: Jika Ada Riwayat Keluarga dengan Penyakit Jantung, Lakukan Gaya Hidup Berikut!

2. Kerumunan mengutamakan solidaritas

Sebetulnya tindakan massa yang memicu kerusuhan belum tentu perilaku yang membabi buta.

Ada juga yang masih memikirkan nilai dan norma pribadinya sendiri. Namun atas dasar solidaritas, mereka berpikir bahwa masalah yang mereka serukan itu adalah masalah banyak orang.

Sehingga, mereka menuntut agar persoalan itu tidak diabaikan, namun diselesaikan.

3. Dipandang negatif oleh orang lain di luar kerumunan

Dalam kerumunan, orang-orang bertindak berdasarkan satu pemahaman kelompok.

Tapi sayangnya, tidak semua orang menerima pemahaman yang sama mengenai sebuah aksi itu. Istilahnya, ada perbedaan interpretasi.

Baca Juga: Tertua di Permukaan Bumi, Jamur yang Ditemukan Ilmuwan Ini Berumur Satu Miliar Tahun

Misalnya unjuk rasa damai dinilai oleh pihak kepolisian (pihak lain) berpotensi mengganggu masyarakat.

Penilaian itu justru dapat menyulut emosi massa. Apalagi polisi berhak untuk menghentikan aktivitas demo dengan segala cara.

Nah, kadang-kadang peserta demo berpikir bahwa hal ini adalah bentuk penindasan, sehingga mereka bereaksi dengan lebih keras.

Namun sayangnya, akibat perbedaan interpretasi tadi, pesan yang dikomunikasikan bisa ditanggapi berbeda, dan inilah yang memicu kerusuhan.

Ada orang yang tetap pada tuntutan, namun ada pula yang melakukan penentangan dengan penjarahan bahkan kekerasan lainnya.

(