Penulis
Intisari-Online.com –Kabar mengejutkan datang dari pasangan Gisella Anastasia dan Gading Marten setelah muncul informasi bahwa Gisel menggugat cerai Gading.
Ya, kabar rencana perceraian ini cukup mengejutkan sebab pasangan yang dikenal cukup harmonis ini.
Namun, faktanya sebuah nomor perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (908/Pdt.G/2018/PN JKT/SEL) menjadi bukti bahwa Gisel menggugat cerai Gading.
Hal ini juga diakui oleh pihak PN Jakarta Selatan meski yang bersangkutan enggan memberikan informasi lebih dalam.
Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading, Ini 8 Alasan Istri Memilih Ceraikan Suaminya
Berita ini seolah menegaskan bahwa kinikata cerai tak keramat lagi. Di mana-mana makin terbiasa kita melihat orangtua tunggal, baik yang sukses maupun amburadul.
Pasutri pun makin gampang berteriak cerai saat bertengkar.
"Masyarakat memang sedang berubah. Mereka kini menganggap orang bercerai sebagai hal wajar," ulas Adriana, pengurus sekolah khusus anak autis Mandiga.
Longgarnya tata nilai itu, konon membuat para pasutri muda lebih berani mengambil keputusan.
Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading: Pasca Perceraian, 5 Artis Ini Dapat Hak Asuh Anak
"Mereka meniru pola pikir individualistis. Kalau enggak bahagia, cerai aja. Buat apa buang waktu," kisah Adriana.
Apalagi perempuan zaman sekarang, banyak yang secara finansial tak lagi tergantung pada suami.
Ditambah makin banyaknya kasus perselingkuhan (sejak dulu, menjadi sebab nomor satu terjadinya perceraian), kian kendornya penghayatan terhadap nilai-nilai agama, banyaknya perkawinan lintas agama dan lintas negara, rumah tangga bak batu pualam yang makin rawan pecah.
Angka perceraian pun meningkat, meski diyakini tak segila di Amerika Serikat (66,6% perkawinan berakhir dengan perceraian) atau di Inggris (50%).
Baca Juga : Mengapa Tagar Save Gempi Ramai? Karena Anak Memang Korban Terbesar Perceraian
Pada titik tertentu, menurut Adriana, perceraian mungkin menjadi jalan terbaik. "Kita juga harus peduli pada anak korban pertengkaran orangtua. Anak laki-laki yang sering melihat ibunya dianiaya, bisa meniru kelakuan sang bapak.
Atau sebaliknya balas memukul sang ayah. Begitu juga dengan anak perempuan, jika kelak mendapat suami agresif, dia akan cenderung menjadi korban kekerasan, seperti ibunya," ujar Adriana.
Mungkin saja hanya perceraian yang bisa menghentikan aksi kekerasan itu.
Ada juga suami atau istri yang menempuh jalan cerai agar kariernya lebih cemerlang. Terutama jika selama ini salah satu pihak menganggap pihak lainnya sebagai penghambat kemajuan atau terlalu mengekang kebebasan pasangan.
Baca Juga : Gisel Gugat Cerai Gading: Siapa yang Lebih Berhak Atas Hak Asuh Anak Setelah Perceraian di Mata Hukum?
"Namun, idealnya sih karier bisa menanjak lantaran dukungan emosional dari kedua belah pihak. Begitu juga dengan keberhasilan dalam mendidik anak. Kalau setelah cerai karier meningkat, selain karena nasib baik, bisa juga karena masalah yang selama ini membebani pikiran tak lagi muncul berlarut-larut, sehingga bisa kerja lebih lepas.
"Ibu-ibu umur 50-an tahun biasanya lebih sabar. Kebanyakan mereka rela berkorban, menunggu sampai anak-anaknya berumah tangga, baru memutuskan bercerai. Lain dengan pasangan muda, yang mementingkan timing, agar punya waktu untuk menikah lagi," sela Adriana.
Toh, kapan dan di mana pun bercerai, harus ada alasan yang kuat untuk melakukannya. Mintalah bantuan teman, pemuka agama, dan psikolog agar keputusan yang diambil benar-benar tepat.
Baru kemudian putuskan, mau cerai apa enggak! Jadi, enggak cuma mengandalkan suara tokek! Cerai…. enggak…. cerai… enggak ah! (Intisari Februari 2004)
Baca Juga : Cerai Boleh-boleh Saja, tapi Jangan Biarkan Anak Bak Layang-layang Oleng