Find Us On Social Media :

Berkat Dia Indonesia Nomor 1 di Asia Tenggara

By Moh Habib Asyhad, Jumat, 13 Oktober 2017 | 20:40 WIB

Intisari-Online.com – Si "dia" itu meninggal puluhan tahun yang lalu dan namanya Egbert Willem Van Orsoy de Flines.

Yang membuat kita nomor satu di Asia Tenggara itu ialah koleksi keramiknya yang dipamerkan di Museum Nasional (Gedung Gajah).

Koleksi porselin yang dulunya milik pribadi de Flines itu yang terbaik di Asia Tenggara dan tidak bisa dinilai dengan uang.

(Baca juga: Tidak Hanya di Dunkirk, Pasukan Gabungan Inggris-Perancis Juga Terpukul Mundur di Asia Tenggara)

Sewaktu menginjakkan kakinya untuk pertama kalinya di bumi Indonesia di Pelabuhan Tanjung Priok tahun 1912, Orsoy de Flines seorang awam di bidang keramik.

Waktu terpaksa pulang dalam tahun 1957 dia sudah menjadi seorang ahli dan kolektor yang terkemuka.

De Flines secara formal memang tidak pernah belajar tentang  keramik maupun sejarah atau kebudayaan, bidang-bidang yang diakrabinya selama bagian terbesar hidupnya.

la dilahirkan di Bussum, Belanda Utara pada tanggal 14 Mei 1886. Nenek moyangnya mengungsi ke Negeri Belanda pada abad ke-17, minoritas Protestan yang menghindar dari tekanan mayoritas Katolik.

Sebab itu namanya kedengaran keprancis-prancisan.

Keluarganya pengusaha perkapalan, maka sejak kecil orientasinya sudah jauh menyeberangi batas-batas Negeri Belanda yang kecil itu.

Kabar-kabar menarik aneka ragam dari negara-negara jauh sampai ke lingkungan keluarga secara akrab. Hal itu mempengaruhi perkembangan anak yang bernama Egbert Willem itu.

la mulai tertarik pada kebudayaan dan adat-istiadat bangsa-bangsa yang waktu itu bernaung di bawah kekuasaan Belanda.

Sebagai anak sulung penerus usaha keluarga, Egbert Willem mengikuti tradisi keluarga yang sudah dijalankan turun-temurun, yaitu keliling dunia naik kapal milik keluarga.

Maksudnya ialah mempersiapkan diri untuk terjun ke perusahaan keluarga dan agar bisa mengalami dan menghayati sendiri tugas-tugasnya di masa datang.

Maka dalam tahun 1907, pada usia 21 tahun E.W. Orsay de Flines memulai pelayarahnya dari Pelabuhan Rotterdam.

Tujuan kapal itu Paramaribo (sekarang Guyana), jajahan Bejanda yang terletak di pantai utara Amerika Selatan.

Rupanya dia kurang senang diombang-ambingkan gelombang, atau merasa tak berbakat menjadi pelaut, maka setelah mendarat di sana, ia enggan naik kembali ke kapal.

Ia kemudian bekerja pada Kantor Pos Paramaribo. Tak jelas komentar keluarganya di negerinya sendiri. Bagaimana juga ia cukup betah di Paramaribo sampai bekerja selama lima tahun.

Boleh jadi karena Paramaribo sudah tidak menyajikan apa-apa lagi yang menarik minatnya, terutama di bidang kebudayaan setempat dan ada negeri elok yang bernama Jawa yang mengimbau dari seberang sana, maka ia mengemasi barangnya untuk berangkat ke Hindia Belanda, kepulauan yang sering menjadi buah bibir para pelaut yang dikenalnya.

Setiba di jawa de Flines menetap di Semarang. Menurut suatu sumber, ia bekerja pada suatu bank pemerintah, mungkin Bank Tabungan Pos yang waktu itu bernama Postspaarbank.

Menurut dua orang pedagang barang antik Narayau dan Dahlan yang dikutip oleh Mayuyama Yasuhiko, kegemarannya mengumpulkan barang antik bermula pada pameran perdagangan di Surabaya tahun 1927.

Di dalam  pameran itu ada stan khusus untuk batik kuno, barang-barang perunggu kuno dan keramik kuno Cina dan Asia Tenggara.

Dalam pameran itu Dahlan dan Narayau yang berasal dari Bukittinggi, membuka sebuah stan untuk barang dagangan mereka.

Di situ mereka berkenalan dengan de Flines, yang sedang gandrung kepada batik antik. Setelah diperkenalkan dengan beberapa bejana dan piring Cina antik minatnya beralih pada keramik.

Bejana dan piring mengingatkannya kembali kepada hadiah ulang tahun dari ibunya ketika ia masih berumur lima tahun.

Orsoy de Flines mulai mengumpulkan keramik, terutama keramik Cina dan Asia Tenggara. Dia tak asal mengumpulkan saja yangindah-indah.

Ia mengutamakan yang unik, yang ada kaitannya dengan sejarah Indonesia. Ia tumbuh dari seorang amatir yang bergairah menjadi seorang pemelajar yang sungguh-sungguh.

Bertambahnya koleksinya berbarengan dengan meningkatnya pengetahuannya tentang porselin.

Rumahnya di Semarang makin penuh dengan barang-barang koleksi dan hampir setiap hari pedagang antik seperti Dahlan dan Narayau datang membawa keranjang-keranjang besar.

Ia tak hanya membeli barang-barang yang ditawarkan, tetapi juga memesan dengan menanggung biaya perjalanan mereka ke tempat-tempat yang jauh dari Semarang, seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi sampai ke pulau-pulau yang terpencil.

Boleh dikatakan seluruh uangnya habis untuk menambah koleksinya.

Anehnya, de Flines hampir tak pernah membeli porselin dari pedagang Cina sendiri, karena pada umumnya mereka hanya memperdagangkan barang-barang yang belum terlalu tua, yakni dari Dinasti Qing (1644-1911) dan mereka sering mendatangkan barang dari Hong Kong, Singapura atau langsung dari Cina, sehingga barang-barang itu tak ada kaitan sejarah dengan Indonesia.

Yang memungkinkan ia terus mengembangkan koleksinya, kecuali kekayaan pribadinya, juga gajinya yang cukup memadai sebagai manajer bank dan kehidupan pribadinya yang sangat sederhana menurut ukuran kolonial.

Ia tidak memiliki mobil, sedang bawahannya ada yang naik mobil pribadi ke kantor. Makannya sederhana, tidak merokok atau minum, tidak mempunyai hobi atau kebiasaan mahal seperti Belanda lain di masa penjajahan.

Kehadirannya dalam masyarakat kolonial juga diremehkan, tetapi ia tak mempedulikannya.

Pergaulannya lebih erat dengan para ahli kebudayaan yang tergabung dalam Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Lembaga untuk Kesenian dan Ilmu Pengetahuan di Jakarta) yang menyelenggarakan Museum (Gedung Gajah).

Orsoy de Flines memiliki rumah yang cukup besar dan keuangan cukup leluasa, tetapi ia tetap membujang. Salah satu peristiwa penting ialah pembatalan pertunangannya.

Pada waktu itu keluarganya di Belanda beranggapan bahwa sudah tiba waktunya baginya untuk membentuk rumah tangga.

la dicarikan seorang nona dari keluarga baik-baik yang setaraf dengan keluarganya sendiri, sebab sedikit banyak keluarga Orsoy de Flines masih berdarah bangsawan.

Nona  itu berlayar ke Hindia Belanda untuk menemui calon suaminya. Setibanya di Semarang calon mempelai itu kecewa, sebab bayangannya di Negeri Belanda tak sesuai dengan kenyataannya.

Bukan karena calon suami itu kurang gagah, kurang kaya atau kurang baik perangainya, tetapi sebab ia tak hidup sesuai dengan derajatnya, dengan kedudukannya.

Rumahnya seperti gudang barang antik, pergaulannya dengan pedagang-pedagang antik dan barangkali yang paling parah ialah bahwa hampir seluruh waktunya tersita habis oleh keramik.

Pertikaian tak dapat dihindarkan dan pulanglah si nona ke negeri asalnya dengan hati kecewa.

Setelah pertunangan gagal itu sampai akhir hayatnya de Flines tetap membujang dan hidup seperti orang miskin, dengan koleksinya yang merupakan segala-galanya dalam hidupnya.

Tahun 1928 ayahnya meninggal dan de Flines pulang ke Negeri Belanda. Kesempatan itu dipergunakannya untuk meninjau museum-museum di negeri sendiri maupun di Eropa untuk memperdalam pengetahuannya tentang porselin.

Kepindahannya dari Semarang ke Ungaran antara lain juga disebabkan rumahnya di Semarang sudah terlalu sempit untuk menampung koleksinya yang makin membesar.

Di samping itu di Ungaran ia juga mengusahakan sebuah perkebunan coklat. Sekitar tahun 1930 koleksi itu sudah mencapai dua ribu buah.

Dalam tahun berikutnya ia menyatakan kepada museum di Jakarta bahwa jika disediakan tempat khusus, koleksinya akan diserahkan kepada museum.

Sejak mula ia memang tak berniat untuk memindahkan koleksi itu ke negerinya sendiri, sebab ia merasa bahwa Indonesia merupakan tanah airnya yang kedua.

Sejak dulu ia sering mengatakan kepada pedagang antik bahwa ia tak berniat memiliki barang-barang itu, melainkan untuk melindungi dari kepunahan.

Dia juga sering memarahi pedagang yang menjual barang bagus kepada orang yang akan membawa ke luar negeri atau yang tak tahu arti dan nilainya.

Bulan Maret 1932 dibangun ruang khusus untuk memamerkan koleksi keramik yang bagian terbesarnya ialah koleksi de Flines.

Ketika sudah selesai, de Flines mengangkut barang-barangnya yang tak ternilai itu ke Betawi. Ia mendapat bantuan dari para pedagang antik yang sangat berpengalaman dalam pembungkusan.

Pekerjaan mempak selesai dalam bulan Juni 1932. Perusahaan kereta api menyediakan kereta khusus untuk mengirim keramik itu.

Setelah- ulang-alik empat kali dalam waktu tiga bulan antara Semarang-Jakarta, akhirnya semua barang sampai dengan selamat di museum.

De Flines sendiri yang tak mau berpisah dengan harta karunnya mendapat rumah tinggal kecil di  belakang museum dan diangkat sebagai kurator bagian koleksi keramik.

Hidupnya lebih sederhana lagi daripada waktu di Ungaran, dan kesibukan sehari-harinya ialah mengakrabi keramik, mulai dari jambangan utuh sampai gerabah yang dikumpulkan dari mana-mana.

Sampai sekarang koleksi pecahan porselinnya masih rapi tersimpan dalam kotak-kotak kecil yang merupakan laci-laci sebuah almari.

Pedagang-pedagang antik tetap ramai berdatangan. Pada mereka yang menawarkan barangnya ia tak pernah mengatakan bahwa barang itu jelek, hanya "barang ini kurang sesuai untuk dimasukkan dalam koleksi."

Ketika tentara Jepang menduduki Indonesia tahun 1942, menurut Mayuyama, de Flines diperbolehkan meneruskan pekerjaannya sebagai kurator di. Museum yang telah diambil alih.

Tetapi menurut sumber yang mengetahui, ia ditawan di suatu tempat yang berdekatan dengan museum, mungkin Kamp Laan Trivelli (sekarang Tanah Abang II).

Ia bebas kembali tahun 1945. Tahun 1948 ia berhasil menyelesaikan buku pemandu untuk koleksinya yang sudah lama dicita-citakan, Gids voor de keramische verzameling.

Dalam tahun 1948 itu umur de Flines sudah enam puluh, rambutnya sudah memutih, tetapi   kehidupan sehari-harinya tak berubah.

Tiap sore ia naik sepeda untuk makan malam di sebuah rumah makan kecil yang terletak di Noordwijk, sekarang Jalan Juanda.

Seleranya juga sangat sederhana, ia biasa makan masakan Jawa. Yang paling digemari ialah gado-gado.

Pada suatu sore ia mengalami kecelakaan lalulintas, sehingga ia terpaksa berhenti naik sepeda. Kedua kakinya yang terkena penyakit kaki gajah (filiriasis) makin memburuk.

Kekurangan gizi selama di kamp tawanan dan masa-masa sulit sesudah itu dan cara hidupnya yang teramat sederhana ditambah beratnya pekerjaan yang dilakukan dari pagi sampai petang makin memperburuk kesehatannya.

Sekalipun begitu ia tetap berusaha menambah koleksinya dengan tekad seorang fanatik. Kalau ia tak sanggup membayar harga yang diminta pedagang, ia menukar dengan barang yang ganda dalam koleksinya.

Dalam permulaan tahun lima puluhan itu pemuda Abu Ridho, yang baru turun gunung seusai  perjuangan bersenjata sebagai gerilya tentara pelajar untuk meneruskan studi pada Fakultas Sastra UI, bertemu dengan Orsoy de Flines.

Entah mengapa Abu memilih untuk menjadi asisten de Flines, padahal ia sama sekali awam di bidang keramik.

De Flines sendiri sangat takut dokter, tetapi ia memaksa Abu Ridho yang baru datang dari pedalaman itu untuk berobat ke dokter atas biayanya, karena dia beranggapan bahwa pemuda itu kekurangan gizi dan terlantar kesehatannya akibat perang gerilya.

Karena 'magang' dalam ilmu keramik itu memang banyak kesulitannya dan seringkali tidak menarik, maka sering Abu merasa putus asa dan berusaha beralih ke bidang lain, tetapi de Flines selalu membujuk dia dengan cerita-cerita sejarah yang menarik mengenai keramik, sehingga tiap kali Abu terpaksa membatalkan rencananya untuk pindah.

Dalam pertikaian Indonesia-Belanda tentang Irian Barat, dalam tahun 1959, orang Belanda yang masih tinggal di Indonesia dipulangkan secara paksa.

De  Flines termasuk orang-orang yang terkena pengusiran itu. Nasibnya sangat tragis. Ia tak ingin pulang ke negerinya yang telah menjadi sebuah negeri asing baginya.

Ia berkali-kali menyatakan ingin mati dan dikuburkan di bumi Indonesia. Ia bahkan telah memesan tempat di pemakaman di Purworejo.

Ia mencoba menunda-nunda keberangkatannya dengan berpura-pura sakit parah, atau menolak untuk dibuat fotonya untuk keperluan paspor.

Akhirnya ia terpaksa berangkat juga dengan air mata berlinang pada tanggal 21 Oktober 1959 dengan kapal Oranje.

Pada tanggal 17 September 1964 E.W. Orsoy de Flines, yang mewariskan koleksi tak temilai kepada kita semua dan generasi mendatang, meninggal di Negeri Belanda dalam usia 78 tahun.

Pewaris dan penerus ilmunya Abu Ridho, yang pernah menjabat kurator koleksi keramik di Museum Nasional, baru-baru ini telah menjalani masa pensiunnya.

(Bahan dari artikel Mayuyama Yasuhiko dan wawancara dengan Abu Ridho. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1984)