Find Us On Social Media :

Di Tana Toraja, HOK Tanzil Temukan Hal yang Membuatnya Rela Berpeluh, karena Hanya Ada Satu di Dunia

By Ade Sulaeman, Jumat, 20 Oktober 2017 | 17:30 WIB

Intisari-Online.com - Inilah kisah perjalanan H.O.K. Tanzil ke Tana Toraja yang dia tulis di Intisari edisi Oktober 1978 dengan judul asli "Mengunjungi Tana Toraja". -- Ketika masih belajar di MULO, dalam salah sebuah buku Ilmu Bumi terdapat gambar kuburan Toraja di gua-gua batu yang "menyeramkan" bagi saya.

Saya belum pernah ke Sulawesi, tapi berniat suatu ketika untuk mengunjungi Tator (Tana Toraja).

(Baca juga: Kabar Duka: Manusia 161.000 Km HOK Tanzil Tutup Usia)

Tanggal 19 Juli 1978 saya disertai dengan istri menuju ke Ujung Pandang dengan DC-9 Garuda yang berangkat pukul 10.15 dari Kemayoran.

Penerbangan berlangsung selama 2 jam. Kami tiba di Lapangan Udara Hasanuddin pukul 12.15 WIB atau 13.15 WIT.

Jarak LU ke Ujung Pandang 25 km. Langsung kami dijamu di sebuah rumah makan yang menghidangkan makanan laut bakar khas Ujung Pandang. Nikmat sekali!

Di Ujung Pandang hampir sama panasnya dengan Jakarta, namun nyamuknya banyak dan ganas sekali di ruang terbuka.

Di ibu kota Sul-Sel ada beberapa obyek pariwisata, sesering lewat sana tanpa melihat-lihat ke dalamnya. Yang kami pentingkan hanya masakannya yang khas saja.

Pada hari ke-tiga, pukul 06.30 pagi kami dijemput bus.

Suatu keunikan dalam peraturan naik bis di Sul-Sel ini ialah bahwa karcis tempat duduk di bus terjual habis (dan tidak dijual lebih), namun jumlah penumpang kurang dari jumlah karcis.

Hal ini disebabkan karena ada penumpang yang membeli karcis untuk dua tempat duduk, tapi hanya ditempati oleh seorang saja agar tidak terlalu berdesak-desakan.

Dijamin tempat yang luang ini tidak akan diserobot orang.

(Baca juga: Sudah Berkelana ke 240 Negara, HOK Tanzil Mantap Pilih Negara Ini Sebagai yang ‘Paling Enak’)

(Baca juga: Kisah Perjalanan H.O.K Tanzil yang Semalaman Suntuk Tidak Bisa Tidur Pulas Saat di Liechtenstein)

Pukul 7.30 bis keluar Terminal menuju ke Utara. Jalan ramai sekali dengan kendaraan, manusia yang akan pergi ke tempat kerja dan anak-anak sekolah.

Sampai Maros (30 km) dan Pangkajene (51 km) lalulintas masih ramai. Setelah itu mulai berkurang.

Pukul 9.30-10.00 bus pertama kali berhenti di Barru (102 km) di depan sebuah rumah makan, untuk memberi kesempatan istirahat dan makan pagi.

Yang khas di rumah makan ini ialah ikan bandeng bakarnya yang sedap untuk sarapan.

Sepanjang perjalanan antara Ujung Pandang sampai Pare-Pare (155 km) tampak desa Bugis tidak putus-putusnya.

Rumah rakyat berbentuk khas yaitu berdiri dicagak-cagak kayu. Untuk masuk pintu orang perlu memanjat tangga di samping.

Terdapat 3 buah jendela menghadap depan.

Perbedaan rumah yang satu dengan yang lain hanya dalam warna dan kualitas bahan bangunan tersebut yang tergantung dari kemampuan pemiliknya.

(Baca juga: Bernostalgia dengan Keindahan Alam Cianjur Tahun 70-an Lewat Mata HOK Tanzil)

(Baca juga: Romeo dan Juliet ala Toraja yang Tak Terpisahkan Hingga di Alam Kematian)

Jumlah sedan yang ditemui dapat dihitung dengan jari. Kendaraan bermotor sebagian besar terdiri dari bus mini, bus dan jeep.

Nampaknya bis yang berjalan paling laju.

Di Pare-Pare bis kami berhenti di Terminal untuk kedua kalinya, namun tidak lama.

Dari kota pesisir ini kemudian kami menuju ke pedalaman, ke arah timur yaitu ke Sidrap.

Jalan mulai berliku-liku turun naik bukit. Daerah pegunungan memberi pemandangan seperti daerah lain di Indonesia.

Bermalam di Toraja dengan 500 Perak

Setelah Enrekang (236 km) ada 9 km jalanan yang rusak agak berat. Di Kotu (247 km) untuk ketiga dan terakhir kali bus berhenti waktu makan siang.

Yang terkenal disini "baje" semacam lemper dan buah-buahan (pepaya dan pisang).

Dari desa ini jalan yang agak sempit makin "ganas" liku-likunya. Jalan yang bersisi jurang ini tidak memakai batas pengaman.

Dapat dimengerti betapa bahayanya keadaan itu bila si pengemudi lengah.

Para pengemudi kendaraan bermotor di Sul-Sel umumnya berdisiplin baik dan toleran.

Bila akan saling melewati, bukan saja masing-masing mengurangi kecepatan, bahkan salah satu berhenti untuk memberi kesempatan lewat kepada yang lain, berhubung jalan agak sempit.

Sifat mengalah ini dapat dicontoh oleh para pengemudi di Jawa.

Daerah Tana Toraja dimasuki melewati sebuah pintu gerbang dengan tulisan "Selamat Datang".

Setelah melewati Makale (310 km) pukul 4 sore tibalah kami di Hotel Marlin, Rantepao (328 km) di mana kami bermalam.

Rantepao terletak pada ketinggian kira-kira 800m. Arus listriknya dibangkitkan dengan tenaga diesel dan dipasang hanya dari pukul 17.00- 24.00.

Esok paginya pukul 8 siaplah sebuah Jeep dengan pengemudi dan pemandunya. Kebetulan ada sepasang suami isteri Jerman yang ingin juga ikut tour.

Mereka setuju membagi ongkosnya dengan kami. Sudah tentu kami tidak keberatan.

Dari percakapan dengan turis Jerman itu diketahui bahwa mereka ke Indonesia hanya ingin mengunjungi Bali, Borobudur dan Tana Toraja.

Mereka hanya transit di Jakarta tanpa menginap. Menurut mereka, dikabarkan Jakarta kotor dan mahal.

Rantepao yang jalannya (bahkan di depan hotel) tak beraspal dan becek, dikatakan tempat terbersih, karena tak kelihatan sampah berserakan seperti di tempat lain yang mereka lihat di Indonesia.

Keliling di Tana Toraja kami berenam dalam sebuah jeep yang cukup baik, menuju desa Lemo sejauh 11 km sebelah selatan Rantepao, sekilometer dari jalan besar.

Memang, yang saya lihat di Lemo ini sesuai dengan gambaran yang membekas di benak saya sejak masih di MULO.

Di sebuah sisi gunung batu yang menjulang hampir tegak lurus, nampak seperti jendela-jendela kayu.

Di depan beberapa buah yang lebih besar nampak berdiri boneka-boneka berupa sekeluarga, terbuat dari kayu yang diberi pakaian.

Bahkan ada yang berupa balkon di mana tampak berbaris anggota sekeluarga yang berpakaian rapih (kelihatannya baju–bajunya baru diganti).

Ini menunjukkan bahwa dalam lubang terdapat sebuah makam keluarga.

Rupanya, makin besar balkon atau makin banyak nampak boneka yang berdiri di situ, makin beradalah keluarga itu.

Cara penguburan jenazah suku Toraja dalam makam yang dipahat di gunung batu setinggi berpuluh-puluh meter merupakan suatu tradisi.

Untuk mencapai tempat setinggi itu, dibuat tangga-tangga bambu bersambung. Penguburan demikian menarik perhatian.

Sayang kami tidak dapat menyaksikan upacara penguburan.

Tempat kedua yang dituju ialah Siguntu, sebuah desa kira-kira 7 km sebelah selatan Rantepao.

Setelah melintasi sungai Saddang melalui sebuah jembatan besi dan jalan berbatu tanpa aspal sejauh 4 km, barulah kami sampai di desa khas Toraja.

Rumah-rumah berbentuk khas berderet-deret rapih dengan atap dari susunan belahan bambu. Bentuknya mirip rumah di Tapanuli.

Rumah berdiri di atas batang-batang kayu, dindingnya diukir dan diwarnai khas pula.

Menurut tradisi, rumah Toraja selalu menghadap ke Utara dan dibentuk agar dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain tanpa harus melepaskan bagian-bagiannya.

Bahan yang dipakai terdiri dari kayu, rotan dan bambu yang diperoleh dari daerah sekitarnya saja.

Dinding diukir dengan motif yang sederhana berupa garis lurus, melengkung ataupun berombak.

Cat yang dipakai dibuat dari tanah atau bahan alam berwarna hitam dengan garis putih, kuning dan merah.

Yang menarik perhatian kami ialah, salah sebuah rumah tradisi itu disediakan untuk tempat bermalam para turis asing dengan biaya hanya Rp.500,- semalam untuk seorang.

Peti Mati yang Selalu Terbuka

Kami menuju ke Londa, 6 km dari Rantepao. Dari sebuah bukit kita sudah dapat melihat kuburan-kuburan agak tinggi di gunung batu.

Karena di bawahnya ada gua-gua, maka bila kita berada di situ, kuburan berada di atas kepala kita, sehingga disebut kuburan bergantung (hanging graves).

Beberapa orang anak yang rumahnya tidak jauh dari situ datang membawa lampu senter dan stormking untuk disewakan kepada orang yang hendak masuk gua.

Sewa sebuah stormking Rp.300,- dan sebuah senter Rp.100,- Cerdik juga anak-anak itu dalam mencari nafkah tambahan.

Saya suruh seorang anak yang membawa stormking berjalan di depan untuk membuka jalan dan seorang lagi di paling belakang.

Di muka gua berjejer 6 buah tengkorak manusia yang rupanya sengaja ditaruh di situ untuk para turis yang hendak memotretnya.

Di bawahnya ada tulisan yang melarang mengambil apapun dari situ.

Ternyata gua alam itu berupa lorong yang sempit berliku-liku ke pelbagai ruangan yang bentuknya tak menentu.

Kami harus berjalan menunduk dan berhati-hati agar kepala tidak terbentur. Adakalanya sampai harus merangkak karena kecilnya lubang.

Heran juga rasanya melihat berpuluh-puluh peti mati yang letaknya sangat tidak teratur dan hampir semua tutupnya tergeser atau dibuka.

Tengkorak-tengkorak, tulang-belulang bila tidak dalam "tebela" maka tampak terpisah dan tercecer tidak teratur.

Ada beberapa buah tebela berisi banyak kerangka manusia. Menurut pemandu, terdiri dari sekeluarga.

Untuk orang yang belum/tidak bisa melihat jenazah dinasehatkan jangan masuk ke gua. Masih kelihatan sisa pakaian jenazah wanita.

Rambutnya yang panjang masih melekat di bagian atas tengkorak. Dalam gua itu sama sekali tidak ada bau yang luar biasa.

Hawanya sejuk, dan permukaannya tidak basah. Di Londa ini ada sesuatu yang unik di dunia.

Yang khas di rumah makan ini ialah ikan bandeng bakarnya yang sedap untuk sarapan.

Sepanjang perjalanan antara Ujung Pandang sampai Pare-Pare (155 km) tampak desa Bugis tidak putus-putusnya.

Rumah rakyat berbentuk khas yaitu berdiri di cagak-cagak kayu. Untuk masuk pintu orang perlu memanjat tangga di samping.

Terdapat 3 buah jendela menghadap depan.

Perbedaan rumah yang satu dengan yang lain hanya dalam warna dan kualitas bahan bangunan tersebut yang tergantung dari kemampuan pemiliknya.

Jumlah sedan yang ditemui dapat dihitung dengan jari. Kendaraan bermotor sebagian besar terdiri dari bus mini, bus dan Jeep.

Nampaknya bus yang berjalan paling laju.

Di Pare-Pare bus kami berhenti di terminal untuk kedua kalinya, namun tidak lama.

Dari kota pesisir ini kemudian kami menuju ke pedalaman, ke arah timur yaitu ke Sidrap. Jalan mulai berliku-liku turun naik bukit.

Daerah pegunungan memberi pemandangan seperti daerah lain di Indonesia. 

Tempat Ini Hanya Satu di Dunia

Desa Kete (2 km) adalah tempat keempat yang kami kunjungi. Kami lihat para penduduk mengukir dinding rumahnya.

Gambar langsung diukir dengan sebilah pisau yang sangat tajam tanpa lebih dulu dilukiskan dengan pensil.

Di desa inipun nampak ada beberapa peti jenazah yang dipertontonkan.

Setelah mengisi perut, perjalanan dilanjutkan ke Palawa, 9 km ke Utara, ke sebuah desa Toraja tua.

Di Marante, sebuah desa Toraja terdapat kuburan yang katanya tertua. Letaknya tinggi sekali, kira-kira 50 m di atas dan sisa sebuah balkon masih nampak.

Di gua-gua kecil di bawah tercecer tebela-tebela terbuka berisi kerangka.

Obyek pariwisata terakhir hari itu ialah Nanggala. Katanya, kampung itu dimiliki oleh seorang janda ningrat yang kaya. Ia masih tinggal di situ.

Terlihat belasan rumah tinggal khas Toraja berderet rapih dan di depannya ada sederetan lumbung padi.

Sawah dan tanah yang ditumbuhi pohon buah-buahan sangat luas.

Sore pukul 16.30 selesailah tour yang sangat menarik tapi melelahkan itu.

Akhirnya kami sampai ke hotel di Ujung Pandang pada pukul 4 pagi, setelah 10 jam perjalanan.

Patut dicatat bahwa makanan lain yang nikmat dan murah di kota itu ialah ayam goreng dengan sopnya yang banyak dikenal umum di sana.

Paginya sebelum berangkat ke Jakarta kami masih berkesempatan ke Malino, kota di daerah pegunungan pada ketinggian 1050 m.

Letaknya 70 km ke timur dari Ujung Pandang melalui Sungguminasa.

Kira-kira sepertiga perjalanan sebelum tujuan, jalan mendaki dan berliku-liku dengan lembah dan pegunungan yang cantik. Kota peristirahatan ini tak besar.

Bila mencari ketenteraman di hawa sejuk inilah tempatnya. Keamanan di Sul-Sel baik.

Pintu mobil yang diparkir tak perlu dikunci, bahkan jendela kaca tak pernah kami tutup padahal barang belian tetap di mobil.

Tidak ada barang yang hilang. Disiplin penumpang bus dan para pengemudi di Sul-Sel patut dicontoh.

Sifat toleran dan mau mengakui hak orang lain sangat menyenangkan kami. Tator (Tana Toraja) sebagai obyek pariwisata internasional bernilai tinggi.

Buktinya banyak turis asing mengunjungi daerah itu.

Sebagai obyek pariwisata Nasional, menurut saya, mengunjungi Tator termasuk sesuatu yang mewah.

Berpiknik ke Tator sangat dianjurkan, karena biayanya ringan.

Naik bis selain lebih cepat dan murah (Ujung Pandang-Rantepao biayanya Rp.1.350,- untuk satu tempat duduk) dapat pula dipesan lebih untuk seorang tanpa kuatir diserobot.

Mengenai ongkos makan dan hotel tentu tergantung dari masing-masing selera dan kemampuan.

Yang membuat biaya trip ke Tator jadi tinggi adalah harga tiket p.p. Jakarta-Ujung Pandang yaitu lebih kurang Rp. 85.000,- seorang.

Kalau semata-mata hendak pesiar maka orang akan memilih ke Singapura, apalagi untuk orang yang sok luar negeri.

Biaya pesawat terbang ke sana p.p. hanya sekitar Rp.55.000,-.

Namun untuk kami, mengunjungi Tana Toraja dengan kuburan-kuburan khasnya memberi kepuasan walaupun dengan susah payah karena melihat sesuatu tidak ada di tempat lain di dunia.