Advertorial
Intisari-Online.com -3 Januari 1942: “Mata Hari, Broadway Serenade” 17 Agustus 1945: “Saya mendengar, pagi ini Indonesia merdeka”
Kalaupun ada orang yang sangat disiplin menulis buku harian di dunia ini, rasanya orang itu tetap nomor dua.
Nomor satunya, hampir pasti adalah Haris Otto Kamil Tanzil atau HOK Tanzil.
Sejak dia berusia 20 tahun sampai sekarang, segala yang dialaminya selalu dituliskan dalam buku harian.
Seperti dikutip di atas, pada 3 Januari 1942 HOK Tanzil menonton dua film tersebut. HOK Tanzil muda memang pelahap film bioskop.
“Saya sudah mempunyai tekad untuk menonton semua film yang terbit. Dalam sehari saya bisa nonton empat film, di bioskop yang berbeda,” kata Tanzil.
Maka itu, di salah satu bukunya yang kertasnya sudah berwarna kecokelatan, Tanzil menulis: “1 Juli-31 Desember 1941: menonton (film di bioskop –Red.) 111 kali.”
(Baca juga: 6 Ide Hadiah untuk Para Traveler)
Niat bunuh diri
Kini di usianya yang 90 tahun, semangatnya masih sangat terasa.
“Wah, kalau ditanya masih mau jalan-jalan, saya mau. Tapi saya sudah ndak bisa jalan,” kata Tanzil.
Hobi jalan-jalan dan menulis buku harian ini juga yang membuat namanya sohor, dekade 1980-an, setelah Majalah Intisari memuat tulisan-tulisannya saat berkeliling dunia.
Goresan-goresan penanya juga sudah diterbitkan menjadi 16 seri buku.
Tapi siapa sangka, Tanzil pernah berniat bunuh diri.
Pada 1953-1955, usia 30 tahun, dia menderita TBC.
“Zaman itu, kena TBC sudah seperti dihukum mati, sebab belum ada obat yang bisa menyembuhkannya,” kenang dia.
Namun Tanzil mengurungkan niatnya, karena mendadak teringat anak-anaknya.
Alih-alih mengutuki, Tanzil justru meneliti penyakitnya. Dia memang seorang dokter spesialis mikrobiologi.
Semangatnya yang tinggi membuatnya menemukan teknik pewarnaan bakteri TBC yang dinamakan metode pewarnaan Tan Thiam Hok, diambil dari nama lahirnya.
Malahan, metode yang dia temukan itu diakui dan dipakai di dunia kedokteran dunia sampai saat ini.
Ketika diberi kesempatan untuk mematenkan temuannya, dia tidak mau, karena tidak mau repot.
Temuannya itu yang membuat pendidikan Tanzil lanjut ke jenjang S-3 hingga meraih gelar doktor, tanpa melalui gelar dokter.
Begitulah Tanzil. Sederhana tapi cakap, murah hati, dan penuh semangat, tak terduga dan bebas.
Kunadi Tanzil, sang putra, bercerita tentang prinsip ayahnya yang kuat.
“Papa bernazar, jika ia sembuh dari penyakit TBC, dia akan menggunakan uang dari profesinya untuk amal,” kisah Kunadi.
Begitu juga dengan uang dari hasil tulisan perjalanannya.
“Saya ingat pertama dikasih honor (dari Intisari), langsung saya kasih ke PMI. Sebab saya sudah janji, saya tidak akan cari uang dari tulisan saya,” kata Tanzil. Maka itu, dia agak lupa jumlah honor pertamanya.
“Saya inget 15-nya. Entah 15.000 atau berapa saya lupa, langsung saya kasih ke PMI,” ujar Tanzil.
Susah makan
Impiannya memang melihat dunia. Sejak kecil, saat di kampung halamannya di Surabaya, dia sudah gemar berpelesir.
Bahkan saat ia sudah menjadi guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 1967, dia masih memendam hasratnya keliling dunia, mencari tantangan.
Maka saat usia Tanzil sudah tergolong tidak muda lagi, dengan mantap akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan dunia pendidikan yang digelutinya untuk berkeliling dunia.
Didampingi sang istri, Ellia Chandra Tanzil, mereka memulai perjalanan pada 1974.
Selama perjalanan, mereka berdua mengendarai mobil VW Combi.
Ellia yang seorang juru masak lebih sering menyediakan makanan untuk mereka berdua ketimbang membeli makan di daerah tujuan.
“Saya selalu mencoba makanan tiap negara. Tapi yang cari penyakit itu saya; jalan-jalan itu susah, karena saya susah makan,” kata Tanzil.
Tanzil memang termasuk orang yang pilih-pilih makanan. Di Bangkok, dia tidak menemukan satu pun makanan yang cocok di lidahnya.
“Di sana, semua makanan itu pedes! Enggak ada yang enggak pedes. Akhirnya ke restoran Tionghoa mau pesen nasi goreng, eh, ternyata pedes juga!”
Maklum Tanzil antipedas. Di lidahnya, makanan paling enak tetaplah makanan Indonesia. Salah satu favoritnya, lumpia.
Soal minuman, Tanzil juga pilih-pilih. Dia tidak pernah minum air putih.
“Air putih itu racun buat saya. Selama perjalanan, saya selalu sedia condensed milk (susu kaleng –Red.). Minuman mesti manis,” kata penggemar minuman bersoda ini.
Buang angin pun dicatat
Mengunjungi 240 negara, tentu banyak cerita. Begitu pula Tanzil.
Beberapa kisah masih diingatnya dengan jelas, seperti ketika dia terjebak di negara yang saat itu baru konflik, yaitu di Balkan.
Atau ketika dia sengaja melalui jalan yang terkenal dengan “bajing loncat”-nya di daerah Sumatera Selatan.
Pernah juga dia nekat mencoba masuk ke daerah Uni Sovyet, tapi tak berhasil lantaran kala itu Sovyet merupakan negara tertutup.
Mengembara mengelilingi dunia, tak ada istilah takut. Menurut Tanzil, semua orang itu pada dasarnya baik.
“Saya tidak pernah ketemu orang jahat. Semua orang baik. karena sifat manusia itu tidak akan cari musuh,” kata Tanzil.
Apakah istri juga tidak takut? “Enggak, kalau ada saya dia enggak takut,” kata Tanzil.
Semua kisah perjalanan ditulisnya secara detail sejak 1943. Setiap detail; itu literaris, bahkan misalnya dia menulis bahwa pada pukul 11.13, dia buang angin!
“Ya kalau masih bisa buang angin itu tandanya sehat,” kata Tanzil.
Di usia senjanya kini, buku hariannya juga mempunyai fungsi lain untuk Kunadi yang mengasuhnya.
Karena dari sanalah Kunadi memonitor kondisi ayahnya dari catatan yang dia buat.
Catatan detail Tanzil juga mencakup kurs mata uang saat itu. Selama perjalanan keliling dunia, dia selalu membawa cek pelawat (travelers cheque).
Sampai di negara tujuan, dia langsung ke bank untuk memecahnya dengan mata uang negara setempat.
“Kalau bayar sesuatu, saya keluarkan semua uang saya, penjualnya suruh ambil sendiri. Sebab saya tidak tahu harganya, pilih sendiri uangnya yang mana,” kisah Tanzil.
Jurus berlagak bodoh
Kalau ditotal, sudah 70 tahun dia menulis buku harian. Awalnya Tanzil menulis dalam bahasa Belanda.
Kini, campur-campur, kadang Belanda, kadang Bahasa Indonesia.
Dia sendiri setidaknya mahir tiga bahasa asing: Belanda, Inggris, dan Jerman.
Lucunya, meski keturunan Tionghoa, dia justru tidak bisa bahasa Cina.
Maka ketika sampai di Tiongkok, dia menempelkan kertas di dadanya, bertuliskan: “Bangsa Tionghoa, lahir di Indonesia, tidak bisa bahasa Tionghoa.”
Berbagai trik juga diungkapkan Tanzil, salah satunya, jurus “berlagak bodoh”.
“Di tiap negara itu seolah-olah saya tidak mengerti bahasanya. Berlagak bodoh saja lah, supaya ditolong orang. Orang bodoh itu selalu ditolong. Kalau sok pinter malah ditipu sekalian,” kata Tanzil.
Dengan mengunjungi 240 negara, sebenarnya Tanzil berhak memegang rekor dunia, karena rekor mengunjungi negeri terbanyak yang tercatat dalam buku Guinness Book of World Records adalah 235 negara.
Tapi lagi-lagi, Tanzil tidak mau mencatatkan dirinya, karena tak mau repot urusan formal.
Omong-omong, dari negara-negara itu, mana yang paling enak? “Indonesia!” kata Tanzil mantap. (JB Satrio Nugroho)
(Pernah dimuat di Majalah Intisari Januari 2014, ditulis ulang oleh Melina Ikwan)