Kisah GKR Hemas: Pernah Beli Narkotika untuk Teman Hingga Pernah Kabur karena Takut Menikah dengan Calon Raja

Ade Sulaeman

Penulis

Berikut ini kisah masa remaja dan sebelum menikah dari GKR Hemas yang dipersunting oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Intisari-Online.com –Sosok permaisuri Sultan Yogyakarta, GKR Hemas menjadi perbincangan setelah dirinya diberhentikan sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah RI karena 12 kali tak hadiri sidang paripurna.

Siapa sesungguhnya Ratu Keraton Yogyakarta ini?Tabloid NOVAedisi Mei 1993, dengan judul asliGusti Kanjeng Ratu Hemas (2): Sepatu Hak Tinggi untuk Berkelahi,mengungkapkannya secara bersambung, sejak masa kecilnya hingga sekarang.

Ratu Hemas memang tidak pernah mau merasakan narkotika. Yang dilakukannya cuma membeli untuk anggota geng.

Kemudian ia kabur ke Jerman, karena pikirannya sangat galau. Ia takut dinikahkan dengan pangeran dari Keraton Yogyakarta itu.

Kini semuanya telah lewat dan menjadi pelajaran berharga untuknya. Itu sebabnya ia merasa perlu memanggil pacar anaknya.

Dua orang anggota geng Geradak adalah pencandu narkotika. Saya bahkan pemah pergi ke sebuah lorong di Jalan Sabang, Jakarta Pusat, tempat para pedagang obat bius bercokol.

Baca Juga : Permaisurinya Diberhentikan Sementara dari DPD RI karena 12 Kali 'Bolos' Sidang Paripurna, Ini Tanggapan Sri Sultan

Saya membeli narkotika untuk kedua teman itu.

Seumur saya waktu itu, di mana kampanye kejahatan narkotika tak segencar sekarang, hanya perasaanlah yang berbisik kepada saya bahwa narkotika adalah barang jahat yang merusak jasmani dan rohani.

Saya hanya bisa mengira-ira akibatnya kalau kita terjerumus menjadi pencandu.

Saya melihat teman saya menyilet tubuhnya sendiri untuk memasukkan bubuk narkotika agar mengalir bersama darah. Atau mereka menelan pil-pil.

Baca Juga : Air Rebusan Pembalut Jadi Pengganti Narkotika, Dinas Kesehatan: Secara Nalar Jelas Menyimpang

Saya sangat ngeri melihatnya. Kemudian mereka menjadi seperti orang kehilangan kesadaran dan akal sehat. Dari situ saya bisa mencium betapa jahatnya narkotika.

Dan demi Tuhan saya belum pernah mencobanya, belum pernah merasakannya.

Paling yang saya lakukan ya itu tadi, membelikan untuk kedua teman tersebut. Setelah mereka teler, sering saya yang mengantar pulang.

Ketika orangtua mereka bertanya, saya terpaksa berbohong. Saya bilang mereka pusing, sakit, atau apalah. Dalam hati saya waktu itu hanya ada satu niat, yakni melindungi teman.

Ketika itu saya menafsirkan persahabatan adalah saling melindungi. Saya belum menyadari tindakan saya itu salah. Bahkan mungkin ikut mempercepat kematiannya.

Baca Juga : (Foto) 8 Potret Gaun Pernikahan Putri Kerajaan di Berbagai Belahan Dunia. Ada Putri Keraton Yogyakarta Juga Lho!

Buktinya, salah satu dari dua teman itu kemudian dikirim ke Belanda dan meninggal di sana.

Orangtuanya pasti tetap tidak tahu di negeri itu anaknya barangkali malah semakin gila-gilaan dengan narkotika hingga mengakibatkan kematiannya.

Mensyukuri masa lalu

Pengalaman dunia narkotika itu terjadi sewaktu saya masih SMA. Kami, anggota geng Geradak, kemudian berpisah begitu bangku SMA ditinggalkan.

Kehidupan saya mengalami suasana lain begitu menginjak dunia mahasiswa. Kegemaran saya kemudian antara lain pada olahraga terjun payung.

Baca Juga : HUT Bhayangkara ke-72: Jalan Sunyi Jenderal Hoegeng, Jalannya Para Pemberani

Saya ikut latihan pada awalnya diajak oleh anaknya Pak Hoegeng (Hoegeng Iman Santoso, mantan Kapolri, Red).

Demikianlah kisah masa kecil dan remaja saya. Tapi satu hal, sebadung-badungnya saya, belum pemah berurusan dengan polisi.

Dalam usia saya sekarang ini, dengan membandingkan lingkungan-lingkungan lain di luar lingkungan saya, saya berkesimpulan bahwa masa muda saya betul-betul bahagia, menyenangkan.

Saya layak bersyukur dikarunia masa seperti itu. Kini saya puas kalau mengenang masa lalu.

Baca Juga : Meski Jadi Putri Raja Keraton Yogykarta, GKR Hayu Enggan Dipanggil Gusti dan Lebih Nyaman Dipanggil 'Mbak'

Saya merasa cukup mengalami segala yang seharusnya dialami oleh anak kecil dan remaja. Ini membuat saya sekarang mampu memaklumi bila anak muda berbuat begini dan begitu.

Walaupun tidak sama persis dengan yang pernah saya lakukan dulu, tapi esensi yang dilakukan anak muda sekarang sama dengan yang saya lakukan dulu.

Betul, ini membuat saya mampu memahami kelakuan itu secara utuh. Dan membuat saya untuk tidak buru-buru memvonis tentang salah dan benar, tentang baik dan buruk.

Pacaran harus terbuka

Anak-anak saya sekarang seolah mati kutu kalau berhadapan dengan saya. Apa pun siasat mereka untuk mengelabui saya, selalu bisa saya antisipasi.

Baca Juga : Melalui Ramalan Jayabaya, Sultan Hamengku Buwono IX Sudah Memprediksi Datangnya Kemerdekaan RI

Lha wong saya dulu juga melakukan itu. Tentang pacaran misalnya, supaya bisa keluar rumah. biasanya si anak pamit kepada orangtuanya untuk belajar ke rumah teman. Orangtua tentu saja senang dan pasti mengizinkan.

Tapi begitu keluar rumah, ya si anak bablas cari senang sendiri yang tak ada hubungannya dengan belajar. Ah, akal-akalan seperti itu saya paham betul.

Pokoknya saya kenyang dengan siasat yang aneh-aneh. Apalagi mencari-cari dalih untuk bisa pacaran di luar rumah.

Almarhum Eyang saya di Yogya paling sering saya kerjain. Beliau sangat mudah diperdayai. Tapi mungkin juga sesungguhnya beliau tahu.

Baca Juga : ‘Gagalnya’ Sri Sultan Hamengku Buwono IX Jadi Sultan Yogyakarta Pertama yang Pergi Naik Haji

Namun karena begitu sayang kepada saya, beliau mengiyakan saja, sejauh yakin apa yang saya lakukan masih dalam batas kewajaran.

Nah, pengalaman masa remaja itu di kemudian waktu menjadi bekal yang amat bermanfaat bagi saya untuk mendidik dan menjaga anak-anak saya yang telah menginjak usia remaja.

Putri saya yang sulung, ketika itu ia masih kelas 1 SMA, pacaran dengan mahasiswa. Oke, bagi saya ini bukan problem. Tapi saya tidak mau mereka pacaran gelap-gelapan.

Saya dan Mas Herjuno harus tahu siapa cowoknya itu. Maka saya panggil anak saya dan minta kepadanya supaya pacarnya itu dibawa ke rumah dan diperkenalkan kepada saya dan Mas Herjuno.

Baca Juga : Sri Sultan Hamengkubuwana X Bagai Pinang Dibelah Dua dengan Sang Ayah tapi Lebih Lugu dan Antipoligami

Ketika si cowok itu datang, kami berkenalan, dan sesudah itu semuanya akrab, karena apa pun yang terbuka biasanya akan melahirkan keakraban yang sehat.

Bagi saya ini prinsip, pacaran tidak boleh sembunyi-sembunyi. Orangtua harus tahu dan berkenalan cukup mendalam dengan si pacar.

Inilah langkah pertama untuk menghindari atau mencegah akibat-akibat yang tidak diinginkan.

Sekaligus merupakan langkah awal untuk membina pergaulan remaja yang baik. Kalau ini terbentuk, si anak akan terbiasa dengan norma seperti itu. Seterusnya, ia diharapkan selalu bisa berjalan di rel yang benar.

Baca Juga : Lewat Ramalan Jayabaya, Sultan Hamengku Buwono IX Sudah Memprediksi Datangnya Kemerdekaan RI

Apakah saya mampu?

Saya tertarik kepada Mas Herjuno bukan karena ia berdarah sangat ningrat, putra raja. Sebagai anak Jakarta, saya tak terpikat pada status darah biru.

Bagi saya, calon suami pertama-tama diukur dari respon cinta kedua belah pihak dan dari kemampuannya apakah ia mampu menghidupi wanita yang diperistrinya.

Untuk itu ia harus bekerja, selayaknya suami yang bertanggung jawab. Juga harus punya tujuan hidup.

Karena saya memperoleh pendidikan di Jakarta, lingkungan urban yang sama sekali tak akrab dengan kehidupan ningrat, saya pun tak paham apa arti ningrat dalam kehidupan ini. Status Mas Herjuno tak penting untuk saya.

Baca Juga : Meskipun Beda Keraton, Hubungan Ki Hajar Dewantara dan Sultan Hamengkubuwana IX Ternyata Sangat Akrab

Sebab itulah saya tak pernah berpikir atau menganalisis suatu saat Mas Herjuno akan terpilih menjadi sultan menggantikan ayahandanya.

Segala prinsip saya mengenai seorang calon suami, ternyata ada pada diri Mas Herjuno. Tapi mendadak saya cemas pada diri sendiri. Apakah nantinya saya mampu jadi istri yang baik?

Apakah Mas Herjuno dan pihak Keraton bisa menerima saya secara apa adanya? Apakah saya, dengan latar belakang budaya Jakarta, bisa beradaptasi dengan budaya Keraton?

Apakah saya bisa berubah menjadi pribadi yang bertingkah-laku halus selayaknya putri-putri Keraton?

Baca Juga : Gusti Nurul Meninggal Dunia: Soekarno, Sultan Hamengkubuwono IX, hingga Sutan Sjahrir Berlomba Dapatkan Cintanya

Maka, dengan terus terang saya ajukan kepada Mas Herjuno seluruh kondisi saya dan kecemasan saya tersebut.

Ia hanya menjawab, "Yang penting saya senang sama kamu. Dan kamu harus bersedia patuh pada saya."

Lantas Mas Herjuno menekankan kewajiban-kewajibannya, baik sebagai pribadi maupun fungsinya dalam keluarga besar Keraton. Dan ia juga menggarisbawahi keharusan saya beradaptasi dengan budaya Keraton.

Kabur ke Jerman

Apakah saya mampu? Kesangsian itu terus melanda saya. Begitu hebatnya keragu-raguanitu, hingga saya sempat kabur ke Jerman, menjumpai kakak di sana.

Baca Juga : Sultan Hamengku Buwono IX Telah Meramalkan Peristiwa G30S Setelah 'Berkomunikasi' dengan Nyi Roro Kidul

Saya utarakan segala kecemasan kepadanya. Bahkan saya sempat berkata tidak bersedia menikah dengan Mas Herjuno. Saya takut! Saya kehilangan kepercayaan diri!

Sekitar tiga bulan saya berada di Jerman. Bahkan ada niatan untuk sekolah di Eropa. Tapi toh saya memutuskan pulang ke Indonesia. Ada dorongan hati untuk melanjutkan kuliah di Universitas Trisakti.

Tapi, sesungguhnya, penyebab utama saya balik ke Indonesia adalah telepon dari Jakarta yang meminta saya selekasnya pulang. Saya akan dinikahkan.

Orangtua saya, terutama Ibu, sampai menangis dan dengan keras mengimbau agar saya bersedia dinikahkan.

Baca Juga : Sri Sultan Hamengku Buwana IX Enggan Merayakan Pengangkatannya

Beliau memohon agar saya menuruti permintaannya. Katanya, "Kamu anak perempuan satu-satunya. Kepada siapa lagi kamu bersedia menurut kalau tidak kepada orangtuamu sendiri."

Ibu juga berusaha meyakinkan bahwa segalanya akan beres dan masa depan yang baik bila saya menikah dengan Mas Herjuno.

Desakan Ibu inilah yang mencairkan ketakutan saya. Maka saya pulang ke Indonesia dengan perasaan lebih enteng.

Saya melanjutkan kuliah. Tapi hanya setahun. Karena, akhirnya tibalah hari itu. Kemudian saya pikir, ah, kalau namanya jodoh, lari ke mana pun akan tertangkap juga.

Baca Juga : Sri Sultan Hamengku Buwana IX Enggan Merayakan Pengangkatannya

Menyesali pernikahan

Tanggal 18 Mei 1973, kami dinikahkan di Keraton Yogyakarta. Setelah itu kuliah tidak saya lanjutkan lagi. Bersama kami dinikahkan pula tiga kakak perempuan Mas Herjuno.

Ketika itu usia saya 20. Sedangkan Mas Herjuno 25. Terus terang saya menyesal. Saya merasa masih terlalu muda untuk menikah.

Sejak saat itulah saya meninggalkan Jakarta, ikut suami ke Yogyakarta. Kami tidak tinggal di dalam Keraton, melainkan di daerah Madukismo (kawasan pinggiran kota Yogyakarta, terkenal dengan pabrik gula di mana Keraton mempunyai banyak saham di situ, Red).

Kami menetap di sana 11 tahun, hingga akhir Februari 1989 kami pindah ke dalam Keraton.

Baca Juga : Nasihat Sri Sultan Hamengku Buwana IX kepada Adam Malik

Di Madukismo, boleh dikata kehidupan kami tak terlalu ketat dengan norma-norma Keraton.

Banyak tetangga kami yang anggota masyarakat biasa. Demikianlah saya dan anak-anak bergaul dengan lingkungan macam ini.

Selain itu kami sangat jarang bertandang ke Keraton. Paling hanya sekali-dua, itu pun kalau kebetulan Ngerso Dalem (Sultan Hamengku Buwono IX, Red) rawuh (datang. Red) dari Jakarta.

Masalah dengan norma Keraton baru timbul sejak kami pindah rumah dari Madukismo ke dalam Keraton.

Baca Juga : Sri Sultan Hamengku Buwana IX Mendapatkan 'Wisik' dalam Mimpi

Itu terjadi pada awal tahun 1989, sebulan sebelum Sultan Hamengku Buwono IX wafat. Ketika itu yang meminta kami pindah adalah almarhum sendiri.

Rupanya ini semacam petunjuk tersembunyi bahwa Mas Herjuno harus bersiap menggantikannya sebagai sultan bila beliau wafat.

Sejak tinggal di Keraton itulah saya dan anak-anak belajar mengikuti tata-cara yang berlaku. Tapi saya punya prinsip, kami tak boleh terbelenggu pada aturan dan tata krama Keraton.

Sebab kita hidup di alam maju yang modern. Maka, kalau memang tidak beralasan, kami lebih suka menjalankan kehidupan sesuai norma modern. (Sukrisna, Winarno)

Baca Juga : Apakah Sri Sultan Hamengku Buwana X Mendapatkan Wisik (Bisikan)?

Artikel Terkait