Advertorial
Intisari-Online.com – Hampir seluruh dunia telah dijelajahi dan puluhan ribu kilometer telah ditempuh Prof. Tanzil dan istrinya.
Dari banyaknya kisah yang dituangkan dalam salah satu karyanya, Catatan Perjalanan: Alaska dan Eropa (1982), ada satu kisah menarik mengenai buku hariannya yang tertinggal di dalam kereta api.
Bagi orang lain, kehilangan buku harian mungkin tidak terlalu serius. Namun, bagi H.O.K Tanzil ini berarti sebagian sejarah hidupnya hilang. Kok bisa?
Ternyata yang ketinggalan itu buku no. 23 dari seri buku catatan yang dimulainya sejak tahun 1943, ketika dia menganggur di Zaman Jepang, karena N.I.A.S (Sekolah Kedokteran di Surabaya waktu itu) ditutup.
Nah berikut cerita yang ditulis olehnya
---
(Baca juga: Kisah Perjalanan ke Istanbul: Tergayut Penari Perut yang Penuh Liukan nan Menggairahkan)
Ketinggalan buku harian di kereta api
Waktu istirahat, ketika saya hendak mengisi buku harian, alangkah terkejutnya saya. Barang itu tidak ada.
Baru saya ingat bahwa catatan itu tertinggal di meja dalam kompartimen kereta api.
Hal ini terjadi karena sewaktu mengisi buku, saya dengan mendadak turun di setasiun Schaan-Vaduz tanpa rencana!
Perasaan was-was menguasai saya, karena belum pernah selama ini saya kehilangan sesuatu yang tak dapat dinilai harganya!
Kehilangan barang atau uang masih dapat diganti walau rugi dan merepotkan.
Namun kehilangan buku harian (No. 23) dengan catatan lengkap yang telah disusun sejak tahun 1943, benar-benar satu pukulan bagi kami!
Semalaman suntuk saya tak dapat tidur pulas. Keesokan paginya pukul sembilan pagi langsung saya ke stasiun, karena sudah mengetahui akan ada kereta api yang ke Swis satu jam mendatang.
Karena hari minggu, setasiun tampak sepi, hanya ada seorang yang menjaga loket.
(Baca juga: Yuk, Menikmati Perjalanan Ke 'Jawa' Menggunakan Bus Tingkat)
Pikir saya untung-untungan menanyakan tentang buku harian yang hilang kemarin di kereta dari Feldkirch pukul 17.25 ke Schaan-Vaduz dalam gerbong kelas I.
Petugas itu langsung mengangkat telepon. Untunglah, ternyata barang itu ada di setasiun Feldkirch dan akan dibawa dengan kereta api pukul 10.00
Betul-betul suatu pelayanan yang prima! Terima kasih untuk servis dinas kereta api yang baik ini.
Sementara menunggu kereta api yang membawa buku harian serta yang juga akan kami tumpangi ke Chur, Swis, saya pun bercakap-cakap dengan petugas di loket yang satu ini.
Yang tugasnya juga melayani telepon, melayani alat-alat hendel di sebuah bilik di peron dan bertindak sebagai kepala setasiun dengan memakai pet merah dan memegang bendera.
Karena tak dapat menjawab waktu saya tanya berapa penduduk “Vorstendom” Liechtenstein, langsung saja dia mengangkat telepon dan segera memperoleh keterangan yaitu 26.000 jiwa dengan luas hanya 157 km².
Walau negara ini suatu kerajaan konstitusional, urusan diplomatiknya ditangani Swis.
Harga bensin di sana SF 1,19-1, 21 (Rp. 480,-) seliter.
Ia berdinas 12 jam siang, lalu 12 jam malam setelah diseling istirahat 36 jam. Pensiun akan diperolehnya setelah bekerja 36 tahun, seperti ayahnya.
Dikatakannya, untuk hidup layak di Liechtenstein, sebuah keluarga kecil seperti dia dengan istri dan seorang anak berusia tiga tahun, diperlukan biaya SF 2000 sebulan.
Ketika pukul sepuluh kereta api datang, dari jauh tampak tangan keluar dari jendela memegang sebuah buku, yang langsung diberikan pada kepala setasiun kawan kami itu, yang sudah siap menerimanya.
Buku yang semalaman merisaukan itu langsung diberikan kepada saya.
Setelah mengucapkan terima mkasih kami pun ikut dengan kereta api itu dan dengan rasa puas.